ANAK-ANAK tahun enam puluhan, pemimpin dan pengambil kebijakan di masa ini. Anak-anak sekarang gambaran bangsa tahun dua ribu enam puluhan yang akan datang.
![]() |
radarbogor.id |
Romawi memegang tampuk peradaban klasik akibat keberhasilan membangun pendidikan pada bangsanya melalui dialektika sosial dan budaya.
Demikian juga halnya Persia menjadi bangsa berjiwa pemenang, karena sukses gilang gemilang membangun tatanan masyarakat yang berpikir kritis, dialogis dan bernalar ilmiah dalam pembangunan sosial budayanya.
Baghdad di bawah kekuasaan Islam sukses memegang tampuk peradaban dunia, akibat apresiasi pemimpin (khalifah) terhadap perkembangan keilmuan dan metodologi berpikir ilmiah dengan membangun Baitul Hikmah sebagai pusat kemajuan pada masa itu.
Lima negara modern yang sukses membangun pendidikan dengan serius dewasa ini, yang di rilis oleh lembaga The Social Progress Imperative sebutlah Korea Selatan, Jepang, Singapura, Hongkong dan Finlandia.
Memastikan anak bangsanya memperoleh hak pendidikan dengan layanan terbaik, memberikan perhatian dan kesejahteraan serta kehormatan yang sangat tinggi terhadap pendidik dan tenaga kependidikan, mengalokasikan anggaran pendidikan sebagai prioritas utama dibandingkan dengan yang lainnya, ratio jumlah guru dan murid yang proporsional dan tingkat melek huruf yang telah mencapai sembilan puluhan persen pada penduduk di negaranya, dengan berbasis equality gender.
Dapat diprediksi ke depan bahwa bangsa yang akan memegang kendali peradaban di masa depan tahun dua ribu lima puluhan ada pada bangsa-bangsa tersebut. Bagaimana halnya dengan Indonesia? Pertanyaan yang mennyentak, membuat kerut kening kepala kita berlipat-lipat.
Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Selasa 3 Desember 2020 di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Di antara kelemahan yang sangat dirasakan pertama, kualitas pendidik dalam memberikan pembelajaran di ruang kelas.
Sistem pembelajaran yang feodalistik dan berorientasi administratif dan instruksionalistik dari sang penguasa lembaga pendidikan. Guru umumnya miskin kreatifitas, kering inovatif, menoton dalam strategy, lemah dalam profesionalitas, terkekang oleh sistem yang dikembangkan oleh manajemen sekolah.
Kedua, kualitas layanan kependidikan yang terbatas. Pendidik dan tenaga kependidikan pada umumnya melakukan layanan pembelajaran terbatas pada ruang kelas empat persegi panjang. Jarang para guru memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai tempat pembelajaran.
Jarang pendidik mengajar siswa untuk berkelana dalam ruang maya. Dan jarang pendidik mengajak siswa untuk bercengkrama dalam laboratorium yang kondusif dan mengasikkan.
Sehingga pembelajaran sangat menoton, bersifat transformatif, kering dengan critical thinking (berpikir kreatif), jauh dari kegiatan eksploratif, amat sedikit melakukan cooperative learning (belajar kelompok). Yang banyak pekerjaan rumah, yang membuat orang tua siswa, harus membayar lagi guru tutorial ke rumah.
Sekalipun banyak guru yang berjiwa maju, tetapi keterbatasan fasilitas dan banyaknya pimpinan satuan pendidikan yang rabun ayam, membuat inovasi layanan pembelajaran tidak dapat diwujudkan.
Ketiga, otonomi sekolah yang setengah hati. Indepensi manajemen pimpinan satuan pendidikan, sekolah, kampus yang telah digulirkan pasca otonomi daerah yang berbarengan dengan jiwa reformasi, memberikan angin segar perubahan manajemen pendidikan di Indonesia.
Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, interpensi kekuasaan pada pimpinan daerah terkait dengan dinamika politik pada tingkat daerah, membawa lembaga pendidikan ditarik-tarik untuk kepentingan politik kekuasaan dan politik anggaran, membuat otonomi sekolah terkebiri.
Banyak pimpinan lembaga pendidikan tersandra oleh kepentingan politik daerah, tidak berdaya untuk mengembangkan kreatifitas dan memperkuat manajemen sekolah untuk kemajuan layanan. Pimpinan satuan pendidikan terpaksa meminta petunjuk, menunggu titah, dan bergaya seksi di hadapan kekuasaan.
Banyak para rektor bermanuver ria untuk mendapatkan perhatian sang penguasa buat menduduki posisi tertentu dalam kekuasaan, juga untuk mendapatkan hadiah tertentu untuk pengembangan manajemen satuan pendidikan yang beliau pimpin.
Demikian juga halnya kepala sekolah, banyak ditarik untuk mendukung satu diantara kontestan yang bersaing pada pemilihan pimpinan daerah langsung, diberikan iming-iming posisi dan jabatan tertentu sebagai imbal balik perjuangan.
Otonomi satuan pendidikan tersandra oleh kepentingan pada kekuasaan, sehingga menjadi sub-ordinat dari kekuasaan, maka kampus dan sekolah kembali menjadi unit dalam birokrasi pemerintahan.
Keempat, lembaga pendidikan berorientasi pada nilai kuantitatif anak. Semua guru bidang studi dituntut untuk menakar anak dalam angka. Nilai harian, nilai tengah semester dan nilai akhir semester hingga menghasilkan sidanira (Sistem Pendataan Nilai Raport) online yang digunakan siswa dalam melanjutkan ke jenjang di atasnya.
Demikian juga pada pendidikan tinggi, Dosen dikejar dalam nilai tugas, nilai tengah semester dan nilai semester. Jika nilainya objektif, dapat dipahami dan dimaklumi, akan tetapi kebanyakan nilainya tebak-tebakan, kasih-kasihan, dan ugal-ugalan.
Betapa banyak sekolah dalam rangka membantu siswanya mendapatkan sekolah terbaik, dengan mengobral nilai setinggi-tingginya. Sehingga nilai bukanlah presentasi kemampuan personal dan individual anak, tetapi bentuk kebaikan guru terhadap anaknya.
Apalagi dengan sistem pendidikan online sekarang. Pada umumnya nilai yang diberikan kepada anak cendrung barakatul guru terhadap anak. Nilainya adalah nilai barokah, sehingga kuantifikasi nilai yang ada pada siswa cendrung sesat dan menyesatkan jika itu dijadikan patokan untuk mengukur personal capability.
Kelima, manajemen pendidikan nasional dan di daerah, bagian dari politik kekuasaan. Ganti penguasa ganti kebijakan. Ganti menteri kebijakan berobah. Ganti kepala dinas, kebijakan ditinjau ulang.
Hal ini karena pendidikan kita belum memiliki roadmap yang kuat dan tangguh, sehingga kepentingan pejabat yang tengah berkuasa untuk mengobrak abrik regulasi sesuatu hal yang disaksikan secara kasat mata. Hal ini membuat para praktisi pendidikan pada satuan pendidikan mengalami kebingungan dalam membuat kebijakan pada tingkat satuan pendidikan.
Regulasi yang digulirkan oleh para pengambil kebijakan pendidikan selalu berubah tanpa evaluasi yang memadai dan tanpa sosialisasi yang merata. Perlu dipikirkan untuk indepensi pendidikan yang bebas dari hiruk pikuk politik kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh beberapa negara, telah terbukti sukses menjadikan negaranya memiliki pelayanan pendidikan terbaik dunia.
Di luar satuan pendidikan, di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan, anak bangsa digerogoti oleh pathologi sosial, narkotika dan obat terlarang, dijual bebas di tengah kehidupan sosial, dalam bentuk pasar gelap, malah telah sampai ke kampung-kampung, dengan peredaran yang masif, sistematis dan terstruktur.
Masyarakat, tokoh masyarakat, pimpinan adat, pimpinan keagamaan nyaris tidak berdaya untuk membendung peredaran barang haram tersebut, karena ia tercium, terasa, terlihat, tapi tidak kuasa untuk mencegahnya.
Aktor yang bermain dalam peredaran tersebut pada tingkat bawah dapat diketahui, tetapi tidak bisa ditindak, seolah ada kekuatan siluman yang melindungi. Dampak yang dirasakan dari ini, pertama, punahnya cita-cita diri anak yang tengah terpapar.
Mereka nyaris tidak memiliki asa dan obsesi hidup sukses di masa depan. Ketergantungan dengan obat menghimpit, membelenggu dan mengangkangi kehidupan mereka. Mereka tidak memiliki dirinya lagi, jiwanya tercampak, raganya menjadi mayat yang berjalan, musuh keluarga dan masyarakat, serta menjadi aktor kriminalitas.
Kedua, memperberat beban keluarga dan masyarakat. Anak yang terpapar memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap obat terlarang tersebut. Pilihannya ada dua, terapi atau mati. Pemulihan melalui terapi sangat sulit dan berbiaya tinggi.
Ketergantungan obat, menghabiskan uang keluarga, sehingga pada akhirnya mencari uang dengan jalan yang tidak benar, cepat dan pasti kematian akan menghampiri dengan tragis.
Ketiga, punahnya tunas bangsa, betapa banyak anak-anak yang cerdas, baik, berbudi, anggun dan bersahaja, tetapi terpapar oleh para marketing jahannam ini, sehingga pada akhirnya masuk dalam lembah hitam kehidupan dan tidak bisa lagi mengikuti pendidikan. Punahlah harapan keluarga dan harapan bangsa di pundaknya.
Himpitan kemiskinan pada masyarakat kota dan desa, membuat keluarga kehilangan kuasa berjuang untuk masa depan anaknya. Banyak diantara mereka membawa anak untuk mengais rezeki di perempatan jalan dan di lampu merah.
Anak digendong dagangan di jajakan dalam bentuk tisu, lap tangan dan lap wajah. Ada juga menggendong anak dalam rangka untuk mengundang simpati dan keprihatinan serta meminta belas kasihan dari pengendara mobil dan motor yang tengah melintas di parapatan dan lampu merah.
Bagaimana mungkin mereka menerima layanan pendidikan, sementara bahan makanan untuk menyambung kehidupannya hari ke hari tidak ada kepastian.
Bagaimana mereka bisa belajar, sementara anak-anak tersebut, hari ke hari menyaksikan ketiadaan dalam keluarga, kehampaan dalam cita, dan putusnya asa dalam dirinya.
Mereka didera oleh penderitaan kehidupan yang nyaris sempurna. Inilah potret kehidupan masa depan bangsa. Apa mungkin kita berlari mengejar ketertinggalan dan menggapai kemajuan? Wallahua'lam. Tapi itu harapan.(DR. Suhardin, dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta dan STKIP Muhammadiyah Bogor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar