KPAI Dorong Hak 327 Keluarga Pasien Gagal Ginjal Akut Dikembalikan - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

12 Februari 2023

KPAI Dorong Hak 327 Keluarga Pasien Gagal Ginjal Akut Dikembalikan

JAKARTA, potretkita.net - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, tahun 2022 ada 326 bayi, ada anak bawah lima tahun (balita) yang dinyatakan terserang Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA).


 BACA JUGA 


Sejak ditemukan kasus pertama pada 2021 hingga 2023, berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran pada Oktober 2022 yang berisi tata laksana dan manajemen klinis GGAPA pada anak di fasilitas pelayanan kesehatan, mekanisme rujukan antar RS, penanganan, dan menunjuk Rumah Sakit yang bisa menangani dan segera melapor bila menemukan kasusnya. 


Presiden juga telah berjanji menyelesaikan dengan memberikan 4 arahan kepada Kementerian dan Lembaga terkait pada 24 November di Istana Bogor, kemudian Menteri Kesehatan telah menemukan obatnya untuk menyembuhkan GGAPA pada 22 Oktober dan berhasil menyembuhkan anak-anak dalam perawatan.


Kepolisian juga terus berusaha mengungkapkan kasus bagi produsen obat yang tetap nakal tidak mengikuti aturan BPOM.


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan pendampingan psikis bagi keluarga korban yang mengalami trauma atas kematian mendadak anak. Karena kematian mendadak, traumanya akan lebih panjang, tidak siap, apalagi jika bayinya anak pertama atau bayi yang sangat diperhatikan karena berbagai sebab. Terbayang oleh kita semua penderitaan keluarga.


Namun terungkapnya tambahan 3 penderita anak tersebut, KPAI berharap ada evaluasi kebijakan tentang masih adanya peredaran obat sirup yang diduga penyebab GGAPA, fasilitas kesehatan dan mekanisme rujukan. Serta 4 arahan Presiden dalam mengatasi GGAPA. 


"Saya kira peristiwa ini menjadi tanggung jawab penuh dunia pengawasan perlindungan anak, dunia pengawasan peredaran obat dan makanan, kedokteran dan farmasi, Aparat Penegak Hukum (APH) kita. Sehingga penting duduk kembali mengevaluasi kebijakan yang ada dalam efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak dalam mencegah terulangnya Gagal Ginjal Akut anak yang menyebabkan kematian," kata Wakil Ketua KPAI Dr. Jasra Putra, dalam keterangan persnya yang diakses dan dikutip pada Ahad (12/2).


Karena korbannya banyak usia bayi, batita dan balita, sebutnya, sehingga orang tua sangat butuh bantuan tenaga kesehatan dalam membaca kondisi mereka yang tidak mudah menjelaskan kondisi pesakitannya, karena butuh alat bantu kedokteran. Kemudian aturan ketat kandungan obat karena bisa berdampak kematian pada anak.


Menurutnya, hak warga negara yang hilang pada kasus ini, hak hidup, hak kesehatan, hak tumbuh kembang anak yang dijamin oleh konstitusi. Ini ada hak-hak warga negara yang hilang loh, tidak sedikit, ada 327 orang, dan yang dihilangkan rata rata hak anak-anak yang notabene adalah bayi yang tidak bisa membela dirinya sendiri.


Persoalan pasien menolak mekanisme rujukan, kami meminta ini dilihat secara lebih utuh ya, jangan sampai penyebabnya karena pelayanan yang terbatas atau kurangnya fasilitas, kemudian dikeluhkan pasien yang merasa perkembangan perubahan kesehatan pasien semakin mengkhawatirkan. Atau ada situasi yang disharmonis antara pasien dan perawatan.


Sebenarnya, kata dia, BPJS telah melalukan evaluasi tentang kelas dalam perawatan pasien, yang seringkali membawa situasi yang tidak menguntungkan bagi pasien. Saya kira ke depan persoalan ini, bisa efektif diatasi dengan BPJS mengeluarkan kebijakan menghilangkan antar kelas dalam perawatan, karena bukti peristiwa peristiwa serupa. Yang sesungguhnya hak pasien untuk sembuh dalam mempertahankan hidup di jamin oleh konstitusi ya.


Mekanisme rujukan juga penting diperhatikan antar RS, karena yang mengerti isi faskes adalah antar RS. Tidak mungkin pasien diminta cari sendiri. Pasien hanya berharap mendapatkan layanan terbaik, tapi tidak bisa mencari dimana rumah sakit yang memiliki fasilitas itu, apalagi sudah panik dengan bayinya yang kondisinya terus menurun dan kritis. 


Sehingga penting Kemenkes dan Dinkes di daerah mengecek kembali soal mekanisme rujukan dan faskes ini. Karena sejak awal ditemukan Puskesmas penting memastikan apakah kebijakan yang telah dibuat bisa berjalan atau masih ada kendala. Sehingga pasien bingung di lapangan. Karena tidak semua rumah sakit punya fasilitas untuk penanganan GGAPA. 


"Saya kira kebijakan Kemenkes sudah jelas, sebagai pihak yang akan membayarkan fasilitas kesehatan kepada rumah sakit, tapi dengan orang tua menolak, tentu perlu asessment lebih utuh, agar Kemenkes dapat memperbaiki sistem mekansime rujukan yang bisa dirasakan pada semua anak yang berpotensi terkena obat yang masih beredar," tambahnya. 


Mrnurut Jasra, kebijakan dan nomenklatur Kejadian Luar Biasa bisa diusulkan, tidak hanya untuk penyakit menular, contoh seperti campak yang terjadi sekarang menjadi KLB. Kemudian soal temuan Ikatan Dokter Anak Indonesia tentang 1.645 anak diabetes.


Dimana kebijakan maksimal penggunaan pemanis dalam makanan telah di atur BPOM Nomor 11 tahun 2019, tapi angka korbannya tetap berjatuhan, artinya ada kebijakan yang tidak berjalan dalam pengawasan. Hasil evaluasi ini membuat Kemenkes Februari 2023 meminta Kemenkeu mengeluarkan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan dan plastik. 


Artinya, kata dia, dari potret ini saja kita tahu, ada yang tidak efektif meski kebijakannya ada atau BPOM perlu penguat dengan revisi RUU BPOM yang kini berada di meja legislasi. Kita wajib mengupayakan untuk anak, yang tidak bisa membela dirinya sendiri. Sehingga penting kebijakan yang memiliki sistem yang bisa dihidupkan sampai tingkat paling bawah. Karena anak anak adanya disana, tidak bersama kita dalam proses kebijakan di tingkat paling tinggi.


Untuk itu KPAI akan mendorong Kemenkes untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi, karena kebijakan penanganan GGAPA sudah sangat jelas, tetapi kenapa dilapangan masih terjadi. Begitu juga kebijakan pengawasan obat dan makanan yang nyata nyata datanya meningkat pada kasus kasus yang terus berkembang setelah GGAPA. Seperti kasus KLB Campak dan Diabetes. Karena jika hak anak tidak berjalan beriringan, hak lainnya juga rentan dilanggar dan anak berada dalam situasi yang lebih buruk.


"Saya kira penelusuran Kepolisian sudah sangat jelas soal kasus GGAPA, perusahaan yang terlibat juga sudah terungkap, begitu juga nama perusahaan produksi obat sirupnya telah disebutkan rilis Kemenkes. 327 keluarga pasien, yang diantaranya sedang mencari keadilan, tentu tidak bisa ditinggal sendirian," tegasnya.(rel/mus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad