NARASUMBER
- Buya Jufri, M.I.Kom (Kota Tebing Tinggi)
- Dr. Adil Mubarak, M,Si (Kota Padang)
- Dr. Novi Budiman, M.Si (Batusangkar)
- Buya Jufrizal (Kota Bandung)
- Dr. Suhardin, M.Pd (Jakarta)
- Boiziardi, MH (Kota Padang)
- Januar Efendi (Kota Padang Panjang)
- Kasman Katik Sulaiman (Kota Sungai Penuh)
- M. Edrison Kamil (Jakarta)
- Buya Rafdinal (Kota Medan)
- Buya H. Amiruddin (Kota Padang Panjang)
- Buya Syafril Alwis (Kota Padang Panjang)
PADANG, POTRETKITA.net – Negeri ini sedang memasuki tahun-tahun politik, seiring dengan diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) 2024. Beragam pendapat bermunculan, adu argumentasi pun tak bisa dielakkan.
![]() |
muhammadiyah.or.id |
Perdebatan yang tak kepalang tanggung sengitnya, juga terjadi di kalangan warga Persyarikatan Muhammadiyah. Pada diskusi WAG Muhammadiyah Potret Kita kali, ada 12 orang tokoh dan kader Muhammadiyah yang urun rembug pendapat. Ada banyak wacana dan diksi yang berkembang. Sebagian berpendapat, organisasi ini jangan sampai terjebak praktik-praktik politik praktis.
Tapi di sisi lain, ada yang menyarankan agar Muhammadiyah secara terbuka mendorong para kadernya, agar bisa terlibat aktif pada kontestasi politik dalam rangka perebutan kekuasaan itu, baik di legislatif maupun eksekutif. Bahkan ada yang lebih tegas lagi, Muhammadiyah harus punya partai politik tunggal, sehingga arus dukungan jadi tidak abu-abu.
Bila tidak difasilitasi dengan partai politik tunggal itu, maka apa yang terjadi selama ini akan terus berulang setiap menjelang, sedang, dan setelah pelaksanaan pesta demokasi, untuk memilih orang-orang yang akan duduk di kursi-kursi kekuasaaan negeri ini.
BACA DULU : Mengakhiri Warna-warni Partai Politik di Kalangan Warga Muhammadiyah
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara, Buya Jufri, M.Ikom mengaku, persoalan hubungan Muhammadiyah dengan kegiatan politik praktis itu memang agak rumit, apalagi bila disinggung soal penyebaran kader-kader persyarikatan di berbagai partai politik.
“Sebagian ada yang pantas tapi tak pas. Ada yang pas tapi tak pantas. Ada yang terpaksa bersikap pragmatis, ada pula dipaksa pragmatis, dan ada yang memaksakan diri pragmatis,” katanya.
Jufri menegaskan, berdasarkan kajian yang dilakukannya, jika pemilu masih seperti ini, maka akan semakin ramai orang yang pragmatis dan oportunis. One man one vote (satu orang satu suara) membuat orang baik kalah terus.
Sekarang, tegasnya, biaya politik sangat besar, sehingga rakyat makin pandai tapi tidak cerdas. “DNA (gerakan asal) Muhammadiyah itu sosial dan pendidikan, bukan politik praktis,” tegasnya.
SENI MEMAINKAN
Dosen Ilmu Politik pada Universitas Negeri Padang (UNP) Dr. Adil Mubarak, M.Si, berpendapat, dalam konteks hubungan Muhammadiyah dengan partai politik dan kegiatan politik praktis, pada prinsipnya tidak mempermasalahkan apapun partainya, asal kontribusinya terhadap gerakan Persyarikatan Muhammadiyah jelas.
Politik, jelas ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Sumatera Barat itu, pada dasarnya adalah seni memainkan kesempatan. Di mana ada peluang, tuturnya, maka mainkan saja dulu. Yang penting, ucapnya, para kader terakomodir terlebih dahulu. “Politik pragmatis,” ujarnya.
Adil mencermati, kader Muhammadiyah berada di mana-mana, nampaknya sudah menjadi keniscayaan, karena khittah persyarikatan terkait partai politik membuka kesempatan untuk itu.
Tambahan pula, ujarnya, sistem kepartaian di Indonesia masih bebentuk partai massa, tidak partai kader yang menyeleksi anggotanya mulai dari aspek kesamaan ideologi, visi, misi, dan mempunyai sistem pengkaderan yang jelas.
Di alam demokrasi seperti kita ini, imbuh Adil, apapun partai merupakan sebuah keniscayaan. Kalau memang perlu mengontrol kader untuk masuk partai yang sesuai dengan ideologi dan kepentingan Muhammadiyah, maka harus didesain juga bagaimana usaha agar kader-kader Muhammadiyah, jangan sampai bergabung dengan ‘partai jahiliyah modern’ atau ‘penista agama’.
BACA JUGA : Muhammadiyah tak Perlu Basa-basi Lagi
Muhammadiyah Jangan Sampai Ketinggalan Kereta pada Pemilu 2024
Semoga Muhammadiyah tak Jadi Korban Lagi pada 2024
Sementara itu, Dosen Ilmu Politik pada Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. Mahmud Yunus Batusangkar Dr. Novi Budiman, M.Si, mencermati, selama ini kader-kader Muhammadiyah masih banyak yang memainkan politik abu-abu, sehingga Muhammadiyah menjadi teraleniasi.
Kita harus menyadari, ujarnya, masuknya kader-kader Muhammadiyah ke berbagai partai politik merupakan penyeimbang. Karena itu, tegasnya, jangan sampai muncul pula justifikasi negatif.
Dalam suasana perpolitikan nasional yang elektotral saat ini, menurut Novi, ada kecendrungan partai politik menjadi corrupt. Dengan demikian, tidak ada jaminan, ketika warga Muhammadiyah bergerak dalam satu ruang partai politik saja, kemudian masalahnya akan dapat teratasi.
Nono, sapaan akrab Novi Budiman, menyebut, saat ini dibutuhkan kebangkitan para kaum intelektual organik, khususnya di kalangan keluarga besar Muhammadiyah, agar terjadi proses yang baik dalam modernisasi politik masyarakat. “Jangan berebutan masuk partai politik dan menjadi calon anggota legislatif,” tegasnya.
Adalah benar. Hal yang sering mengemuka dalam konteks hubungan Muhammadiyah, politik praktis, dan partai politik itu adalah tukang pancing yang ikut rebutan umpan dengan ikan, pengatur skenario pula yang bermain.
“Tokoh yang harusnya berperan sebagai pengatur skenario pengatur lalu lintas kader dalam politik, ternyata mereka itu pemain politik pula, dan mengaku paling pantas untuk maju. Kalau sudah seperti itu, tantu warga Muhammadiyah bingung mau memilih siapa,” sebut Kasman.
Kalau kita memilih yang ini, yang itu ketua Muhammadiyah, yang iten ketua Pemuda Muhammadiyah, dipilih ana, ano ketua Aisyiyah….
“Muhammadiyah telah tahu asin politik pragmatis. Di awal reformasi, tokoh kita yang sudah jelas kapabelitasnya di pecanturan politik nasional, ternyata tidak menang dalam pemilihan presiden. Ini membuktikan, kita di organisasi yang mencerahkan ini perlu lebih intens menjelaskan,” kata Buya Syafril Alwis, tokoh Muhammadiyah dari Kota Padang Panjang.
Mantan Wakil Ketua PDM Pabasko itu mengaku, selama ini Muhammadiyah tertinggal dalam siyasah, padahal ini bagian dari ajaran Islam. Kaum sekuler menipu kita dengan menyebut, politik haram bagi tokoh agama.
“Sekarang kita harus rebut lagi. Kalau ada kader yang patut dan ingin bermain di politik praktis itu, mari kita dukung. Kapan perlu diberikan pembekalan dan pembinaan,” jelasnya.
TUJUAN MULIA
Aktivis Muhammadiyah dari Jawa Barat; Jufrizal, berpandangan, keterlibatan kader-kader persyarikatan di dunia politik praktis, sejatinya tidak boleh lepas dari tujuan Muhammadiyah. Karena tujuannya mulia, ucapnya, maka diperlukan kehati-hatian dalam menentukan kendaraan politik.
“Pilihlah yang punya tujuan mulia, sejalan dengan tujuan Muhammadiyah,” sarannya. “Berpolitik praktis itu janganlah terlalu tegang dan serius. Santai saja,” timpal Dr. Suhardin, M.Pd, dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta.
Dia pun sependapat, persoalan politik praktis dan kader-kader Muhammadiyah yang bergabung dengan partai politik yang tidak sejalan dengan tujuan Muhammadiyah, tidak dapat lepas dari ideologi pragmatisme yang dianut oleh kader yang bersangkutan.
Menyinggung soal kader-kader Muhammadiyah yang rebutan masuk berbagai politik untuk menjadi caleg dan terpilih menjadi anggota legislatif, bahkan terkadang tanpa mempedulikan ideologi dan garis perjuangan yang diikuti, menurut aktivis Muhammadiyah Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi; Kasman Katik Sulaiman, merupakan realitas yang terang-benderang, terutama sejak era reformasi bergulir. “Rebutan, semua merasa paling pas,” ucapnya.
“Itulah masalahnya. Kue Muhammadiyah ini banyak diperebutkan antar kader sendiri,” sebut Nono. Ironisnya, “Yang rebutan kue itu kader-kader Muhammadiyah, tapi yang memakan kuenya malah orang lain,” komentar Ketua Majlis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat Boiziardi, SH, MH.
Salah seorang kader Muhammadiyah dari Kota Padang Panjang; Januar Efendi, S.Pd, malah menyebut hal demikan sebagai sesuatu yang ama memiriskan. “Yang paling membuat miris adalah saat mencalon, selalu menjual perihal kekaderan, tapi kalau sudah terpilih, lupa dengan kader sendiri,” sebutnya.
JAN LAI
“Jan lai (janganlah), untuk saat ini Muhammadiyah jangan berpolitik praktis dulu. Kader dan pimpinan yang terlibat politik praktis harus keluar dari Muhammadiyah. Kalau tidak, nanti mereka dikhawatirkan akan memanfaatkan fasilitas Muhammadiyah untuk kepentingan politik praktis. Terlalu banyak dampak buruknya untuk Muhammadiyah,” kata seorang tokoh Muhammadiyah DKI Jakarta; M. Edrison Kamil.
Kalau tak bisa dicegah, katanya, saya usul bentuk saja Majlis Politik di setiap level kepemimpinan Muhammadiyah. Majlis ini, tegasnya, harus menjaring kader-kader potensial untuk terjun ke politik praktis, baik eksekutif ataupun legislatif.
Majlis ini juga, tambahnya, harus membuat aturan main untuk terjun ke politik praktis. Kemudian harus membuat kontrak politik agar tidak abu-abu lagi, tetapi jelas hitam putihnya.
Tapi masalahnya, benarkah kader-kader yang bertarung di gelanggang politik praktis akan mendapat dukungan dan dibantu perjuangannya, khususnya secara resmi dari kalangan pimpinan dan anggota Muhammadiyah?
“Banyak sekedar bertepuk tangan, tapi tidak serius mendukung, karena tak dapat anggaran dari kader yang jadi calon,” sebut Wakil Ketua PDM Kota Medan Buya Rafdinal.
“Perlu juga dipertanyakan dan diperjelas. Masalahnya, jangan sampai hanya dapat tepuk tangan saja, sementara para kader yang naik panggung politik praktis itu berada di keramaian, tapi merasa kesepian,” tambah Ketua PDM Padang Panjang, Batipuh & X Koto (Pabasko) Buya H. Amiruddin.
Jika ada yang mau tampil di gelanggang politik praktis itu, tambahnya, marilah kita ‘anjuang’ (dukung penuh) bersama. Jika berharap kader-kader Muhammadiyah baik daun, jangan daunnya diinjak.***
(MUSRIADI MUSANIF, wartawan utama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar