Taqwa Sungguhan - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

02 September 2022

Taqwa Sungguhan



Oleh Dr. Suhardin, S. g., M.Pd.

Dosen UIC dan BPH STKIPM Bogor)

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim” (Qs. Ali-Imran (3): 102)


OPINI, POTRETKITA.net - Taqwa dalam makna umum memastikan diri untuk tetap bersama Allah SWT, konsisten menjalankan segala yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala hal yang dilarangnya.


Hal ini dilakukan dalam ukuran yang pasti dan dalam kepastian diri untuk tetap bersama-Nya, sekalipun ada waktu-waktu tertentu mengalami kegoncangan untuk melanggar, hal yang telah digariskan, tetapi tetap kembali kepada jalan yang sudah ditetapkan Allah.


Di balik makna taqwa yang begitu dahsyat, Allah SWT lebih menekankan kepada hamba-Nya yang sudah beriman, mendeklarasikan diri secara personal dihadapan publik mengakui Allah dan Rasul-Nya untuk bertaqwa yang sebenar-benar taqwa.


Taqwa yang substansi adalah ihsan, berlaku yang terbaik dalam kehidupan untuk kepastian bahwa Allah SWT senantiasa bersama diri, dengan membiasakan diri senantiasa memberi sekalipun di saat mengalami kesusahan, memastikan diri dalam pengendalian yang sistemik, tidak suka marah-marah, temperamental, dan memberikan maaf kepada segenap orang yang memberikan ketidak nyamanan terhadap diri.


“orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun diwaktu sempit, dan orang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS Ali-Imran (3) 134) 


Taqwa sebenar-benar taqwa dalam pengertian sekalipun taqwa memiliki konsepsi yang luas dan dalam, sebagai capaian yang terbaik bagi orang-orang beriman, namun Allah SWT menekankan kepada hamba-Nya orang-orang beriman untuk tetap bertaqwa yang sebenar-benarnya, dalam hal ini taqwa yang mutlak, harus ada pada diri orang beriman, sekalipun belum dapat menggapai taqwa yang luas dalam pengertian di atas. 


Taqwa yang mutlak itu dalam wujud, pertama adalah kesyukuran terhadap Allah SWT yang telah memberikan berbagai hal kepada manusia. Syukur memiliki tiga elemen yang terintegrasi, perasaan di dalam hati akan nikmat yang sudah diberikan Allah, ungkapan lisan berupa lafal Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang sudah menganugerahkan segalanya kepada hamba-Nya, dan diringi dengan kethatan terhadapnya. 


Apa saja yang harus disyukuri hamba kepada Allah SWT yang sudah memberikan segalanya kepada manusia? Syukur terhadap agama yang sudah diturunkan Allah kepada manusia, sehingga dengan agama yang diturunkan Allah SWT manusia dapat berjalan sesuai dengan kehendak-Nya, berjalan menuju ridho-Nya, berjalan menuju Allah dan menjadi hamba-Nya, pulang dengan husnul khatimah, di tempatkan pada tempat yang Ia muliakan. 


Allah SWT memerintahkan untuk bersyukur QS. (2): 153: “Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari (nikmat)Ku”

Syukur bukanlah kepentingan Allah SWT tetapi adalah kepentingan manusia, karena Allah SWT tidak memerlukan apa-apa di alam semesta Qs Lukman (31):12: “Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah Allah, maka ia bersykur untuk dirinya sendiri, barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesunggguhnya Allah maha kaya lagi maha terpuji.”


Orang yang bersyukur kepada Allah tentu memiliki kesadaran diri (self awareness) bahwa dirinya tercipta atas kasih sayang Allah SWT diberikan amanah oleh Allah SWT dan pasti akan kembali kepada Allah SWT.


Perilaku yang ditampilkan adalah perilaku hamba Allah yang senantias mencari keridhaan Allah, bukan mencari keridhaan pimpinan semata, dan prestise agung di mata geng, sehingga menghalalkan segala cara untuk meraup harta benda, mengumpulkan dalam bentuk yang tak terhingga, dan tidak ada kosa kata puas dalam penghimpunan tersebut, semua permasalahan diselesaikan dengan uang, sehingga keuangan yang maha kuasa.


Perilaku yang seperti ini pada akhirnya juga akan terbongkar di dunia dan akhirat. Sehebat apapun manusia menyimpan kerahasiaan, serapi apapun gerakan yang dilakukan untuk kemungkaran, pada akhirnya akan terbongkar dan terkalahkan oleh kebenaran.  “Dan katakanlah, “kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap, “sungguh, yang bathil itu pasti lenyap” (QS. Al-Isra (17):81).

   

Kedua, kethaatan, kesiapan, kesiapsiagaan, keinginan yang kuat untuk senantiasa menjalankan, mengamalkan segala yang di perintahkan Allah SWT dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. 


Kethaatan integrasi langsung dari kesyukuran seorang hamba kepada Allah SWT. Ia tetap memprioritaskan Allah SWT dalam kehidupan. Perintah atasan sebagai mitra harus dikerjakan karena ia adalah indikator langsung dari kinerja, tetapi perintah atasan yang bertentangan dengan perintah Allah SWT harus ditolak, sebaik penolakan dengan bijak, tetapi atasan yang tidak menerima tolakan kebijakan, harus dilakukan dengan terang-terangan dan menyatakan bahwa ketidak patuhan kita, karena bertentangan dengan perintah Allah SWT. 


“Wahai orang-orang yang beriman thaatilah Allah dan thaatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu...” (Qs. An-Nisa (4):59) 


Kethaatan lanjutan dari rasa kesadaran (self awareness) meningkat menjadi kepatuhan diri (self obedience) dalam psikologi kepatuhan adalah sikap dan perilaku untuk mengikuti perintah di bawah kendali kesadaran dan dilakukan dengan sepenuh hati. Kethaatan yang terpaksa atau karena ada sesuatu menjadikan seseorang berperilaku riya, dan melakukan sesuatu karena ada maksud dan tujuan tertentu. 


Aktif dan memberikan waktu kita untuk kegiatan sosial kemasyarakatan atas perintah dan mencari keridhoan Allah merupakan bagian dari implementasi thaat kepada Allah, tetapi jika aktifitas yang dilakukan karena ada sesuatu hal, mengajar prestasi, supaya mendapatkan pengaruh, ingin menguasai, supaya dihormati, maka sikap dan perilaku kita sudah melenceng dari kethaatan terhadap Allah SWT menjadi mengejar hal-hal yang berisfat profanistik, keduniyaan. 


Ketiga, hayawatul Islam, mengamalkan keislaman secara kaffah. “Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu” (Qs. Al-Baqarah (2);208) 


Jangan memisahkan tatkala melakukan ibadah mahdah penuh dengan kekhusu’an, berbincang dan berdioalogh dengan Allah SWT. Tetapi tatkala melakukan hal-hal yang bersifat muamalah, mulai meninggalkan Allah SWT untuk mengejar profitabilitas. Untuk profit (keuntungan) rela mengecoh dan mencurangi teman transaksi. Orang yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya senantiasa menghadirkan Allah SWT dalam durasi kehidupannya, tidak ada satu menit dan satu detikpun lepas dari kendali mengingat Allah SWT. 


Tatkala melakukan transaksi, semua dilakukan dengan asma’ Allah SWT, agar nyata dan terang bahwa apa yang dilakukan dalam keridhoaan Allah SWT. Seorang dokter ingin memeriksa pasien, terlebih dahulu membaca bismillahirahmaniraahim, agar semua kegiatan yang dilakukan dibawah kendali Allah SWT dengan pengawalan almukarrabien.


Seorang guru, tatkala membuka pembelajaran dilakukan dengan berdoa kepada Allah SWT, agar semua kegiatan yang dilakukan bernilai ibadah kepada Allah SWT, menjalankan syariah Allah SWT.

 

Penyimpangan yang terjadi, dalam bentuk korupsi, manipulasi, kriminalisasi, karena manusia lepas dari ketaqwaan terhadap Allah SWT. Tidak lagi merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya, sehingga dengan mudah melakukan eksekusi pembunuhan jika ia merasakan tindak nyaman dengan seseorang.


Bisa melakukan skenario yang merugikan orang lain dan menguntungkan dirinya. Karena ia merasakan bahwa semua dapat ia atur dengan kekuasaan dan jejaring yang ia miliki, padahal kita hanya secuil kekuasaan Allah SWT. Kekuasaan yang maha besar dan maha dahsyat ada di tangan Allah SWT.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad