DUA tahun lebih pandemi bersama kita, berbagai kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah; Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Beberapa kebijakan ini berimplikasi dalam dunia pendidikan dengan melaksanakan Belajar Dari Rumah (BDR).
Oleh Dr. Suhardin, M.Pd (Dosen UIC Jakarta) |
Pelaksanaan BDR yang mengalami learning loss (kehilangan belajar), mengapa hal tersebut terjadi? Pertama, fenomena BDR dilakukan berbasis anak, orang tua dan guru, komunikasi di dunia maya, tidak ada pengawasan. Semua sivitas sekolah dan masyarakat mengalami kegagapan menghadapi perubahan belajar revolusioner tersebut. Banyak guru belum terlalu familiar dengan kehidupan teknologi komunikasi, tetapi dipaksa untuk belajar dan melakukan kegitan pembelajaran.
Kedua, belajar dan mengajar belum semua orang yang terlibat dalam kegiatan itu, menyadari tentang pentingnya, tetapi banyak dalam suasana “keterpaksaan”. Guru terpaksan mengajar karena memang tugas dan kewajiban yang disandangnya. Siswa terpaksa harus belajar karena takut dengan guru dan orang tua.
Dalam suasana pandemi yang tidak ada pengawasan, maka guru dan siswa melaksanakan kegiatan sesuai dengan keterbatasan fasilitas dan minimalisasi hasil. Hasilnya nyaris tak belajar. Guru memberikan tugas seadanya, memeriksa seadanya, siswa mengerjakan tugas seadanya. Nilai maksimal, apa standar? Bagaimana perolehan? Semua hanya tahu sama tahu.
Ketiga, fasilitas pembelajaran memang sangat terbatas, guru memang tidak semuanya beruntung mempunyai peralatan teknologi komunikasi smartphone, laptop, komputer. Siswa banyak yang bergantian smartphone, kakak dengan adik, terkadang bergantian, rebutan dalam pemakaian smartphone dan leptop.
Belum lagi keterbatasan paket data, tidak semua yang mempunyai wi-fi, dan ketersediaan paket data. Banyak diantara siswa yang tidak punya paket data, sekalipun ada bantuan kuota dari pemrintah, tetapi pemakaiannya memiliki banyak kendala teknis, sehingga banyak yang tidak dapat menggunakan dan hangus.
Keempat, anak jika sudah memakai smartphone, digunakan dalam pembelajaran serius tidak bisa dalam waktu lama, mereka mengalami tingkat kejenuhan, setelah itu bersilancar dalam dunia games online; Player Unkonwn's BattleGrounds (PUBG); Minecraft; Apex Legends; Fortnite;Counter Strike: Global Offensive; HearthStone; League of the Legends; Call of Duty Mobil. Waktu lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan games ini ketimbang belajar, sekalipun orang tua berbusa-busa mengingatkan, mereka nyaris lebih keras dibandingkan dengan kekuatan orang tua.
Kelima, ekosistem BDR belum terbangun dengan baik di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan. Ketimpangan BDR antara yang yang berstatus sosial tinggi dengan status sosial rendah terlihat tajam. Kegotongroyongan yang disenandungkan oleh para tokoh masyarakat kayak simponi tak bermakna di tengah realitas kehidupan sosial. Tetap saja yang belajar belajar yang tidak belajar kosong, kehilangan dan tertinggal dalam pembelajaran.
Masalah yang begitu pelik dapat membuat anak bangsa mengalami terjun (turbulance), kayak pesawat terbang yang terjun dari ketinggian ke bawah. Indeks intelegensia anak bangsa mengalami penurunan, harapan masa depan mengalami kehampaan. Dibutuhkan strategi, kebijakan dan treatment yang akseleratif (percepatan) agar permasalahan ini dapat ditanggulangi dengan tepat, cepat dan bijak.
Pemerintah menyuguhkan kebijakan perubahan kurikulum dari kurikulum 2013 yang sering diplesetkan dengan kurikulum tidak jelas, kepada kurikulum prototipe yang menekankan kepada; pertama, pengembangan kepada soft skill. Kedua, fokus kepada materi esensial, literasi dan numerasi. Ketiga, fleksibelitas, pembelajaran sesuai dengan kemampuan murid (teach at the righ level).
Permasalahan utama pendidikan ada pada level pembelajaran dan manajemen satuan pendidikan. Indeks guru penggerak dan guru lambat gerak sangat tinggi. Indeks kepala sekolah penggerak dan kepala sekolah birokrat lumayan tinggi.
Jika memang guru penggerak yang digagas mas menteri sudah mencapai 60:40 sebagaian dari permasalahan pendidikan sudah hampir selesai. Apalagi jika memang 55:45 antara kepala sekolah penggerak dengan birokratis mungkin bangsa Indonesia berada pada barisan terdepan dalam kualitas pendidikan. Tetapi ini yang tidak terwujud sampai saat ini.
Pendidik banyak terpaku dengan juknis dan juklak. Kurikulum disediakan pemerintah sampai kepada buku ajar. Bisa jadi juga ini bagian dari proyek percetakan, penggandaan. Sudah waktunya pemerintah memberikan rewot kepada guru-guru yang kreatif, yang mampu menciptakan suasana pembelajaran kondusif dengan pengembangan berbagai media, teknologi, materi, strategi, pembelajaran yang inovatif dan kondusif, menyenangkan dan menantang. Hilangkankanlah dikotomi layanan pendidikan negeri dan swasta.
Layanan pendidikan tumbuh dari bawah, pemerintah lebih memberikan acuan, standar, pembinaan dan pengawasan. Layanan pendidikan diberikan kepada masyarakat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat memastikan diri untuk memberikan fasilitas kepada para pelayan pendidikan dengan adil, bijak, transparancy dan accountable. Jangan mengambil tenaga tenaga pendidik yang sudah dibina oleh mayasrakat dalam hal ini swasta kemudian diangkat menjadi tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mereka ditempatkan pada sekolah negeri, yang dahulunya dibina oleh perguruan swasta. Jadikanlah sekolah swasta dan sekolah negeri aset bangsa. Swasta manajemen masyarakat. Sekolah Negeri manajemen Pemerintah Daerah. Keduanya milik bangsa Indonesia yang sama-sama menciptakan masa depan anak bangsa yang berkualitas dan berkeunggulan. Perlakukanlah mereka dengan adil!!!, karena keduanya sama-sama anak bangsa Indonesia.(*)
Ko lai pak Dokter,
BalasHapus