NARASUMBER
Dr. Suhardin, M.Pd (Jakarta)
Kasman Katik Sulaiman (Sungai Penuh)
Dr. Desi Asmaret, M.Ag (Padang)
Rafdinal (Medan)
PADANG, POTRETKITA.net – Bila dihadapkan kepadanya, satu orang anggota Muhammadiyah dan satu orang non-muslim, lalu disuruh siapa yang akan dia tembak terlebih dulu. “Ulama kampung” itu akan memilih menembak anggota Muhammadiyah.
![]()  | 
| RUANGAN KELAS SEBUAH MADRASAH MUHAMMADIYAH DI KABUPATEN MADINA DIOBRAK-ABRIK OTK (MOHGANEWS.CO.ID) | 
Keberadaan Muhammadiyah di dalam suatu komunitas, terkadang masih jadi persoalan. Tak jarang pula, para pembenci Muhammadiyah itu adalah dari kalangan umat Islam juga. Dalam beberapa kasus, Muhammadiyah ditolak di kalangan muslim, dan diterima di kalangan non-muslim.
“Ini resistensi yang tak terbantahkan. Realitas yang memang terjadi. Dalam beberapa kasus, amal usaha Muhammadiyah malah sampai mereka rusak. Begitu benar bencinya. Padahal sesama muslim,” sebut Dosen Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta Dr. Suhardin, M.Pd.
Kendati belum dilakukan penelitian intensif, namun bisa diduga, persoalan kebencian itu bukan sekadar perbedaan persepsi dan metodologi dalam memahami ajaran Islam, tetapi bisa jadi, itu karena faktor mata pencaharian juga. Kalau Muhammadiyah eksis, tegasnya, maka banyak sumber pendapatan tidak resmi mereka dari masyarakat jadi hilang.
Aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) itu menyebut, banyak ritual-ritual keagamaan yang dalam pandangan Muhammadiyah adalah perbuatan bid’ah, justru jadi sumber penghasilan mereka. Itu artinya, sebut dia, bila Muhammadiyah kuat di suatu kampung, maka ritual bid’ah itu pasti jadi hilang.
“Di antara faktor yang membuat Muhammadiyah resisten di kalangan internal umat Islam, Muhammadiyah bisa membangkrutkan tokoh-tokoh tertentu. Banyak tokoh kehilangan mata pencahariannya, misalnya dalam ritual tujuh bulanan anak di kandungan, sembilan bulanan, kelahiran, cukuran, pembuatan nama, khitanan, selamatan, tahlilan kematian tujuh hari, empat belas hari, empat puluh hari, seratus hari, haul (ulang tahun kematian) seribu hari,” ujarnya.
Kalau Muhammadiyah berkembang, maka ritual-ritual itu jadi ditinggalkan umat. Muhammadiyah akan cepat diterima dan matang karena bergerak di bidang pendidikan, pencerahan, dan pemberdayaan, maka jika Muhammadiyah kokoh di tengah masyarakat, para tokoh ketakutan akan mengalami pembangkrutan ‘usaha bisnis agama’.
Faktor lain, ujarnya, Muhammadiyah gerakan strukturturalis agak minimal kulturalis, sekalipun sudah disadari untuk pengembangan dakwah kultural, tetapi belum masif masih, terkesan struktur dengan mengandalkan legal dan elit, maka konflik tokoh pada level tertentu mengalami spektrum tinggi.
“Ini mengakibatkan terjadinya provokasi dan agitasi terhadap gerakan Muhammadiyah, korbannya masyarakat yang tulus, tidak punya kepentingan, tetapi disandra oleh pihak interesting,” katanya.
Kasman Katik Sulaiman, warga Muhammadiyah asal Sumatera Barat yang bermukim di Kota Sungai Penuh pun tak mengingkari. “Persis! Di kampung saya dulu, usaha mendirikan masjid Muhammadiyah dihalang-haangi. Kentara sekali kebencian pemuka agama kampung itu terhadap Muhammadiyah,” sebutnya.
Kasman pun bercerita betapa besarnya biaya yang dikeluarkan keluarga, bila ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Semua tersedot untuk ritual-ritual yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dalam Islam.
Menurutnya, dia punya teman yang orangtua kandungnya meninggal dunia. Untuk biaya mengurus pemakaman, shalat jenazah, mendoa, dan yasinan setiap malam selama tujuh hari menghabiskan biaya Rp53 juta.
“Kawan itu bahkan curhat, untuk memenuhi biaya itu dia terpaksa mengutang, dan hingga kini utang keluarga mereka masih tersisa Rp15 juta lagi. Itu baru satu tradisi, yakni ritual-ritual ketika ada yang meninggal,” tegasnya.
Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Sumatera Barat Dr. Desi Asmaret, M.Ag juga menemukan fakta memiriskan dalam ritual kematian yang menelan biaya besar. “Waktu ayah mertua saya meninggal di kampung istrinya, juga begitu. Harus memberikan uang dan kain panjang untuk para pendoa dan pemberi tahlilan,” katanya. Bila tak diberi? Ahli waris merasa malu.
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Medan Rafdinal mengatakan, resistensi karena terganggunya ritual-ritual yang berujung pada penghasilan tambahan itu, juga pernah ditemukannya. Bahkan, mereka mengakui kebenaran yang disampaikan Muhammadiyah, khususnya dalam memerangi ritual-ritual yang patut diduga adalah bid’ah itu.
“Apa yang disampaikan Muhammadiyah itu mereka akui benar. Tapi mereka tak mau mengikuti dan menantang, karena bila pendapat Muhammadiyah yang dipedomani, mereka takut ditinggal jamaah dan tak diundang lagi untuk acara ritual-ritual itu,” katanya.(MUSRIADI MUSANIF)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar