Jurnalisme Haji Agus Salim (Bagian Tujuh) - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

05 November 2022

Jurnalisme Haji Agus Salim (Bagian Tujuh)

Oleh Musriadi Musanif

(Wartawan Utama Harian Umum Singgalang)


OPINI, potretkita.net -Ada kalangan yang berpendapat, kendati telah diterapkan di zaman perjuangan kemerdekaan, namun sebenarnya belum ada kode etik jurnalistik yang secafra tegas disandarkan pada prinsip-prinsip Islam.


Setidaknya, itulah yang ditegaskan Mohammad A. Siddiqi dalam Ethics and Responsibility in Journalism: An Islamic Perpective, sebagaimana dikutip blog nirwansyahputra.wordpress.com


Kendati kegiatan jurnalisme masih didominasi kalangan barat, baik dari sisi teori maupun prakteknya di lapangan, namun keinginan untuk menciptakan sebuah jurnalisme profetik dengan basis keislaman yang kuat, sebenarnya sudah lama diperbincangkan.


Pada Asian Islamic Conference yang dikelola Liga Muslim Dunia di Karachi, Pakistan, pada tahun 1978, diputuskan, jurnalisme muslim mesti didorong untuk melawan monopoli barat di media massa dan propaganda islam.


Masih dalam blon itu kabarkan pula, pada tahun 1979, Organisasi Konferensi Islam (OKI) merintis berdirinya International Islamic News Agency (IINA) yang berpusat di Jeddah.


SEBELUMNYA : Jurnalisme Haji Agus Salim (Bagian 6)


Sementara di Jakarta pada tahun 1980, Rabithah Alam Islamy menggelar International Conference of Muslim Journalists yang berhasil merumuskan kesepakatgan untuk bekerjasama dalam merumuskan jurnalisme Islam dan etik yang berkaitan dengannya, sudah menjadi kewajiban bersama media-media Islam.


Nirwan dalam tulisan bertajuk Mengunyah Negara Islam dalam Jurnalisme Profetik menguraikan, pers Islam mempunyai peranan yang amat menentukan dalam sejarah perkembangan sejarah pers nasional, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.


Pers Islam yang sangat menonjol sebelum kemerdekaan itu adalah Majalah Al-Munir (1911) yang terbit di Padang di bawah pimpinan Abdullah Ahmad, Suratkabar Oetoesan Hindia yang dipimpin HOS Cokroaminoto dan kemudian dilanjutkan Haji Agus Salim, Panji Islam di bawah pimpinan H. Zainal Abidin Ahmad, Pedoman Masyarakat di bawah pimpinan Hamka dan HM Yunan Nasution, dan lain-lain.


Pers Islam juga bermunculan setelah Indonesia merdeka, di antaranya Panji Masyarakat, Kiblat, Duta Masyarakat (NU), Mercu Suar (Muhammadiyah, dan Abadi (Masyumi).


Kini, di tengah nyaris kebablasannya pers nasional, pers Islam di Indonesia juga mengalami krisis yang amat berarti. Pers Islam tidak lagi menampilkan tulisan-tulisan tajam sebagaimana pernah dilakukan Haji Agus salim, Cokroaminoto, Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh Islam nasional tempo doeloe lainnya.(Artikel ini pernah dijadikan bahan ajar oleh penulis di STBA H. Agus Salim Bukittinggi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad