NARASUMBER
Harmaini (Pekanbaru, Riau)
Rafdinal (Medan, Sumatera Utara)
Ardinan (Pasaman Barat, Sumatera Barat)
Boiziardi (Padang, Sumatera Barat)
Afdal Zikri (Jakarta)
M. Edrison Kamil (Jakarta)
MODERATOR
Kasman Katik Sulaiman (Sungai Penuh, Jambi)
Musriadi Musanif (Padang, Sumatera Barat)
AFDAL ZIKRI |
PADANG, POTRETKITA.net – Ekspektasi terlalu tinggi terhadap seseorang, khususnya para pemimpin, bisa bermuara pada melunturnya kepercayaan. Kalau sudah seperti itu, maka apapun yang dikerjakan akan dinilai tetap salah.
“Ekspektasi kita terlalu tinggi kepada seseorang. Di tengah derasnya kritikan tentang sulitnya menjadi pimpinan yang mumpuni, sesungguhnya Muhammadiyah memiliki banyak tokoh teladan dan yang akan mendayung organisasi ini,” ujar Harmaini, warga Muhammadiyah di Provinsi Riau.
HARMAINI |
Menurutnya, akibat menurunnya tingkat kepercayaan, maka tokoh yang sebenarnya banyak itu jadi tidak nampak. Pada akhirnya timbul saling curiga. Kalau sudah saling curiga, sebutnya, maka timbullah ketidakpedulian. Ketidakpedulian mengakibatkan tindakan diskriminatif.
“Jadi jangan berharap terlalu berlebihan kepada seseorang yang sebenarnya dia tidak akan mampu. Ketidakmampuan seseorang harus mampu disempurnakan orang lain. Kemauan untuk menyempurnakan berarti ada kepercayaan untuk sama-sama sampai pada keinginan,” katanya.
Mencermati adanya konflik, Rafdinal dari Kota Medan mengingatkan, dalam bermuhammadiyah itu harus ditanamkan motto, bahwa bermuhammadiyah itu harus menyenangkan,mMengasyikkan, dan menggembirakan.
RAFDINAL |
“Asyik beramal dan beribadah kepada Allah, senang banyak saudara dan teman yang selalu bersilaturrahim, gembira karena kita saling mendoakan dan menguatkan untuk menuju Ridha Allah serta syurga-Nya. Bermuhammadiyah bukan untuk memperbanyak lawan atau musuh,” kata Rafdinal.
Kasman dari Sungai Penuh selaku moderator diskusi menambahkan, asyik dalam mengejar pahala tentu sangat bagus. Tapi, ujarnya, tidak menutupkan kemungkinan malah ada pula yang asyik dengan dosa. Misalnya, ketika dikritik, ia marah dan merasa dilecehkan.
Atas pernyataan moderator itu, Ardinan dari Pasaman Barat menjelaskan, tradisi egaliter dan setara memang menjadi ciri khas Persyarikatan Muhammadiyah. “Itu yang saya pahami, jadi figur sentral atau memfigurkan seseorang agak kurang,” katanya.
ARDINAN |
Padahal, tambah Ardinan, dalam bidang tertentu memang dibutuhkan figur yang memiliki otoritas dan kompetensi terhdap bidangnya. Atau dalam skop keagamaan, tradisi berguru diperlukan.
Menurutnya, di Persyarikatan Muhammadiyah, siapapun bebas memahami dan dari level apapun dia. Contoh, siapapun bisa memahami Hinpunan Putusan Tarjih (HPT), karena memang belum ada sertifikasi atau penyelarasan pemahaman oleh majelis terkait.
Sementara itu, dari kacamata Rafdinal, egaliter di Persyarikatan Muhammadiyah cenderung mengabaikan adab dalam menilai dan melihat prilaku keagamaan seseorang di Muhmmadiyah, termasuk ulama dan juga tokoh atau pimpinan Muhammadiyah itu sendiri.
HUJAN EMAS
BOIZIARDI |
Terkait dengna hujan emas di luar Muhammadiyah, yang juga jadi pembahasan pada diskusi sebelumnya Tentang Identitas Kita, Kasman menegaskan, sebenarnya ada gejala mendua di sebagian warga Muhammadiyah.
KASMAN KATIK SULAIMAN |
“Maksudnya satu sisi mereka adalah tokoh penggerak persyarikatan, di sisi lain mereka juga jadi penggerak di organisasi lain, yang gerakannya hampir sama dengan Muhammadiyah. Ya jadilah gerakan itu separo hati, karena susah membagi waktu,” katanya.
Boiziardi dari Padang yang pertama melontarkan wacana itu pun merespon. Itu terjadi karena perhatian dari pimpinan organisasi tidak ada, jadi ibarat ayam hanya talurnya saja yang diambil, ayamnya ndak diperhatikan makannya.
“Jadi yang hujan emas di tempat kita, dalam perspektif apalagi bang. Jika perspektif ideologis, ekonomi, dan politik sudah di tempat lain,” tanya Ardinan.
Afdal Zikri dari Matraman Jakarta mengikatkan pula, apa yang disampaikan Kiyai Haji Ahmad Dahlan harus disesuaikan dengan konteks zamannya.
Realitas menunjukkan, ujarnya, banyak pimpinan persyarikatan yang juga sekaligus menjadi guru, dosen, dan karyawan di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). “Sekarang ini mottonya adalah maju bersama persyarikatan,” tegasnya.
M. EDRISON KAMIL |
Di sinilah persoalan mendasar itu muncul, sebut M. Edrison Kamil dari Jakarta, para pimpinan inti di tingkat struktural dan pimpinan inti amal usaha adalah mereka yang sudah selesai dengan urusan dunia. Mereka adalah para pengabdi yang lebih mengedepankan kebijaksanaan yang selalu menjadi contoh dalam bemuhammadiyah.
“Ambisi mereka hanyalah tercapainya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rasa curiga dan saling jegal telah mereka kubur dalam-dalam. Mereka akan selalu berpegang pada tali Allah sebagai landasan persatuan yang kokoh. Bak kecek urang, awak sadanciang bak basi, saciok bak ayam, ka bukik samo mandaki ka lurah samo manurun (filosofis kebersamaan, kerjasama, dan senasib seperjuangan orang Minangkabau),” tegasnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar