JAKARTA, potretkita.net - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, perkembangan agribisnis kopi di tingkat hilir, mendorong peluang yang sangat besar bagi pemasaran kopi di Indonesia.
Areal panen kopi di Indonesia rata-rata seluas 1.25 juta ha/tahun, termasuk terbesar kedua dunia setelah Brazil. Namun rata-rata produktivitas kopi Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 0,55 ton/ha dan menempati urutan ke 14 dunia.
Hal tersebut berdampak pada penurunan areal panen, sehingga berpengaruh pula pada volume ekspor. Padahal, permintaan kopi di pasar dunia terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi kopi.
Dilematika seperti itu memerlukan intervensi kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi peran serta para petani, kelompok petani, dan juga pelaku bisnis lainnya, dalam rantai pasar kopi. Harapannya, produk yang dihasilkan memiliki daya saing tinggi.
Merespons fenomena tersebut, BRIN membahasnya dalam webinar dengan topik "Ada Apa dengan Kopi? (Strategi Menguasai Pasar Kopi Dunia)", pada Senin, 20 Maret 2023 lali. Dalam keterangan resminya BRIN menyebutkan, begitu banyak jenis kopi spesifik hasil perkebunan dari berbagai daerah di Indonesia yang terdaftar dan memperoleh sertifikat indikasi geografis (IG).
Kopi dengan sertifikat itu, seperti Arabika Gayo, Arabika Simalungun Utara, Arabika Sumatera Mandailing, Arabika Java Preanger, Arabika Sindoro-Sumbing, Liberika Tunggal Jambi, Liberika Rangsang Meranti, Robusta Semendo, Robusta Empat Lawang, Robusta Lampung, serta Robusta Temanggung, sejatinya memiliki peluang ekspor yang sangat besar di pasar global. Sehingga, dapat menjadi salah satu sumber devisa.
Pada kondisi saat ini, menurut BRIN, perkembangan agribisnis kopi di tingkat hilir, seperti kafe kopi yang digemari oleh generasi milenial, merupakan peluang yang sangat besar bagi pemasaran kopi di Indonesia.
Dengan melihat kebutuhan itulah, peningkatan volume pemasaran dipandang akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama produsen kopi dan pelaku agribisnis.
Namun, makin tingginya permintaan kopi dunia perlu diantisipasi oleh Indonesia melalui peningkatan produksi kopi secara berkelanjutan.
Disebutkan, selama 10 tahun terakhir (2010-2020), jika dibandingkan dengan ketersediaan lahan, maka tingkat produktivitas kopi di Indonesia masih rendah.
Terjadi penurunan areal panen dari 1,27 juta ha menjadi 1,25 juta ha, atau turun rata-rata 0,14 persen per tahun.
Sebagai salah satu komoditas ekspor, ternyata selama dekade terakhir volume ekspor kopi juga menurun dari 432.781 ton menjadi 375.671 ton, atau menurun rata-rata 1,41 persen per tahun. Artinya, minat petani dalam memelihara tanaman kopi menurun.
Periset BRIN menganggap, hal itu akibat dari rendahnya insentif yang diterima petani, sehingga kurang adanya dorongan untuk meningkatkan produksi. Sebagaimana disampaikan Kepala Organisasi Riset Tata Kelola, Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) Agus Eko Nugroho, dukungan para pelaku pasar terhadap petani belum terjalin dengan ikatan yang saling menguntungkan.
“Masing-masing pihak atau aktor pasar melakukan aktivitas pasar, tanpa didasari hubungan kemitraan yang saling berbagi peran untuk memperoleh keuntungan yang proporsional," paparnya.
Menurutnya, petani sebagai produsen tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Alhasil, mereka sulit untuk bisa menentukan harga sesuai dengan keinginannya dan harus menerima harga yang ditentukan oleh para pedagang.
Faktor lainnya, lokasi produksi yang tersebar dan sulit dijangkau, keterbatasan informasi pasar, kualitas produk yang belum maksimal, dan kebutuhan tunai di tingkat petani yang sulit dihindari.
Untuk mempertahankan bisnis ini, produsen kopi juga harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang baik untuk memproduksi dan memproses produk mereka, agar diperoleh nilai tambah dan harga tinggi di pasar.
Pemerintah dipandang perlu untuk mencari terobosan teknologi dan kebijakan strategis dalam pengembangan agribisnis kopi di Indonesia. Salah satunya, dengan membangun kemitraan usaha yang mempertautkan aktor-aktor pasar dalam pengembangan kopi, guna menjamin peningkatan pendapatan petani.
Untuk menjamin ketersediaan teknologi produksi, pemerintah dapat menciptakan peluang dengan mengadopsi dari negara-negara dengan produktivitas tinggi. Oleh karena itu, perlu dikaji kendala dan peluang agribisnis saat ini.
Selain itu, diperlukan rumusan alternatif strategi pemanfaatan peluang untuk meningkatkan produksi dan menembus pasar ekspor. Langkah tersebut diyakini mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pelaku agribisnis kopi di Indonesia secara berkelanjutan.(indonesia.go.id/Eri Sutrisno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar