Millah Ibrahim - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

29 Juni 2022

Millah Ibrahim

Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.
(Dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta)


ADA tiga jenis kemusyrikan yang terjadi di masa Ibrahim muda. Pertama, penyembahan benda langit. Masyarakat percaya bahwa tuhan adalah benda-benda langit yang menakjubkan dan memberikan effect terhadap kehidupan manusia di muka bumi.


Matahari benda langit yang memberikan manfaat nyata dalam kehidupan manusia, ia menghasilkan energi, menerangkan bumi setelah gelap pada malam hari, ia memberikan kesuburan pada tanaman karena menghasilkan karbon dioksida sehingga terjadi fotosintesis pada hijau daun.


Bulan memberikan cahaya pada malam hari, siklus pasang naik dan turun di laut, dan siklus musim buah pada tanaman. Bintang memberikan tanda perputaran arah angin dan perkiraan cuaca pada para nelayan. 


Efek langsung pada kehidupan tersebut membuat manusia menyembah dan memberikan sesajian khusus kepada benda-benda tersebut. Matahari mereka sembah dan mereka puja, karena mereka yakin bahwa dengan kebaikan mataharilah kehidupan mereka akan lebih baik.


Bulan mereka sembah, karena mereka yakin bahwa dengan kebaikan rembulanlah kehidupan mereka semakin lebih baik. Demikian juga bintang-bintang mereka sembah dan mereka punya, karena mereka yakin bahwa kebaikan dari bintang membuat kehidupannya lebih baik dan menggapai kesuksesan yang gilang gemilang. 


Kedua, menuhankan manusia yang terkuat. Manusia yang paling kuat dianggap merekalah yang memberikan kebaikan dan keburukan kepada masyarakat secara umum. Pemimpin adalah yang membuat kebijakan untuk kehidupan lebih baik dan bisa berdampak kepada kehidupan yang buruk. Maka pemimpin adalah tuhan yang harus disembah, dipuja, diberikan sesajian khusus yang membuat sang pemimpin senang dan tidak murka kepada rakyatnya. Miniatur pemimpin dilambangkan dengan patung, senantiasa dipuja-puja, dihormati melebihi dari penghormatan yang lainnya. 


Ketiga, menyembah patung. Patung adalah miniatur dari tuhan yang mereka yakini akan memberikan manfaat dan kemurkaan dalam lehidupan mereka. Mereka menyembah dengan ritual tertentu pada patung tertentu. Tentu patung yang sangat besar adalah patung raja diraja yang senantiasa mereka sembah dan mereka puja-puji. Keberkahan hidup mereka tergantung dari keridhoaan tuhan yang mereka yakini, kesengsaraan hidup yang mereka alami, tentu akibat kemurkaan tuhan yang mereka yakini. 


Problematika ketuhanan inilah, Allah SWT mengutus Ibrahim AS kepada kaum tersebut dengan melakukan dialektika ketuhanan yang sangat menarik dalam Alquran Surat Al-Anam (6) ayat 74-79. Ibrahim sendiri terlahir dari keluarga pengrajin patung yang bakal dijual untuk sesembahan masyarakat.


Ibrahim AS dengan dialektika yang penuh kesopanan memberikan pencerahan kepada sang ayah dengan mengatakan “pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”.  


Allah memberikan pembelajaran kepada Ibrahim AS tentang relatifitas benda-benda langit yang dipertuhan oleh para musyrikin tersebut. Allah memperlihatkan Matahari yang dipertuhankan, bahwa  Matahari tersebut dikala malam adalah terbenam.


Demikian juga bulan hanya berfungsi pada malam hari, diwaktu siang tidak terlihat lagi, apalagi bintang-bintang hanya berkilauan di malam hari, tatkala fajar menyingsing ia tidak memiliki fungsi lagi. Semua benda-benda tersebut adalah system yang sudah dibuat oleh Allah SWT dengan sangat rapi dan sangat kuat.


Matahari diciptakan oleh Allah sebagai bagian dari sistem alam yang saling berkaitan dengan benda langit lainya, demikian juga bulan dan bintang. Maka semua itu diciptakan oleh yang maha pencipta Allah SWT. Tidak layak menyembah matahari, bulan, bintang, pemimpin dan patung-patung sebagai miniatur pemimpin yang dipertuhankan. 


“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik” (Qs. Al-An’am (6): 79).


Masyarakat mempertuhankan pemimpin berawal dari kepongahan dan kesombongan pemimpin yang mendapatkan kekuasaan mutlak (otoritatif). Kesuksesan yang ia dapatkan dari kepemimpinan otoriter dan absolut tersebut, membuatnya merasa bahwa dirinya dapat berbuat dan memperlakukan apa saja, sehingga setan membisikkan ke dalam dirinya bahwa ia memiliki kekuatan besar. Ia sudah menjelma menjadi tuhan, tuhan yang diyakini oleh orang lain itu hanya imajinasi dan ilusi semata. Tuhan yang hakiki adalah kekuasaan kepemimpinan tersebut.


Pemimpin dipersonifikasi menjadi patung dan gambar. Pada negara tertentu yang sosialis absolut, telah menjadikan pemimpin negara tersebut sebagai tuhan. Bahkan dalam kejadian kebakaran pada rumah mereka, yang diselamatkan pertama adalah photo dan gambar pemimpinnya.


Kesalahan besar pada warga yang tidak bisa menyelamatkan gambar pemimpinnya. Dianggap pembangkangan apabila melecehkan gambar pemimpinnya. Inilah proses pemusyrikan itu terjadi di era modern sekarang. 


Kecendrungan masyarakat mengabadikan pemimpin dalam bentuk patung, dari sisi estetik dan etik mungkin biasa-biasa saja, malah lebih baik dianggap orang yang menghargai pemimpinnya, tetapi dalam sisi ketauhidan, agak mengarah kepada sisi-sisi yang beresiko tinggi kepada kemusyrikan.


Penghargaan kepada para tokoh tertentu yang dianggap berjasa melakukan sesuatu yang agak spektakuler, tentu sangat wajar dan perlu dilakukan, tetapi kalau mengarah kepada hal-hal yang menjurus kepada kemusyrikan tentu perlu dilakukan dengan hati-hati. Karena semua yang dimiliki manusia adalah atas izin dan keredhaan Allah SWT terhadap ikhtiar manusia dalam mendapatkannya. 


Terkait dengan alam, gempa, banjir, badai, petir, semua adalah proses sunnatullah yang dipicu oleh kebijakan, perbuatan, dan tindakan manusia terhadap alam. Gempa sesuatu hal yang sudah layak terjadi karena ia bagian dari proses alamiah, anturalistik, dengan memiliki tanda-tanda dan waktu-waktu tertentu dalam bentuk durasi.


Manusia tidak perlu menyembah dan membuat sesajian khusus agar gempa tidak terjadi. Tidak pula menghujat Allah SWT kenapa gempa terjadi padahal kita sudah beribadah kepada-Nya. Manusia diberikan kecerdasan naturalistik untuk memahami sesar gempa dan periodik gempa melalui jejak historis yang ada. 

Manusia berusaha untuk mengantisipasi agar bangunan yang dibangun standar, dihindari membangun di zona rawan gempa, melakukan mitigasi bencana. Ikhtiar dan usaha ada pada manusia, keputusan terakhir ada pada Allah SWT. Apapun keputusan yang diberikan Allah SWT kepada manusia itulah yang terbaik dan tepat sesuai dengan kadar usaha manusia tersebut. 


Alam tidak bisa melakukan dan menghukum manusia, semua yang terjadi di alam adalah sistem yang sudah di bangun oleh Allah SWT. Kejadian khusus di luar sistem dilakukan oleh Allah atas mukjizat pada Nabi dan Rasul-Nya.


Bagi manusia yang biasa diperlakukan sunnatullah, natural of low, hukum alam, kausalitas. Manusia berusaha maksimal dan optimal, hasil akhir Allah yang menentukan. Semoga kita diselamatkan Allah SWT, sekalipun terkena bencana tetapi tetap menghadap Dia dengan husnul khatimah. Wallahu alam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad