Oleh Luzian Pratama
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang)
OPINI, POTRETKITA.net - Harmoni dalam keberagaman merupakan DNA Indonesia. Ketika bangsa-bangsa lain masih gagap mengeja multikulturalisme, Indonesia telah menerapkannya secara praksis dalam kehidupan berbangsa.
Indonesia telah mengenyam asam garam arus dan dinamika perbedaan dalam berbangsa. Akan tetapi ironinya, konflik rasial akhir-akhir ini kerap terjadi, sehingga mencoreng nilai adiluhung yang ada di dalam tubuh Indonesia.
Bung Karno misalnya, sejak awal telah menggadang-gadang nilai keragaman. Dalam suatu ungkapan yang dapat diterjemahkan lebih luas, bahwa rasa berbangsa tidak bergantung pada persamaaan, seharusnya dengan perbedaan lebih memperkuat rasa kebangsaan (Larassati, 2015).
Maka bukan agama, tapi perbedaan yang rahmatan lil ‘alamin, yakni perbedaan yang menjadi rahmat bagi seluruh manusia, sebab keberagaman tidak lain adalah kehendak sang Liyan (Tuhan). Menghadirkan koeksistensi damai dalam kehidupan bermasyarakat merupakan naluriah manusia, harapannya adalah konflik horizontal atas nama perbedaan kultural dikesampingkan.
Tentang multikulturalisme, penulis diingatkan dengan analogi implisit tulisan Bryan Fay, Jary dan Jary dan C.W Jatson (Supartiningsih, 2007), “Seperti mosaik, kepingan-kepingan kecil kebudayaan dari berbagai kelompok minoritas disusun layaknya suatu objek gambar mencitrakan kedamaian dan kerukunan, percampuran kepingan yang berbagai bentuk dan warna pada mosaik tak lain adalah perbedaan yang tergabung dalam suatu kelompok yang bernama masyarakat".
Melihat akar historis multikulturalisme dicanangkan sejak 1971 oleh Mantan Perdana Menteri Kanada Pierre Truedeau, keragaman budaya harus diperlakukan sama atau kesederajatan proposisi budaya di tengah masyarakat Kanada. Hal ini menyiratkan bahwa kanada menjunjung tinggi keberadaan banyak etnik (Alfarisi, 2018).
Sementara di Indonesia, keberadaan dan pengakuan terhadap keragaman pun telah diakui sejak lama, hal ini dibuktikan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang dalam praksisnya jauh sebelum Indonesia merdeka telah dijewantahkan melalui prinsip-prinsip perjuangan. Meskipun keberlangsungan penanaman nilai tersebut belum diamalkan secara konkret.
Memahami keragaman bukan dengan memaknai keragaman dipadukan menjadi satu, atau mengakui perbedaan dengan makna yang nihil. Akan tetapi, keragaman diakui secara universal dalam perbedaaan yang universal (Yonky, 2017). Bukan absolut ketunggalan tapi absolut yang beragam.
Mengakui keragaman dimaknai sebagai suatu keunikan yang tumbuh dan berkembang sebagai keyakinan yang diterima secara terbuka oleh siapa saja. Dengan demikian perbedaan tidak dilihat dengan kaca pembesar untuk menjadi pembanding. Akan tetapi bagaimana memahami antara satu dan yang lain dalam masyarakat.
Sebuah ungkapan dalam falsafah adat Minangkabau sekiranya cukup untuk memaknai dan merawat keberagaman yang hidup di dalam bangsa ini lamak dek awak katuju dek urang. Ungkapan ini hasil pergumulan perjalanan kehidupan masyarakat Minang. Hal ini lahir atas kepekaan terhadap fenomena sosial masyarakat, yang mana Minangkabau menjadikan alam sebagai guru untuk dikaji (Dahlan, 2013)
Lamak dek awak katuju dek urang artinya disukai oleh diri sendiri dan disukai juga oleh orang lain. Maknanya adalah dalam bersikap harus menakar segala sesuatu yang ada pada diri dan apa yang ada pada orang lain. Diri dalam ungkapan lamak dek awak menjadi tolok ukur bertindak terhadap orang lain.
Dalam makna lain mengedepankan tenggang rasa satu sama lain. Tidak hanya mengedepankan selera personal, namun juga memahami dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi orang banyak (kondisi ruang publik dalam pengertian Jurgen Habermas).
Melalui falsafah ini, masyarakat Minangkabau berusaha merekontruksi masyarakat yang beragam menuju koksistensi tentram, aman dan damai dengan keberagaman tersebut; tidak memaksa keberagaman menjadi keseragaman.
Penulis memandang, falsafah Minangkabau lamak dek awak katuju dek urang sebagai warisan besar untuk merawat keberagaman kultural masyarakat Indonesia. Sebab dalam falsafah ini mengandung nilai tendensi bagaimana realitas mayoritas dan minoritas tidak pincang di ruang publik. Keberagaman yang di dalamnya terdapat berbagai perbedaan merupakan kehendak Tuhan yang tidak mungkin ditolak, diingakari, dirubah bahkan dilawan.
Banyak firman Allah di dalam Alquran yang menjelaskan tentang beragamnya manusia, di antaranya manusia diciptakan dengan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Bahkan dipertegas sesuai dengan firman Allah bahwa dalam ber-Tuhan pun dilarang untuk memaksakan dan tidak menghargai perbedaan apa ayang disembah (sesembahan).
Inilah yang dimaksud dengan keragaman rahmatan lil alamin, perbedaan menjadi rahmat bagi manusia-manusia Indonesia. Lamak dek awak katuju dek urang secara eksplisit menghantarkan manusia pada kedamaian dalam berbagai dimensi ruang dan waktu serta mempersempit terbukanya konflik rasial.
Dalam pengertian bahwa dimensi etis dikembalikan kepada suara hati atau azas kemanfaatan umum. Sehingga keragaman dipahami sebagai anugerah Tuhan yang seharusnya disambut gembira dan menggembirakan. Bukan menjadi hantu yang menakut-nakuti golongan minoritas (Fauzi, 2012).
Memaknai falsafah lamak dek awak katuju dek urang bagaimana sikap atau tindakan dalam lingkup sosial tidak menimbulkan persinggungan dan perpecahan. Nilai-nilai perbedaan yang terdapat dalam suatu masyarakat dipahami sebagai karunia yang harus dihargai keberadaannya dan bahkan lebih daripada itu.
Tidak menutup kemungkinan konsepsi katuju dek urang adalah “ikut merayakan perbedaan tersebut” (Keuwel, 2017). Pasalnya falsafah lamak dek awak katuju dek urang adalah interpretasi hakikat tertinggi pada matra toleransi. Yang mana diri sendiri tidak sekedar ikut merasakan dan empati terhadap perbedaan, juga merayakan perbedaan yang ada pada orang lain.
Falsafah lamak dek awak katuju dek urang adalah ungkapan yang sangat bijaksana agar konflik atas perbedaan rasial tidak mencuat ke permukaan. Agaknya dapat dikatakan sebagai ungkapan antisipasi untuk mencegah konflik rasial dan merawat keberagaman. Falsafah ini sebagai kontiunitas atas firman tuhan yang mengehendaki keragaman itu sendiri. Penulis memandang keragaman sebagai hal yang inheren dalam kehidupan manusia.
Oleh karenanya merawat keberagaman diperlukan pemahaman antara masyarakat terhadap perbedaan yang terdapat pada masyarakat yang lain. Dibutuhkan kesadaran bersama menghidupkan dan menerjemahkan lebih luas diskursus falsafah lamak dek awak katuju dek urang dalam berbagai dimensi ruang dan waktu.
Falsafah lamak dek awak katuju dek urang ditilik dengan kacamata spritualitas adalah spritualitas garam yang memengaruhi tanpa warna namun memberikan asin yang efektif, memberikan jalan keluar tentang persoalan rasial yang kerap menimbulkan konflik.
Spritualitas garam terhadap keragaman berarti menjadi manusia beriman yang mampu larut dalam berbagai pebedaan yang ada di tegah masyarakat,“dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar