YOGKAYARTA, POTRETKITA.net -- Ada apa ya, di negara lain sudah digelar pertandingan sepakbola. Mereka juga bebas menontonnya. Kita kok belum juga, ya?
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir.(muhammadiyah.or.id) |
Meskipun menjadi musibah bersama dalam waktu yang sama, ujarnya, nyatanya beberapa negara telah berhasil mengatasi pandemi. Sementara negara seperti Indonesia justru semakin terpuruk dan kewalahan mengatasinya.
Memandang fenomena itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam forum FORTASI Virtual SMK Muhammadiyah se-Indonesia, Selasa (13/7) menegaskan, tidak tepat jika menyandingkan Indonesia dengan negara-negara yang berhasil mengatasi pandemi, hingga mampu menghelat pergelaran besar seperti sepakbola.
“Covid-19 tidak mengenal negara maju maupun negara tertinggal. Mungkin bedanya negara maju itu cepat mencari solusi, cepat melakukan recovery. Karena apa? Dia punya dana, fasilitas, sistem kesehatan yang bagus dan berbagai hal. Ya kita juga punya tapi pada batas tertentu masih kekurangan,” jelas Haedar.
Menurutnya, yang ditiru jangan hanya ‘lho kok di tempat lain kok sudah ada penonton sepak bola?’, ‘sudah ada berbagai hal?’, ya jangan ditiru enak-enaknya saja. Tiru juga cara mengatasinya dan disiplin masyarakatnya.
Pemahaman terhadap cara pemerintah mengatasi dan cara masyarakat menghadapi pandemi dianggap penting oleh Haedar, sehingga tidak kemudian membuat masyarakat Indonesia lalai dengan menjadikan negara-negara tersebut sebagai alasan.
“Kalau kita meniru hasilnya saja yakni nonton bola bareng-bareng, sekolah bareng tapi tidak tau kondisi sesungguhnya yang kita hadapi. Kan yang kita hadapi ini bukan virus yang ada di London, bukan yang ada di Copenhagen bukan yang ada di Paris. Yang kita hadapi ini yang ada di Indonesia yang Covid-19 masih meluas, masih belum melandai,” terangnya.
NYAWA MANUSIA
Haedar mengingatkan, nyawa manusia adalah berharga, sehingga hilangnya satu nyawa saja adalah musibah besar. Karena itu, beliay berpesan agar dalam pandemi ini, siapapun tidak menganggap enteng jumlah nyawa yang hilang akibat Covid-19, dengan membandingkannya berdasarkan pada tingginya jumlah mereka yang sembuh atau dengan jumlah penyakit atau musibah lain di dunia.
“Di tingkat dunia sudah hampir empat juta (meninggal), di Indonesia 65 ribuan. Jangan banding-bandingkan dengan korban Perang Dunia kedua. Kematian karena wabah, karena perang dan hal-hal yang tidak diinginkan itu tetap satu nyawa saja berharga,” kata Haedar.
Ditegaskan, bermain statistik harus pada tempatnya. Jangan bermain untuk menghitung jiwa yang menjadi korban dengan segala deritanya. Jadi jangan bermain-main seperti itu. Jadi kita harus prihatin, kita harus jaga prokes.
Selain ajakan untuk mengedepankan rasa empati, Haedar secara umum juga berpesan agar semua pihak terus menjaga protokol kesehatan dan mengedepankan rasionalitas, terutama untuk menghindari berita palsu dan sikap sembrono.
“Boleh jadi di antara kita ada yang bebal tapi ga kena juga, bisa itu. Tapi ingat bahwa di tempat lain tenaga kesehatan begitu rupa sampai memilih pasien mana yang harus didahulukan. Banyak penderitaan. Saudara-saudara kita yang dibawa ke rumah sakit tidak bisa ditangani karena penuhnya akhirnya meninggal itu adalah penderitaan yang luar biasa,” imbuh Haedar.
Bagi anggota Persyarikatan, Haedar berpesan agar terus bersabar dan bergerak mengatasi pandemi sebagai watak turun temurun orang Muhammadiyah.
“Hadapi masalah dan kemudian segera cari solusi atas masalah itu seberapapun besarnya, tidak mengeluh dan lari dari masalah. Kedua kembangkan sifat positif. Kalau kita diberi masalah saja gampang gagu, mengeluh, lari dari kenyataan dan menuju pada hal yang tidak rasional berarti kita bukan hamba Allah yang baik juga bukan khalifah di muka bumi,” pungkas Haedar.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar