DI ZAMAN virtual dan sebab dalam jaringan (daring) ini, beternak hoaks alias kabar dan konten bohong, lebih menguntungkan dibanding beternak ayam. Rata-rata pembuat hoaks bisa menerima uang Rp10 juta hingga Rp15 juta dalam sebulan.
kominfo.go.id |
Ismail mengatakan hal itu, Sabtu (7/8), saat menjadi pembicara pada kegiatan pengajian Pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dirilis laman resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dikutip Ahad (8/8).
Menurutnya, penyebaran informasi hoaks memang sulit dilacak sumbernya, karena isinya berasal dari gabungan konten dari akun-akun media yang berbeda. Cara ini, katanya, bernama context collapse.
“Video-video yang gak nyambung, tapi ketika disambungin membentuk sebuah cerita. Teori konspirasi kebanyakan seperti itu, dan itu dipotong-potong saja,” sebut Ismail.
Menurutnya, ciri-ciri informasi hoaks ialah informasinya lebih menyasar perasaan ataupun psikologi khalayak dan mematikan logika mereka. Di sisi lain, fenomena persebaran informasi hoaks diperparah oleh pengguna media sosial yang berasal dari generasi ‘kolonial’ yang gemar berbagi informasi tanpa filtrasi.
Ismail menyebut, para orang tua yang terpapar hoaks tidak begitu mengherankan. Sebab, berkaca dari Inggris Raya yang dikenal masyarakatnya sudah modern, maju, dan daya literasinya tinggi juga masih bisa terpapar informasi hoaks.
Ia menegaskan, di balik publik yang banyak dirugikan oleh informasi hoaks, ada orang-orang pemroduksi informasi hoaks yang tertawa dan menikmati pundi-pundi ekonomi yang tidak sedikit hasil dari pekerjaan memproduksi informasi hoaks tersebut.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar