JAKARTA, potretkita.net - Salah satu agenda pendamping dari Presidensi G20 Indonesia 2022 adalah Pertemuan Menteri Kesehatan G20/Health Ministerial Meeting (HMM). Indonesia sebagai tuan rumah HMM 2022, tak luput mempromosikan keanekaragaman hayati yang amat kaya di bumi Indonesia.
UGM.AC.ID |
Kekayaan hayati tersebut, antara lain, berupa tanaman obat seperti kunyit, sirih, kapulaga, jahe, centella, kelor, dan lainnya. Keanekaragaman tanaman obat Nusantara tentunya perlu diangkat dalam berbagai perhelatan internasional. Harapannya, masyarakat global setidaknya negara G20 mengetahui berbagai manfaat tanaman obat yang telah lama digunakan masyarakat Indonesia.
Ekspose produk tananam obat itu digelar dalam pameran/eksibisi Biodiversity Tradisional Medicine Indonesia. Pameran berlangsung selama kegiatan 2nd HMM pada 26--28 Oktober 2022. Produk yang dijajakan merupakan obat-obatan dalam bentuk simplisia, jamu, dan fitofarmaka.
Pameran ini mengekspose tanaman obat yang sudah melewati penelitian dan terbukti berkhasiat dalam pengobatan tradisional. Diikuti oleh unit Kementerian Kesehatan, seperti Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), Direktorat Jenderal (Ditjen) Farmasi dan Alat Kesehatan yang mengangkat Bude Jamu, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Pusat Data dan Informasi, serta Digital Transformation Office (Pusdatin-DTO).
Peserta pameran lainnya dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, PT Sido Muncul, PT Indofarma, PT Biofarma dan Kimia Farma Holding Pharmacy, Tirta Ayu Spa, serta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu (B2P2TOOT).
Kepala B2P2TOOT Akhmad Saikhu mengungkapkan, keikutsertaan lembaganya dalam pameran ini adalah untuk mengenalkan kekayaan tanaman obat pada dunia internasional. “Manfaatnya yang diharapkan dapat dikembangkan ke arah riset khasiat tanaman obat dan pengembangan kesehatan masyarakat,” ungkap Akhmad Saikhu.
Tanaman obat itu dikemas menjadi suvenir dan diberikan secara gratis kepada delegasi G20 yang hadir. Akhmad Saikhu berharap, negara-negara G20 tertarik dan ikut mengembangkan tanaman obat asli Indonesia.
Pengembangan obat tradisional di Indonesia digolongkan menjadi tiga. Pertama adalah jamu, yang keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara uji klinis. Lebih dari 12.000 jenis jamu ada di Indonesia.
Kedua, Obat Herbal Terstandar (OHT) yang telah melalui uji pra klinik (pada hewan percobaan) dan bahan bakunya yang telah terstandardisasi. Saat ini, terdapat sekitar 86 OHT di Indonesia.
Ketiga, adalah obat yang masuk dalam pengobatan esensial yang lebih lengkap yaitu fitofarmaka. Fitofarmaka adalah bagian OHT yang sudah melalui uji pra klinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia) di mana bahan baku dan produk jadinya sudah distandardisasi.
Saat ini, terdapat 24 jenis obat fitofarmaka di Indonesia yang sudah diproduksi. Antara lain, obat imunomodulator, obat tukak lambung, obat anti diabetes untuk menurunkan gula darah, dan obat antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah. Ada juga obat untuk melancarkan sirkulasi darah supaya tidak terjadi sumbatan di pembuluh darah, dan obat untuk meningkatkan albumin bagi pasien yang membutuhkan protein seperti pasien haemodialisa/cuci darah.
Adapun standar prasyarat mutu uji klinik bahan baku herbal yang akan digunakan dalam produksi obat tradisional ditetapkan dalam Farmakope Herbal Indonesia. Dalam masa pascapengolahan panen tanaman obat, perlu dilakukan pengujian obat tradisional yang bisa menjadi OHT atau fitofarmaka di laboratorium pengujian mutu, pembuatan simplisia dan saintifikasi jamu yang ada di seluruh Indonesia.
Indonesia dengan hutan tropis dengan luas sekitar 143 juta hektare mempunyai keanekaragaman budaya spesies baik tumbuhan/tanaman maupun hewan, dan 80 persen atau sekitar 2.800 spesies tanaman obat di dunia berasal dari hutan tropis di Indonesia.
Menurut Wakil Menteri Kesehatan Dante S Harbuwono, obat tradisional sering dimanfaatkan secara luas di masa pandemi yang baru dilewati masa puncaknya. Sekitar 79 persen masyarakat mengonsumsi obat tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh pada masa pandemi Covid-19.
“Ini akan memberikan kontribusi pengobatan terhadap 270 juta penduduk Indonesia yang cakupannya 82,3 persen adalah peserta JKN dan ini merupakan pasar potensial bagi produk yang akan terbentuk berasal dari fitofarmaka tersebut,” jelas Wamenkes Dante seperti dikutip dari laman Kemenkes.
Peningkatan pemanfaatan fitofarmaka sebagai salah satu unggulan produk dalam negeri merupakan rancangan menuju kemandirian pengobatan untuk masyarakat Indonesia. Sebab fitofarmaka dibuat dengan menggunakan bahan baku asli Indonesia, diproduksi di Indonesia, dan memenuhi standar yang ditetapkan di Indonesia.(indonesia.go.id/Kristantyo Wisnubroto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar