Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd
(Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI)
SIAPA yang tidak miris melihat bayi 10 bulan dicat silver, yang merupakan cat sablon dicampur minyak goreng atau minyak tanah, lalu dibawa turun ke jalanan untuk membangun belas kasihan dan mendapat sumbangan.
Bayi butuh dukungan khusus dan berkebutuhan khusus dalam tumbuh kembangnya, harus ditutup pori-pori kulitnya demi uang yang tidak seberapa, sedangkan resiko tinggi menanti bayi tersebut. Entah apa yang di benak orang tuanya, yang tiap hari mendapat setoran Rp20 ribu demi tetangganya, setelah bayinya dieksploitasi di jalanan.
Tentu sangat tidak masuk ke daya nalar atau rasionalitas kita. Tapi di masa pandemi, kisah ini terjadi. Tentu tidak mudah, menjalankan fungsi pengawasan di jalanan, di era pembatasan dan pengurangan akses.
Hal ini terbukti dengan Survey KPAI terhadap pekerja anak di masa pandemi Covid 19 yang meningkat, dari survey ini terkonfirmasi beban keluarga menjadi pemicu memperkerjakan anak.
Data pengaduan KPAI juga mencatat selama pandemi, dominasi pengaduan tentang situasi dan kondisi anak di keluarga mulai dari anak terlantar sampai di lacurkan. Artinya situasi ini yang di alami bayi silver 10 bulan, karena kurangnya pengawasan orang tua selama pandemi, hal ini terbukti dari pernyataan sang ibunda bayi yang merasa telah menitipkan anaknya ke tetangga dan tidak tahu bila di eksploitasi di jalanan menjadi bayi silver, apakah benar seperti itu? Tentu perlu digali lebih dalam.
Sebenarnya, kisah bayi silver, anak silver, remaja silver sudah sering kita saksikan. Mengecat seluruh tubuh dengan silver awalnya digunakan untuk menggalang kepedulian, dengan seolah-olah beratraksi budaya, namun belakangan menjadi tren meminta-minta di jalan. Padahal ada larangan mengemis di jalan, bahkan yang memberi bisa dapat hukuman.
Namun kisah serupa bayi silver dengan modus mengemis, juga kita saksikan di jalanan. Semenjak pemerintah melarang mereka di jalan, dan bahkan yang memberi di jalan kena resiko sangsi, mereka tidak kehabisan akal, dengan merubah pola, agar seolah olah bukan mengemis. Ada lebih memilih keluar malam hari, karena minim petugas yang mengawasi.
Seperti anak-anak yang seolah olah menjual tissue atau buku, tapi setelah mendekat ke pembelinya mereka bilang butuh makan atau meminta sedikit uang. Ada juga mereka yang menepi di pinggir jalan dengan gerobak atau biasa kita sebut manusia gerobak, mereka hanya memakirkan gerobaknya dan membawa sejumlah anggota keluarga, yang menimbulkan empati bagi yang melewati mereka.
Belum lama saya juga melihat, orang dengan berkostum karakter tertentu, seperti kelelahan, duduk di pinggir jalan, yang mengundang belas kasihan, dan hal itu di lakukan berulang kali.
Ada lagi para pengemis yang sengaja melewati jalan, yang sering dilewati publik figur, artis, atau orang tertentu, agar dilihat. Sebenarnya banyak cara modus dalam mengundang kepedulian, dengan modus mengemis di jalan.
Kita juga sering melihat anak digendong atau digandeng sambil mengamen, bahkan dicubit agar mereka menangis. Semuanya jadi modus untuk mengundang belas kasihan.
Mungkin saja, ada yang benar-benar membutuhkan belas kasih, namun bagi kita yang memberinya, sebenarnya tidak hanya cukup dengan kasihan, belas kasih dan memberi. Karena dengan memberi, berarti membiarkan mereka untuk tetap hidup di jalan.
Realitanya kejahatan di jalanan paling sulit terawasi dan dihentikan, kisah babe melakukan sodomi kepada puluhan anak anak jalanan. Ratusan anak jalanan yang dijadikan kekerasan seksual dengan memproduksi film fedofilia yang belum lama dilakukan warga negara asing. Sederet kisah yang bisa kita baca dan menjadi kisah bersambung kekerasan anak anak di jalanan. Artinya, kejahatan di jalan menghabiskan masa depan mereka.
Ada lagi realita menggalang kepedulian di jalan, yang kemudian terkumpul hingga ratusan juta rupiah, dengan menaruhnya di tempat lusuh, sehingga tidak mengundang kecurigaan.
Memang belakangan manusia silver lebih di apresiasi dijalan, ketimbang mengamen atau ondel-ondel, itu terbukti dari penghasilan mereka yang pernah diungkap media. Namun sayangnya lama-kelamaan jadi pekerjaan rutin.
Namun setelah ditelusuri media, mereka berasal dari situasi keluarga yang memiliki permasalahan kompleks, bahkan terungkap karena putus sekolah atau kecewa dengan sekolah dan keluarga, sehingga membawa mereka menjadi manusia silver.
Tidak ada alasan apapun, untuk membawa anak berjam-jam di jalanan, berpanas panas, bermalam, apalagi di eksploitasi secara ekonomi. Karena jalanan bukan tempat anak-anak. Apalagi melakukan hal yang sangat beresiko dengan mengecat silver bayi 10 bulan.
Artinya peristiwa bayi silver yang dibawa ke jalanan berulang-ulang ini, menandakan tidak ada yang bisa mendeteksi ancaman buat sang bayi. Siapa yang bisa memastikan ini tidak terulang. Siapa yang memiliki kewajiban mengawasi bayi-bayi seperti ini, dan bila tidak menjalankan amanah pengawasannya dapat diberi sangsi.
Bila para pejabat kinerjanya tidak bisa di ukur dari peristiwa ini, maka cukup sulit menghilangkan fenomena bayi silver. Tentu saja pelaku pembawa bayi silver ini, menemukan keuntungan yang menggiurkan dengan mengecat sang bayi, sehingga terus melakukan perbuatan tersebut.
Dari kisah ini kita belajar, bahwa ada anak anak tanpa pengawasan orang tua, ada anak-anak yang mendapatkan eksploitasi, bahkan kekerasan, dan anak-anak yang dititipkan.
Kita sering diinformasikan aturan PMKS, aturan kewajiban pembagian amanah antara kewenangan pusat dan daerah. Aturan ini menuntut daerah berbuat lebih kepada fenomena seperti bayi silver. Bahkan dalam merespon agar cepat pemerintah membuat layanan satu atap dalam percepatan penanganan PMKS. Lalu apa yang terjadi dengan bayi silver sehingga luput perhatian?
Pemerintah dan pemerintah daerah telah membentuk P3S dan Satpol PP yang bertugas mendalami kondisi mereka yang hidup di jalanan. Hanya saja dengan berkembangnya cara modus menghindari aturan, perlu penegasan kembali bagi mereka yang bertugas, agar tidak ragu melakukan penanganan, sehingga tidak terlambat.
Di kasus ini, orang tua membolehkan anak dipinjam tetangganya untuk eksploitasi ekonomi, artinya perlu pemahaman ke orang tua dan tetangga serta lingkungannya, bahwa memperkerjakan anak di sektor yang tersebut, akan membawa dampak buruk kepada bayi ke depannya.
Peristiwa bayi silver, bukanlah peristiwa tunggal, atau peristiwa yang berdiri sendiri, perlu penelusuran panjang kepada keluarga, agar dapat memberi solusi permanen. Karena kalau hanya sifatnya bantuan, tanpa memberi solusi sistemik untuk pegangan hidupnya kedepan, maka kita tinggal menunggu saja anak anak ini dibawa ke jalanan lagi.
Dalam survey KPAI kepada lembaga pemerintah yang menampung mereka, masih belum tuntasnya rehabilitasi yang berakibat mereka kembali ke jalanan. Untuk itu perlu keberpihakan lebih, agar norma, kebijakan, anggaran, SOP mampu menjawab amanah para petugas lapangan. Sehingga dimanapun berada ada bayi silver, ada rujukan yang standardnya sama dan cepat dalam penanganan.
Apalagi dari evaluasi Kota Layak Anak, KPAI menemukan pemerintah belum serius menangani anak anak membutuhkan perlindungan khusus, seperti yang dialami keluarga bayi silver ini. Karena bayi silver tersebut masuk kedalam kategori anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Untuk itu dalam waktu dekat, KPAI akan berkoordinasi dengan Kementerian dan Lembaga Terkait bersama Dinas Propinsi dalam mendorong implementasi kebijakan yang ada, dengan harapan bayi tersebut tidak kembali ke jalanan.
Selama kita tetap memberi di jalanan, tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, data kemiskinan kita tidak valid. Maka akan berdampak standard penanganan masalah kesejahteraan sosial kita berbeda beda tak kunjung berubah. Yang berakhir bayi silver ini kembali di jalan. Dan wajah jalanan kita, akan terus seperti sekarang.
Ayuk bergerak bersama memperbaiki ini semua, agar kluster anak anak membutuhkan perlindungan khusus tertangani sejak dini untuk bayi bayi yang dititipkan.(DR. JASRA PUTRA, M.PD., Komisioner/Kadivwasmonev KPAI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar