JAKARTA, POTRETKITA.net - Sebentara lagi akan ada banyak kegiatan meriah, khususnya dalam rangka menyemarakkan peringaran HUT Kemerdekaan RI. Ada ada ironisme yang terjadi dari tahun ke tahun, anak-anak sering ditempatkan pada hal-hal yang menimbulkan efek candu.
Komisioner KPAI Dr. Jasra Putra, M.Pd. |
Menurutnya, anak-anak sering kehilangan literasi, terperangkap proses bisnis, dan terjebak dalam perlakuan salah, bujuk rayu yang menempatkan mereka pada efek candu. Karena berbagai tawaran glorifikasi, kemewahan dan hedonisme. Hal demikian, tuturnya, dianggap dapat mengatasi problem eksistensi, akibat kekurangan tempat penyaluran bakat dan minat, dan minimnya pendampingan.
Melalui anak anak ikut judi online, tegas Jasra, menjadi pertanda perang generasi kita terhadap pornografi, pornoaksi, narkoba, kekerasan, dan rokok, kini bertambah dengan judi online.
Bagi KPAI, tuturnya, cara yang dilakukan masih sama, adalah mengenal anak melalui data, akun medsosnya, jasa penjualan nomor-nomor handphone anak, permainan game online, grup atau komunitas atas minat dan hobby.
"Cyber Crime Kepolisian masih perlu diperkuat dan diperbanyak, karena memang musuh utama, lawan utama anak-anak kita hari ini, ada di tangan unit Cyber Crime dalam deteksi, mencegah dan menangkap para pelakunya," terang tokoh muda nasional asal Pasaman Barat itu.
Begitupun dengan keprihatinan mulai dari presiden, nenteri, sampai pelaksana di tingkat bawah, serta para pemerhati anak yang melihat fenomena data gunung es terhadap problematika anak, hingga Kapolri, menyikapi pentingnya Indonesia memiliki Direktorat anti kekerasan perempuan dan anak.
Usaha mencegah ini, bagi KPAI, seperti berkejaran dengan waktu dan korban. Namun kita harus optimis bisa mengurangi, meminimalisir korban. Dengan sosialisasi dan pencegahan di semua level. Kita masih berharap banyak di bulan Kemerdekaan ini, ada perjuangan bersama, melihat penjajahan saat ini di dunia digital.
"Anak-anak adalah generasi peniru, yang sangat di tentukan dari keberpihakan orang dewasa, keluarga, lingkungan yang ramah anak. Tidak bisa lagi perlindungan anak hanya di serahkan hanya satu pihak, apalagi hanya pada anak, karena lawan mereka tidak kelihatan yaitu dunia digital. Artinya harus ada berbagi peran yang kuat, baik dari anggota keluarga, masyarakat, swasta, pemerintah dan pemerintah daerah," sebutnya.
Polisipun, menurut Jasra, tidak bisa ditinggal sendirian, karena penanggung jawab utama anak adalah keluarga. Tapi bagaimana ketika orang tuanya tidak bisa melarang, atau tidak tahu teknologi gadget, ataupun tidak tahu cara melindungi.
Ada pihak pihak profesional, ujarnya, yang bisa menunjukkan caranya untuk keluarga. Di sinilah yang saya maksud perlu kerja bersama, peran bersama. Sehingga ada ungkapan perlindungan anak butuh orang sekampung, karena keterbatasan masing masing orang tua. Maka menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bersama sama, adalah prasyarat penting menghadapi masa depan generasi dunia digital di Indonesia.
"Kita sedang membayangkan, dengan pemberitaan akun judi online yang bergerilya setiap waktunya untuk 10 ribu akun. Dan realitanya dunia digital atau handphone ini adalah dunia anak, bahkan handphone orangtua pun sejatinya lebih banyak anak anak yang memakai. Artinya dengan menghitung 84,3 juta anak, yang setiap waktu siap di grooming oleh mereka, menandakan sinyal pekerjaan ini sangatlah besar dan tidak mudah," sebutnya.
Menurut Jasra, perjudian akan memberikan dampak psikis bagi penggunanya, memiskinkan penggunanya dalam waktu cepat, mengundang berbagai sikap kriminal dan kekerasan. Maka kita sedang membayangkan, bagaimana kalau itu di derita anak anak Indonesia.
Anak-anak yang tergoda untuk memenuhi kebutuhannya melalui ruang digital, banyaknya tawaran yang bila dipenuhi dapat mengatasi problem eksistensi mereka, akhirnya memilih jalan singkat dengan porno aksi. Seperti yang baru saja terjadi Anka gadis 2 bulan aktif pornoaksi lewat IG. Dan kita tahu ketika aksi porno online itu live, semua iklan ingin masuk, termasuk ajakan judi online, yang sering di tampilkan, bahkan diundang sang pelaku porno aksi.
Kalau dunia digital ini tidak di intervensi terus-menerus, maka menurut Jasra, jangan kaget banyak anak-akan bekerja memilih seperti ini. Ini tantangan bersama dalam menyediakan sejak dari hulu dan hilir dalam mengembangkan, mengarahkan, membina talenta digital kita. Sebelum direbut mereka.
KPAI juga sangat khawatir banyaknya aplikasi yang bisa digunakan anak untuk pornoaksi, seperti aplikasi chat, aplikasi grooming jaringan pribadi, karena saat mereka pornoaksi begitu banyak iklan yang masuk, sehingga jadi penghasilan cara baru. Yang dapat dimanfaatkan berbagai akun, seperti akun dan admin judi online.
Dengan judi online, anak-anak akan lebih mudah berhadapan dengan hukum dan mendapatkan kekerasan dari lingkungan, bahkan dari orang orang terdekat, karena ingin memenuhi keinginan ajakan judi online yang dianggap bisa memenuhi, hasrat, keinginan, eksistensi dan masa depan, padahal sebenarnya anak anak sedang disiapkan menjadi pelindung bisnis perbuatan kriminal mereka.
"Dari anaklah bisnis berdampak negatif lebih mudah dijalankan dan dioperasionalkan, dan anak anak lebih mudah dimanfaatkan untuk berbuat kriminal. Saya kira dampak panjangnya sama, seperti narkoba atau rokok ketika terpapar, anak anak berkubang disana, kita kebingungan menyembuhkannya, kita seperti kehilangan generasi, kita kehilangan harapan untuk mencegahnya," karanya.
Karena, imbuhnya lagi, ketika terkena 'efek candunya' tak banyak tempat rehabilitasinya alias masih sangat sangat minim. Itu terbukti dengan anak diserang candu rokok, mulai dari ketengan, batangan, elektrik, rokok illegal, yang selalu produksinya bertambah bukan berkurang, karena jarang ada tempat yang benar benar tuntas menyembuhkannya.***
(MUSRIADI MUSANIF)
#judi #online #pornoaksi #KPAI #jasra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar