BAGI penikmat kopi sejati, lidah mereka sangat terlatih dalam membedakan cita rasa. Dari satu tetesan kopi di ujung lidah saja, mereka sudah dapat mengenali, kopi yang sedang dinikmati berasal dari daerah mana.
bp-guide.id |
Di Sumatera, selain Kopi Aceh, Sidikalang, dan Kerinci, ada banyak varian kopi nikmat yang bisa didapat dengan mudah, misalnya Kopi Pasaman yang banyak diolah untuk minuman khas Mandailing Natal (Madina), yaitu kopi takar. Ada juga Kopi Talu, Kopi Bukik Apik, dan Kopi Batusangkar atau populer dengan sebutan Kopi Koto Tuo.
Dari luar Sumbar, kopi yang populer adalah Kopi Curup atau Kopi Bengkulu dan Kopi Lampung.
Bagaimana dengan Kopi Mandailing? Sejak zaman penjajahan Belanda, kopi ini sudah amat dikenal hingga ke mancanegara. Cita rasanya yang khas tentu tak bisa pula lepas dari kondisi alam tempatnya tumbuh, yaitu Kecamatan Pakantan dan Ulu Pungkut.
Informasi yang diperoleh dari madina.go.id, Kopi Arabika Mandailing Pakantan kini sudah masuk kategori tanaman yang dilindungi. Cita rasa dan jenisnya mendapat pengakuan internasional. Kendati berbagai upaya penelitian dan pelestariannya melalui plasma nutfah, namun Kopi Arabika Mandailing ini hanya bisa tumbuh baik di hutan Pakantan dan Ulu Pungkut.
madina.go.id |
Berbagai pihak memang mengakui, Kopi Arabika
Mandailing yang asli itu hanya berasal dari Pakantan dan Ulu Pungkut. Pada masa
keemasannya di zaman Penjajahan Belanda, tanaman kopi ini tumbuh subur dengan
pohon yang menjulang tinggi di hutan-hutan Bukit Barisan tersebut.
Kemasyhuran Kopi Arabika Mandailing Pakantan sudah tak
diragukan lagi. Kopi jenis ini pulalah yang mengharumkan nama Mandailing ke
penjuru dunia. Namun sejak 1900-an, produksinya mengalami penurunan karena
diserang hama. Sejak itu, Belanda memerintakan petani menggantinya dengan jenis
kopi robusta.
Perkebunan kopi robusta yang ditanam warga, akhirnya meluas hingga ke dataran rendah dalam kawasan Mandailing dan Natal. Sayangnya tak bertahan terlalu lama, seiring dengan jatuhnya harga kopi sekitar 1960-an. Sejak itu, petani kopi beralih ke tanaman karet dan kakao. Perkembangan kopi di hutan-hutan Pakantan dan Ulu Pungkut pun mengalami kemunduran.
Menyadari akan besarnya potensi dan nama besar yang disandang Kopi Arabika Mandailing tersebut, beberapa waktu belakangan, Pemerintah Kabupaten Madina, Provinsi Sumatera Utara, kembali membudidayakannya, sekaligus memotivasi petani kembali menanamnya.
Kini, nama Kopi Arabika Mandailing bergema lagi. Berbagai program bantuan dari pemerintah mulai berdatangan untuk pelestariannya, termasuk dari pemerintah pusat melalui kementerian terkait. Nampaknya, nostalgia kejayaan kopi di Madina akan kembali jadi realitas kehidupan.
Menurut wikipedia.org, Kopi Arabika Mandailing yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Mandheling Coffee, memiliki cita rasa luar biasa dan tingkat kekentalan yang bagus. Cerita tentang kopi ini tertulis dalam buku karya William H. Ukers yang terbit di New York pada 1922.
Kopi Mandailing dideskripsikan Ukers sebagai kopi paling bagus dan termahal di pasaran internasional pada masa itu. Tahun 1875, Mandheling Coffe dijual dengan harga 79 Florin/Pikul.
Menilik kepada sejarahnya, saat Belanda mendarat di Pelabuhan Natal pada 1835, mereka sudah mendatangkan bibit kopi dari Jawa untuk dikembangkan di Madina, di antaranya di kawasan Tano Bato pada tahun 1840. Hal serupa juga dilakukan di Pakantan dan Angkola.
Pada tahun 1848, tercatat ada 2,8 juta batang kopi yang ditanam di kawasan itu dengan produksi mencapai 9,8 ton. Kopi itu dikirim ke Belanda melalui Pelabuhan Natal, sebelumnya melewati jalur darat via Tapus dan Lingga Bayu. Perjalanan dari Ulu Pungkut ke Natal dengan berjalan kaki, pada waktu itu menghabiskan waktu 15 hari pulang pergi.
Mengingat sulitnya akses transportasi di jalur darat menuju Pelabuhan Natal, maka pada tahun 1886, Belanda menghalihkan pengiriman kopi ke pasaran internasional dari Pelabuhan Natal ke Pelabuhan Sibolga.(MUSRIADI MUSANIF, dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar