Meneguhkan Kembali Manhaj Tabligh Muhammadiyah - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

23 Desember 2022

Meneguhkan Kembali Manhaj Tabligh Muhammadiyah



Oleh H. Abdul Salam

(Angkatan Muda Muhammadiyah Sumatera Barat)


OPINI, potretkita.net - Secara harfiah (leksikal), manhaj atau minhaj bermakna “jalan yang jelas” (al-thariq al-wadhih). Berasal dari kata nahaja al-thariqu yang berarti “jalan tersebut jelas dan terang. Istilah minhaj terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 48.


Al-Imam Al-Alusi dan Ibnu ‘Asyur menjelaskan manhaj sebagai Jalan yang Luas dan Terang Dalam Agama. Sementara menurut Ibnu Katsir dan Rasyid Ridha dia bermakna tuntunan atau jalan yang mempermudah manusia menuju tujuannya tanpa tergelincir dan menyimpang.


Pemikiran Muhammadiyah disebut sebagai manhaj atau minhaj karena pemikiran-pemikiran tersebut mengandung pokok-pokok gagasan yang tersistematisasi sebagai sebuah sistem keyakinan, pemikiran dan tindakan yang di dalamnya terkandung paham dan metodologi berpikir tertentu untuk melakukan suatu aksi atau gerakan.


Manhaj yang mengandung sistem keyakinan, pemikiran dan tindakan tersebut secara keseluruhan ditabalkan menjadi manhaj gerakan. Manhaj gerakan yang tersistematisasi tersebut dapat pula dipersamakan dengan pandangan dunia (world view) atau ideologi dalam makna yang lebih luas, yakni seperangkat paham tentang kehidupan dan perjuangan untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.


Secara lebih komprehensif, diskursus tentang manhaj ini dielaborasi Prof. Dr. Haedar Nashir dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Ideologi, Khittah dan Langkah.


 BACA JUGA : 


Dalam konteks ini, Manhaj Tabligh dapat dipahami sebagai sejumlah rumusan yang menjadi pijakan, prinsip dasar (mabda’), tujuan (ghayah), metode (thariqoh), model pendekatan (uslub) dalam menjalankan aktifitas tabligh dan dakwah Persyarikatan Muhammadiyah yang bersifat komprehensif dan integral, mencakup seluruh persoalan dakwah dan tabligh, aspek keilmuan, praktek, pemikiran, perilaku muballigh/dai termasuk menjadi ukuran normative dalam berinteraksi dan merespon berbagai fenomena perilaku keagamaan, baik secara local maupun nasional secara khusus, dan di berbagai belahan dunia lainnya secara umum.


Konsistensi berpegang dan merujuk kepada manhaj tabligh hendaknya merupakan wujud nyata dari pesan doktrinal Al-Quran dalam surat Yusuf ayat 108: “Katakanlah: inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah dan aku tak termasuk orang-orang yang musyrik.”


Masih segar dalam ingatan ketika Allahyarham Prof. Dr. Yunahar Ilyas menyampaikan pidato pembukaan Musywil Muhammadiyah Sumbar pada pekan terakhir bulan Desember 2015, dalam pidato tersebut beliau menyampaikan sebuah ilustrasi menarik.


Katanya, “Sekiranya, KH. Ahmad Dahlan masih hidup, maka dia akan sangat terkejut menyaksikan realitas obyektif Muhammadiyah hari ini, karena bagi Kiyai Dahlan Muhammadiyah itu cukup menjadi fenomena lokal di lingkungan Jogjakarta dan sekitarnya. Tak sedikitpun terlintas dalam benak Kiyai Dahlan bahwa Persyarikatan ini akan menjadi fenomena nasional, apa lagi global…”


Berangakat dari persoalan itu, maka ekspansi Muhammadiyah yang telah melintasi sekat-sekat disparitas nasional, bahkan global, maka sudah sejak lama gagasan tentang peneguhan manhaj gerakan menari-nari dalam pemikiran para ideolog Muhammadiyah.


Namun gagasan itu baru mendapatkan tempat formal ketika Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005. Dalam Muktamar tersebut ditabalkan sebuah pemikiran ideologis tentang Zhawahirul Afkar al-Muhammadiyah Abra Qarn min al-Zaman (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad), ia kemudian menjadi dokumen resmi tanfidzh Muhammadiyah hasil Muktamar Malang.


Dalam sebuah pernyataan pentingnya ditegaskan bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak “masyarakat tengahan” (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya.


Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan mu’amalah, individual dan social, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerja keras, kedisiplinan dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan.


Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam rupa-rupa kebaikan di tengah persaingan pasar bebas di segala lapangan kehidupan dalam spirit al-jihad lil muwajjahat (berjuang menghadapi tantangan), lebih dari sekedar al-jihad lil mu’aradhah (berjuang melawan musuh).


Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan format masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil society) yang demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) sehingga menjadi masyarakat yang berperan sebagai syuhada’ ala al-nas di tengah berbagai pergumulan masyarakat dunia yang tiada habisnya.


Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak madaniyyah tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul dan utama (khaira ummah) yang memiliki penguasaan atas nilai-nilai kemajuan dalam kehidupan dan peradaban, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (Iptek), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normative berprilaku (hukum), dan nila-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas dan unggul dibandingkan dengan masyarakat lainnya.


Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali masalah kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia, tanpa memandang jenis kelamin, dalam relasi-relasi yang menjunjung tinggi kemashlahatan, keadilan dan berbagai rupa kebajikan serta menjauhkan diri dari kerusakan (fasad fil al-ardh), kedzhaliman dan hal-hal lain cenderung merusak kehidupan.


Seiring dengan itu, Muhammadiyah juga menyatakan pandangannya terhadap realitas kehidupan umat manusia zaman muta’akhir yang penuh dengan paradox. Kemajuan di bidang Iptek telah melahirkan pencemaran lingkungan hidup dan eksploitasi alam yang tak terkendali, berkmbangnya nalar instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, melahirkan sekularisasi kehidupan, pandangan anti-Tuhan yang serba dikotomoik.


Kehidupan modern telah melahirkan anti-tesis post-modern dengan laku hidup serba bebas (supra-liberal), serba boleh (anarkhis) dan serba menafikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang yang semakin terbuka bagi kemungkinan berkembangnya paham anti agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. 

Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia dan emansipasi perempuan membawa implikasi pada kebebasan yang melampaui batas dan egoism yang serba liberal, destruktif terhadap relasi harmoni antar manusia.


Semua problematika yang dihadapi Muhammadiyah sebagai representasi ummatan wasatha, dalam abad kedua usianya tersebut, memang telah mendapat tempat yang sangat penting dan strategis dalam Muktamar Malang dan telah pula menjadi dokumen tanfidzh Muktamar, namun aktualisasi dari gagasan tersebut tertumpak pada pundak setiap kader Muhammadiyah, wa bil khusus kepada para muballigh/dai.


Tentu bukan tugas yang ringan, namun dalam kolektifitas, yang menjadi karakter struktural Muhammadiyah, tak ada tugas dan amanah yang tak dapat dilaksanakan, jika segenap stake holder kader berpikiran terbuka dan terjauh dari berbagai perilaku yang partisan dan parsial, dan yang tak kalah penting terjauh dari keluh kesah.


Suatu ketika, Muhammad Djazman Alkindi (cicit KH. Ahmad Dahlan) berpidato, beliau mengutip dawuh KH. Ahmad Dahlan. Kiya berkata, “Dadiyo Kiyai Sing kemajuan, lan ojo kesel-kesel anggonmu nyambut gawe ono ing Muhammadiyah…” (Jadi Kiyai (Muballigh) Muhammadiyah musti berwawasan kemajuan, jangan mudah mengeluh dalam berjuang dan beraktifitas di Muhammadiyah.


Nashrun minallaah wa fathun qariib.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad