Muhammadiyah dalam Perspektif Gerakan Islam - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

04 Maret 2023

Muhammadiyah dalam Perspektif Gerakan Islam

Sekebal apapun Muhammadiyah dengan aturan-aturan bakunya, pasti terpengaruh paling tidak dengan tarikan-tarikan kepentingan kader-kader yang saat ini menjadi aktivis partai politik.



Oleh Drs. H. Talkisman Tanjung

(Wakil Ketua PDM Mandailing Natal).

     

OPINI, potretkita.net - Studi atau kajian tentang Muhammadiyah dalam perspektif gerakan Islam semakin menarik untuk diperbincangkan, sehubungan di era reformasi ini banyaknya kader-kader Persyarikatan yang menggeluti berbagai aktivitas di dunia politik praktis.


Sekebal apapun Muhammadiyah dengan aturan-aturan bakunya, mulai dari keputusan muktamar Ujung Pandang sampai keputusan-keputusan Tanwir belakangan ini, pasti terpengaruh paling tidak dengan tarikan-tarikan kepentingan kader-kader yang saat ini menjadi aktivis partai politik.


Dalam rumusan-rumusan idiologi Muhammadiyah disebutkan, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma'ruf nahi mungkar di dalam seluruh orientasi gerakannya berbasis pada ajaran Islam, yakni merujuk kepada Al-quran dan As-sunnah al-maqbulah, yang disertai dengan penggunaan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam itu sendiri. Islam menjadi pondasi, jiwa, pikiran, identitas, cita-cita dan pola gerakan.


Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki idiologi gerakan yang telah dirumuskan dan disusun sesuai dinamika gerakan yang terjadi dari masa ke masa. Rumusan-rumusan idiologi tersebut akan menjadi acuan, pedoman, sekaligus berfungsi sebagai spirit gerakan.


Rumusan idiologi tersebut terkandung di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keperibadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah, khittah perjuangan, pedoman hidup islami warga Muhammadiyah, dan yang terbaru adalah daarul ahdi wasysyahaadah.


Dengan berbagai rumusan idiologi tersebut, Muhammadiyah mengembangkan dakwah Islam yang berkemajuan dan senantiasa melakukan pencerahan-pencerahan untuk mewujudkan prikehidupan ummat, bangsa dan kemanusiaan universal yang beradab dan berkeadaban, dengan finalisasinya adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.


Dalam hal pemahaman terhadap ajaran Islam, Muhammadiyah menetapkan ada empat aspek ajaran yang terintegrasi dan harus dipahami secara utuh, yaitu aspek aqidah, ibadah, akhlak dan mu'amalah duniawiyah.


Dengan senantiasa mengaktualisasikan Islam yang utuh terintegrasi itu, diyakini akan dapat mewujudkan Islam yang Rahmatan lil'alamin.


Dalam urusan aqidah dan ibadah, Muhammadiyah punya keputusan-keputusan Majlis Tarjih yang dijadikan rujukan dan acuan, namun di bidang akhlak dan mu'amalah duniawiyah, khususnya yang terkait dengan perkembangan dan dinamika yang ada di dalam bangsa dan negara ini, nampaknya Muhammadiyah, terutama kader-kader Muhammadiyah seringkali melahirkan sikap ambivalensi untuk menyikapinya.


 ARTIKEL TALKISMAN LAINNYA 


Sebagai contoh, di dalam rumusan idiologi Muhammadiyah disebutkan, setiap kader persyarikatan yang memilih untuk terjun di dunia politik praktis, maka yang bersangkutan hendaklah berpolitik yang santun, islami dan menjauhi praktek-praktek politik praktis yang bertentangan dengan syari'ah, semisal melaksanakan money politic.


Nah, di sinilah terbentuk sikap ambivalensi, di satu sisi sebagai kader persyarikatan tetap ingin konsekwen/istiqamah melaksanakan tuntunan yang ada dalam persyarikatan, tetapi di sisi yang lain penggunaan money politic adalah sesuatu yang lumrah di era partai politik saat ini.


Artinya, kemungkinan untuk bisa memenangkan hati rakyat pemilih haruslah dengan mengeluarkan modal sebagai cost politik (bahasa yang diperhalus dari sogok menyogok).


Demikian juga halnya dengan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi, secara otomatis memberikan penawaran-penawaran kepada kader-kader persyarikatan yang aktif di politik praktis, bahwa jika yang bersangkutan ingin direkomendasikan dan bahasa pasarannya : jika ingin dibantu perjuangannya untuk membulatkan suara warga agar mendukung kader tersebut, maka penuhi beberapa permintaan pimpinan persyarikatan (ada semacam MoU).


Entah itu berupa finansial, atau berupa proyek-proyek, atau paling tidak dibangun komitmen bersama agar bisa menjadi agen atau penghubung dengan pemerintah didalam melaksanakan program-program persyarikatan. 

     

Kondisi seperti tersebut di atas, saya kira tidak sama dengan konsep "high politics" yang pernah ngetrend di masa kepemimpinan Prof. Dr. Amien Rais, MA sewaktu menjabat sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dan juga saya pikir tidak sama dengan peran politik muhammadiyah yang dilakukan oleh Drs. H.Lukman Harun sebagai wakil ketua PP. Muhammadiyah di masa periodesasi pak AR.Fakhruddin.


Kerangka pemahaman Muhammadiyah tentang politik praktis di masa lalu, tidak serta merta bisa disamakan dengan di zaman sekarang, dimana telah terjadi uforia demokrasi dan sekaligus terjadi juga uforia partai politik. 

Potret partai politik di masa lalu terlihat pada keteguhannya di dalam memegang idiologi partai yang mau diperjuangkan. Sementara yang terjadi saat ini justru yang diperjuangkan bukan lagi idiologi partai, tetapi memperjuangkan kursi-kursi sebanyak mungkin.


Untuk bisa mewujudkan cita-cita partai tersebut, seringkali setiap partai politik memberikan peluang dan kebebasan kepada aktivis-aktivis partai melakukan dengan cara apa saja, dan persaingan potik itupun tidak jarang, terjadi sesama kader persyarikatan untuk memperebutkan suara warga, baik itu persaingan antar partai atau persaingan internal di satu partai politik tersebut.


Tidak aneh kita saksikan, ketika aspirasi dan keinginan personil tidak terakomodasi di dalam partai yang bersangkutan, maka yang dipertontonkan kepada rakyat adalah pindah partai politik. Dan sering ditemukan di lapangan, hampir setiap kali pemilu legislatif, ada saja kader partai yang beralih atau berganti partai politiknya.


Idiologi partai tidak lagi menjadi stressing perjuangan partai politik. Bahkan yang menjadi ngetren saat ini, bahwa kader-kader persyarikatan yang aktif di berbagai partai politik itu, berebut ingin mempengaruhi Pimpinan Persyarikatan, di antaranya banyak kader partai politik yang ikut bermain di dalam mekanisme pemilihan calon Pimpinan Persyarikatan, apakah itu ditingkat Pusat (muktamar), ditingkat wilayah (musywil), ditingkat Kabupaten Kota/daerah (musyda) dan seterusnya sampsi ketingkat Ranting yang paling bawah.


Budaya pemilihan pimpinan di Muhammadiyah yang selama ini menjadi semboyan : "Jangan sekali-kali ambisius untuk mendapatkan jabatan di dalam Muhammadiyah, tetapi jika amanah itu diserahkan, janganlah ditolak".*


Semboyan tersebut nampaknya sudah mulai tergerus, sehingga yang terjadi saat ini adalah adanya keinginan pribadi dan kelompok agar dapat dipilih dalam musyawarah-musyawarah Muhamadiyah tersebut.


Bagaimana kita harus mereaktualisasikan kembali sejarah pemilihan Buya AR.Sutan Mansyur menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yang mana beliau hanyalah sebagai salah satu utusan cabang yang ikut muktamar, tetapi karena Muhammadiyah masih memegang teguh idealismenya, bahwa yang harus menjabat ketua Pimpinan Pusat itu adalah yang punya ilmu Agama ('ulama) yang luas ilmunya, 'alim, tawadhdhu', dan sebagainya, sementara di antara 13 orang formatur terpilih tidak ada yang merasa mampu untuk menduduki posisi ketua PP.Muhammadiyah.


Akhirnya mereka formatur yang 13 orang menemukan sosok buya AR.Sutan Mansyur yang dipaksakan harus menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, meskipun beliau hanya seorang utusan cabang di dalam muktamar tersebut.


Akankah peristiwa bersejarah dan sangat mengharukan itu bisa terulang kembali di berbagai musyawarah Muhammadiyah saat ini? Apakah di Muktamar, musywil, musyda, musycab dan musyran? Sosok pemimpin yang seperti itu lahir karena kompetensi intelektual, kompetensi imu agamanya dan yang tidak kalah penting adalah kompetensi kepribadiannya (akhlaknya).


Saya pikir, sosok pemimpin yang seperti inilah yang sangat cocok untuk menakhodai sebuah organisasi yang bernama Muhammadiyah, yang telah menetapkan dirinya sebagai Gerakan Islam Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, terlelas dari segala kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.


Dengan demikian cita-cita, maksud dan tujuan Muhammadiyah, yaitu mayarakat Islam yang sebenar-benarnya itu akan terwujud. Semoga menginspirasi dalam menghadapi musyda-musyda yang segera bergulir. Wallahu a'lam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad