Wabah dalam Sejarah Islam - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

28 Agustus 2021

Wabah dalam Sejarah Islam

FENOMENA Fenomena Tha’un atau penyakit menular global, sejatinya telah terjadi berulang kali sepanjang sejarah.

ilustrasi dari muhammadiyah.or.id

Menurut Muhamad Ali, wabah pertama kali dalam sejarah Islam terjadi pada masa kenabian sekitar tahun 627-628 M, dikenal dengan wabah Shirawaih. Kemudian wabah Amwas (Emmaus) atau wabah Siria yang terjadi sekitar tahun 638-639 M, pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khatab.


Pada masa dinasti Umayyah, kata Ali, terjadi di Kufah pada 669 M di masa khalifah Muawiyah. Kemudian dilanjutkan dengan datangnya wabah Jarif di Basrah pada April 689 M. Dalam tiga hari sebanyak 70.000, 71.000, dan 73.000 orang telah meninggal. Disusul wabah Fatayat terjadi di Basrah, Kufah, Waset, dan Damaskus pada 706 M. Wabah al-Ashraf terjadi di Irak dan Suriah pada 717 M selama pemerintahan Al-Hajjaj, gubernur Irak dari Bani Umayyah yang terkenal.


“Wabah saat dinasti Umayyah terjadi tahun 669 M dan 689 dengan konteks berbeda dan dampak yang berbeda. Di Basrah tahun 689 bahkan menelan hampir 73.000 orang meninggal. Gubernur Abdul Aziz bin Marwan sampai pindah ke Syarqiyyah demi keselamatan,” terang Ali dalam kajian yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat pada Sabtu (28/08).


Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat ini menuturkan, datangnya wabah secara bertubi-tubi menyebabkan berkurangnya populasi penduduk, yang kemudian menjadi salah satu sebab keruntuhan dinasti Umayyah. Dampak positifnya ialah para ilmuwan mulai mengembangkan studi medis dan para ulama mulai mencari pandanan teks hadis yang relevan tentang wabah.


“Menariknya, setelah masa Umayyah wabah terus menurun di masa Abbasiyah. Bahkan ada satu pendapat yang mengatakan mengapa masa Abbasiyah tidak ada wabah. Itu klaim menarik dari internal Abbasiyah,” tuturnya.


Ali menyimpulkan, ada tiga respon keagamaan dalam menyikapi gelombang wabah di kalangan umat Islam: pertama, muslim jangan masuk ke tempat yang terkena wabah dan bila tertular jangan keluar dari tempat itu; kedua, muslim yang wafat karena wabah berstatus syahid, sementara kafir berstatus azab (hukuman) dan; ketiga, tidak ada penularan, karena penyakit hanya datang dari Allah.


Di samping ketiga respon di atas, Ali juga mengisahkan respon yang sangat masyhur dari Umat bin Khattab saat berdebat dengan Abu Ubaidah tentang wabah dan takdir. Ketika itu, Abu Ubaidah tak sepakat dengan keputusan Umar untuk kembali ke Madinah.


“Apakah Engkau ingin lari dari takdir wahai Amirul Mukminin?” kata Abu Ubaidah. “Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya,” jawab Umar bin Khattab.


“Jadi, menarik kisah Umar dengan Abu Ubaidah ini karena kita diberikan pilihan mana yang terbaik antara ikhtiar dengan kerja keras atau hanya menerima dengan pasrah. Dua sikap ini sering dikutip oleh para ulama klasik dan ulama sekarang, keduanya punya alasan dengan cara berpikir yang berbeda,” ungkap Ali.


Dosen Islamic Studies California University ini juga mengutip kitab Badzl al-Ma’un fi Fadhl ath-Tha’un karya Ibnu Hajar tentang adab-adab menyikapi wabah, di antaranya: berhati-hati pada saat terjadi tha’un dan penyakit-penyakit lainnya, orang yang tertimpa musibah tha’un senantiasa harus berdoa kepada Allah memohon kesehatan, bersabar, ridha, dan berbaik sangka kepada Allah.(muhammadiyah.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad