SEBUAH kota tua di bibir pantai sebelah barat Pulau Sumatra. Negeri yang tersebut di dalam kitab suci. Indah menyejukkan mata, kendati udaranya terkadang sedikit panas dan menggerahkan. Maklumlah, letaknya di tepi pantai.
Ziarah di Makam Papan Tinggi. |
Itulah dia Barus. Negeri yang saat ini berada dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak orang yang sudah akrab dengan kota ini, sebanyak itu pula yang belum kenal. Tapi satu hal yang jelas, kota ini penuh dengan aroma spiritual, baik dalam konteks Islam maupun agama-agama lainnya yang diakui di Indonesia, terutama Kristen.
Dari banyak referensi terpercaya, jejak Islam dan Kristen amat jelas di kota yang dahulu dikenal dengan harumnya kapur barus.
Menurut seorang sarjana Mesir bernama Abu Salih al-Armeni, banyak Gereja Nestorian sudah berdiri di Kota Fansur –nama kuno untuk Kota Barus- dari abad ke-12 masehi, tetapi dalam literatur lain disebut abad ke-7 Masehi. Bisa jadi, Pelabuhan Fancur (Barus) adalah daerah pertama penyebaran Agama Kristen di pulau-pulau Nusantara.
Sementara agama Islam, masuk ke pulau-pulau Nusantara disebut untuk pertama kali juga melalui Barus, yaitu pada abad ke-7 Masehi, bertepatan dengan abad pertama hijriyah.
Presiden RI Joko Widodo, pada Jumat, 24 Maret 2017 meresmikan tugu Nol Kilometer Peradaban Islam di Nusantara di tepi laut Barus nan permai. Tugu itu menjadi simbol, peradaban Islam pertama berkembang dari Barus. Mustahil pulalah rasanya, tugu dibangun yang diresmikan presiden, bila tidak didukung oleh fakta dan data sejarah yang akurat.
Terlepas dari perdebatan sejarah, satu hal yang pasti, aroma spiritual cukup kental terasa bila Anda berkunjung ke Barus. Ada banyak destinasi spritualisme yang bisa Anda kunjungi, dalam rangka memperkuat keyakinan Anda terhadap agama yang dianut, baik Islam maupun Kristen.
Bukan hanya Islam dan Kristen, tetapi sebenarnya Hindu dan Budha ada yang menyebut pendaratan pertamanya adalah di Barus.
Untuk Islam dibuktikan dengan situs tua Mahligai, situs Papan Tinggi yang disebutkan makam ulama penyebar Islam, kira-kira abad ke-5 Masehi dari saudagar-saudagar Timur Tengah yang berlayar menuju Tapanuli Tengah.
Kota Barus atau dikenal juga dengan nama Fansur, pada abad 1 – 17 M merupakan kota Emporium dan pusat peradaban. Hal ini menjadikan Barus sebagai kota tertua di Indonesia. Pelayar-pelayar terkenal seperti Marcopollo pernah mendarat di kota ini. Pedagang-pedagang dari Persia dan bahkan dari seluruh penjuru dunia juga berdatangan ke kota ini di masa-masa kejayaannya.
Dulunya, aktivitas di kota ini lebih banyak diisi dengan perdagangan di mana komoditi yang paling dominan adalah rempah-rempah. Barang dagangan dibawa turun dari gunung oleh para penduduk lokal untuk dijual ke para pedagang yang berasal dari luar negeri.
Adapun komoditi yang paling terkenal dari kota itu hingga saat ini adalah kapur barus. Bahkan dalam sebuah penelitian disebutkan, mayat Raja Firaun diawetkan dengan menggunakan bahan rempah-rempah bernama kapur barus yang berasal dari kota Barus.
Jembatan Hamzah Al-Fansuri |
Kedatangan para pedagang yang berasal dari Persia sekaligus membawa Agama Islam masuk ke Nusantara, begitu juga para pedagang dari Eropa, membawa pengaruh Agama Kristen. Namun, Islam lebih mendominasi.
Peninggalan-peninggalan bersejarah, seperti kuburan berukuran raksasa, batu nisan bertuliskan tulisan Persia kuno dan artefak-artefak bersejarah lain sampai hari ini masih banyak ditemukan di Barus.
Cobalah, Berziarah ke Barus itu Beda
Sumatera Barat yang dulunya dikenal
sebagai Minangkabau juga punya kaitan erat Barus. Tidak sedikit warga
Minangkabau yang sudah berdagang di Barus pada masa silam.
Kini hubungan itu masih terus terajut kuat. Ribuan warga Sumbar sepanjang tahun berkunjung ke Barus untuk berziarah. Mereka datang ke Barus untuk memperkuat spritualisme dan membangun kebangaan beragama dengan cara menziarahi makam-makam pembawa Islam ke Nusantara.
Selama pandemi Covid-19 ini, dimana pemerintah melakukan pembatasan perjalanan antarkota untuk memutus rantai penularannya. Tetapi kerinduan spritual terhadap ulama-ulama besar pembawa Islam ke nusantara, tentu tak bisa terobat begitu saja tanpa ziarah.
Apalah akal lagi. Berziarah di tengah pandemi, patuhi protokol kesehatan untuk perjalanan darat di dalam negeri; di antaranya adalah sudah melakukan vaksin minimal dosis pertama.(MUSRIADI MUSANIF, dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar