YOGYAKARTA, POTRETKITA.net -- Masalah keumatan dan kebangsaan akibat pandemi covid-19 belum usai, artinya Muhammadiyah tidak boleh istirahat. Kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah untuk menyelesaikan dengan baik masalah akibat pandemi terus berlangsung.
Dana lebih dari Rp354 M tersebut, menurut Sekretaris MCCC PP Muhamamdiyah Arif Nur Cholis, total nilai program tersebut belum termasuk besaran biaya yang dikeluarkan oleh rumah-rumah sakit milik Muhammadiyah dan Aisyiyah.
BACA JUGA Muhammadiyah Mitra yang Tepat, Oksigen Darurat dari Muhammadiyah
“Kali ini MCCC merilis update nilai program yang bisa didata seniali 354 milyar rupiah lebih. Nilai ini di luar nilai biaya perawatan di RS Muhammadiyah/Aisyiyah untuk 53 ribu orang lebih pasien,” kata Arif.
Arif memperkirakan angka nilai program dan total penerima manfaat tersebut masih bisa lebih. Sebab, terdapat beberapa Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting Muhammadiyah yang melakukan respon kemanusiaan baik berupa jasa dan dana yang belum terhitung angkanya.
Dari tabel data yang dirilis menunjukkan, MCCC dalam respon pandemi terserap 21 jenis tindakan atau aksi. Selain bergerak pada leading sector kesehatan, MCCC juga bergerak di sektor sosial, ekonomi, dan pendidikan/edukasi.
BERJARAK
Sementara itu dari Surabaya dilaporkan, pandemi Covid-19 menjadi cermin yang menunjukkan, umat Islam masih berjarak dengan sains. Tesis tersebut dibuktikan dengan sebagian masyarakat yang masih tidak percaya bahwa virus ini nyata, meski ratusan ribu jiwa telah melayang.
Prof. Agus Purwanto (muhammadiyah.or.id) |
Di Indonesia pada bulan Juni sampai Juli 2021 terjadi peningkatan sangat pesat angka tertular Covid-19, jumlah korban meninggal hariannya tertinggi di dunia. Akibatnya Indonesia sempat disebut sebagai negara paling berbahaya di dunia.
“Data juga memperlihatkan bahwa ada ratusan ulama, kyai atau ustadz meninggal karena Covid, artinya Covid tidak menyeleksi apakah calon korban itu orang taat beragama atau tidak,” kata Agus.
Meski tidak bisa dianggap berhasil, namun kebijakan pembatasan mobilitas masih bisa digunakan sebagai salah satu cara pencegahan.
Agus menyarankan, terkait dengan kebijakan pembatasan mobilitas harus setali tiga uang dengan efeknya. Artinya jangan hanya tegas dalam pembatasan namun lemah dalam penjaminan hidup masyarakat.
“Demikian pula untuk vaksinasi, diperlukan gerakan masif dan terpadu vaksinasi bagi masyarakat. Nyatanya tidak sedikit masyarakat tidak paham pentingnya vaksinasi, di sini diperlukan kepercayaan dari pemimpin, bahwa pemimpin memang mau menyelamatkan masyarakatnya bukan sedang mencari keuntungan dengan jualan vaksin,” ungkapnya.
Dia menyarankan supaya masyarakat diedukasi tentang pentingnya sains dan bertindak secara sains. Selain itu, juga dibutuhkan pemimpin yang sadar akan sains, sehingga produk kebijakannya tidak asal-asalan dan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Lebih-lebih membenturkan dan mengatasnamakan agama untuk menolak sains.(muhammadiyah.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar