MEDAN, POTRETKITA.net -- Peradaban Islam yang telah berdiri selama berabad-abad belum memiliki sistem penanggalan tunggal, dalam artian satu tanggal yang sama secara global.
Meneropong perjalanan bulan dan matahari bagian dari usaha penanggalan dalam ilmu falak.(muhammadiyah.or.id) |
Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar mengatakan, secara historis, gagasan kalender Islam global di era modern pertama kali muncul di Asia Tenggara, yang diinisiasi oleh Mohamad Ilyas dari Malaysia.
Belakangan, ujarnya, diskursus kalender Islam global menggelinding dan mendunia serta menemukan momentumnya di dunia Arab, terkhusus di Indonesia. Namun, siapakah pelopor dan pemikir-teoritik Kalender Islam Global di Indonesia?
''Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dapat dinyatakan sebagai pelopor dan pemikir-teoretik Kalender Internasional (Global) pertama di Indonesia, betapapun belum ditopang dengan konsep praktik-implementatif. Pemikiran Hasbi ini lebih dulu dari Muktamar Istanbul 1978 yang menginisiasi Muktamar Turki 2016 dan memicu lahirnya Rekomendasi Jakarta 2017,” katanya.
Pakar Filologi dan Falak dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjelaskan, Teungku Hasbi merupakan seorang ulama ahli fikih, hadis, tafsir, dan kalam. Lahir di Lhokseumawe (Aceh) pada 10 Maret 1904 dan meninggal dunia pada tahun 1975.
Sejak pertengahan abad ke-20, katanya, Hasbi dikenal sebagai seorang ulama legendaris Nusantara dan ulama Indonesia yang produktif menulis. Salah satu buah karya yang membahas ihwal Kalender Islam Global adalah buku dengan judul Awal dan Akhir Ramadhan: Mengapa harus Berbeda?
Menurut Arwin, sebagaimana diberitakan pada laman resmi Muhammadiyah, buku falak karya Hasbi ini terdiri dari x + 51 halaman, diterbitkan PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, cetakan ke-2, tahun 2002. Dalam buku yang amat ringkas ini Hasbi Ash-Shiddieqy setidaknya merumuskan tiga hal terkait Kalender Islam Global: pertama, dunia berada dalam satu matlak; kedua, keberlakuan rukyat bersifat global; ketiga, titik acuan adalah kota Makkah.
Misalnya, kutip Arwin, pada halaman 24 buku Awal dan Akhir Ramadhan: Mengapa harus Berbeda?, Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan “Kesimpulannya dalam masalah ikhtilaf mathali’ (perbedaan letak geografis), masalah ijtihad bukan masalah nash, maka tidak ada salahnya kita memilih atau mentarjihkan pendapat yang tidak menggunakan ikhtilaf mathali’”.
Sebagai perbandingan, prinsip-prinsip Kalender Islam Global sebagaimana yang telah dikemukakan Syamsul Anwar meliputi beberapa hal, di antaranya: pertama, penerimaan hisab; kedua, transfer imkanu rukyat, hal ini juga bisa disebut dengan rukyat global; ketiga, kesatuan matlak, artinya seluruh dunia dipandang sebagai satu kesatuan matlak tidak ada perbedaan karena letak geografik atau politik; keempat, penerimaan Garis Tanggal Internasional.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar