Si Belanda yang Memihak Republik - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

10 November 2022

Si Belanda yang Memihak Republik

Ketika bertugas di Natal, beliau sempat menulis sebuah buku terkenal berjudul Losse Bladen uit het Dogbck van een ud Man (Halaman-halaman lepas dari buku harian seorang lelaki tua).


OPINI, potretkita.net - Setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Selain disambut dengan upacara, biasanya pemerintah juga menyemarakkannya dengan memberi anugerah gelar pahlawan nasional kepada para tokoh.

PELABUHAN NATAL

Tahun ini, ada lima tokoh yang telah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional, yaitu DR. dr. H. R. Soeharto dari Jawa Tengah, KGPAA Paku Alam VIII (Yogyakarta), dr. Raden Rubini Natawisastra (Kalimantan Barat), H. Salahuddin bin Talibuddin (Maluku Utara), dan K.H. Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.


Hari Pahlawan haruslah dimaknai sebagai usaha bersama menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi sekarang untuk mengisi kemerdekaan, bukan sekadar mengingat jasa-jasa pahlawan, khususnya dalam perisriwa heroik di Surabaya pada 1945.


Kementerian Sosial RI selaku leading sector peringatan Hari Pahlawan menjelaskan, maksud dan tujuan memperingati Hari Pahlawan adalah untuk mengenang dan menghormati perjuangan para pahlawan, dan pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan.


Hal itu dilakukan guna membangun ingatan kolektif, untuk kemudian menggerakkan kesadaran masyarakat agar mau meneladani dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur pahlawan dalam kehidupan sehari-hari, merperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dengan dilandasi semangat dan nilai kepahlawanan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan rasa kecintaan, serta kebangggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia.


Nah, bicara soal pahlawan nasional, tentu pikiran kita langsung kepada para pribumi Indonesia yang berjuang, khususnya dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang dari bumi Indonesia ini. Tapi ada hal yan menarik: Seorang Belanda bernama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dia juga dikenal dengan nama Multatuli atau Danudirja Setia Budhi.


Multatuli lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada 8 Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Adoeard Douwes Dekker, sedangkan ibunya bernama Lousa Neumann. Sepanjang hidupnya, Douwes Dekker sempat menikah dengan empat orang perempuan, di antaranya Clara Charlotte Deije, Johanna P Mossel, Djafar Kartodiwedjo, serta Haroemi Wanasita alias Nelly Kruymel.

MUSRIADI MUSANIF

Douwes Dekker akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 28 Agustus 1950, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno pada 9 November 1961 melalui Keputusan Pres Nomor 590 Tahun 1961.


Mendengar nama Douwes Dekker atau Multatuli, kita tidak boleh melupakan nama Kota Padang dan Natal. Di dua kota itu, dia pernah berdomisili dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Natal adalah sebuah pelabuhan samudera yang terbilang ramai pada masa Belanda menjajah negeri ini, hampir sama ramainya dengan Padang dan Sibolga.


Saat ini, Natal adalah sebuah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara.

 

Kendati kini berstatus sebagaikota kecamatan, namun aktifitas nelayan terbilang tinggi di sini. Banyak kapal-kapal nelayan yang berlabuh untuk menjual hasil tangkapan mereka. Ada juga yang menjual ikan yang sudah dikeringkan. Ada pendapat, Natal adalah bagian dari daerah Rantau Minangkabau, tapi SK-nya digantung oleh pemimpin Pagaruyuang lantaran raja yang menjabat tidak memenuji syarat.


Natal amat dikenal sebagai salah satu tempat persinggahan Douwis Dekker yang kemudian dikenal dengan nama Multatuli. Di Natal ada seruas jalan bernama Jalan Multatuli. Di ruas jalan itu terdapat rumah bekas Multatuli tinggal. Ada pula sumur yang disebut masyarakat setempat dengan ‘sumur multatuli’.


Menurut beberapa referensi yang bisa ditelusuri melalui mesin pencari google, Douwis Dekker alias Multatuli itu tiba di Padang awal abad 18, namun kemudian Gubernur Sumbar Kolonel Andreas Victor Michiels mengirimnya ke Natal menjadi seorang kontroleur. Dia dikirim ke kota kecil itu karena dikenal memiliki reputasi buruk, yakni suka berjudi dan menempeleng orang.


Di Natal itulah, Douwes Dekker menunjukkan keberpihakannya terhadap pribumi dalam melawan penjajahan Belanda. Padahal pada waktu itu, dia masih berstatus sebagai pejabat kolonial Hindia Belanda. Ketika bertugas di Natal, beliau sempat menulis sebuah buku terkenal berjudul Losse Bladen uit het Dogbck van een ud Man (Halaman-halaman lepas dari buku harian seorang lelaki tua).


Sayangnya, Natal kini menjadi sepi sendiri. Daerah bersejarah ini seakan tenggelam dalam kesepian pembangunan. Bertahun-tahun akses transportasi ke sini tidak kunjungi dibenahi. Jalan rayanya dipenuhi lobang. Untunglah, seiring dengan adanya jalan lintas barat Sumatera, Natal dengan mudah bisa dijangkau dari Pasaman Barat.


Masyarakat Natal kini bisa tiap hari berkunjung ke Padang dan Bukittinggi, seiring dengan terbukanya jalan mulus di pantai barat tersebut. Warga Natal juga sudah bisa setiap hari berkunjung ke Sibolga melintas jalan mulus dan baru saja selesai dibangun.


Dari Natal ke Sibolga memakan rentang jarak hampir 300 kilometer dengan jarak tempuh 5-6 jam. Entah kenapa, jalan lintas barat itu dibelokkan ke pedalaman Tapanuli Selatan hingga sampai di Batangtoru. Padahal bila dibuka jalan baru melewati Batumundom, tentu jarak Natal-Sibolga bisa lebih diperpendek lagi.


Perjalanan dari Natal melewati Tabuyung hingga Singkuang, memang terbilang kurang nyaman. Selain dihiasi banyak lobang, jalan ini juga jadi tempat bermain berbagai hewan ternak. Beda dengan jalur jalan baru dari Singkuang ke Batangtoru sepanjang lebih dari 145 kilometer yang sepi.


Kendati sepi, tapi banyak pesona alam bisa dinikmati sepanjang jalan. Ada perkebunan kelapa sawit dan karet, ada pula panorama belantara rawa-rawa, air terjun tiga tingkat setinggi 200-an meter bernama Simatutung, dan klimaksnya adalah pesona Danau Siais yang masih perawan.


Lalu, di kota-kota mana sajakah nama Douwes Dekker atau Multatuli yang disematkan menadi nama jalan, sebagaimana halnya yang ada di Natal?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad