Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.
(Dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta)
OPINI, potretkita.net - Bencana sering disebut juga dengan musibah, sesuatu yang terjadi pada seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak diinginkan terjadi.
Musibah itu ada dalam bentuk; pertama, khauf (ketakutan), suasana takut mencekam pada seseorang di tengah malam, atau suasana kamtibmas yang tidak menentu akibat terjadi konflik sosial, konflik personal, yang membuat seseorang harus was-was, senantiasa waspada dalam melakukan aktifitas.
Kedua, al-ju’a (kalaparan), kekurangan makananan yang menyebabkan lapar dan dahaga, krisis pangan, persediaan makanan pokok yang habis, sehingga dibutuhkan strategi alternative untuk mengganti bahan pokok makanan tersebut untuk melangsungkan kehidupan.
Ketiga, naqsim minal amwal (kekurangan harta), asset pribadi, keluarga dan komunitas yang hilang, akibat pencurian, perampokan, atau terjadi peristiwa alam, hanyut karena banjir, ketimbun karena longsor, hancur karena terpaan angin, hancur karena gempa.
Keempat, naqsim minal anfus (kekurangan jiwa), kehilangan anggota keluarga yang dicintai, baik bapak, anak, istri dan saudara atau juga bagian dari komunitas keseharian. Ia berpulang keharibaan Allah karena sakit, tertimbun tanah akibat longsor, hanyut karena banjir, hanyut karena ke bawa arus sungai, jatuh dari kendaraan.
Kelima, naqsim minas samarat (kekurangan buah-buahan), berkurangnya secara signifikan persediaan makanan yang dibutuhkan dalam keseharian, akibat bencana dan peristiwa kemalingan, cuaca yang tidak menentu yang berakibat gagal panen, serangan hama yang ekstrem sehingga gagal panen, kebun yang kebakaran sehingga tidak bisa dipanen, badai topan yang meluluh lantakkan sehingga perkebunan hancur lebur.Hal ini di firmankan Allah SWT dalam surat al-Baqarah (surah ke-2) ayat 155: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang sabar”.
Menghindari hal buruk yang akan terjadi kepada personal dan organisasional, dilakukanlah antisipasi terhadap kemungkinan itu, supaya tidak terjadi krisis tragedy keamanan, seseorang atau organisasi membuat system security, memasang CCT (creatinine clirens Test), menggaji security, memasang tembok, memasang alarm, agar ia merasa aman dalam menjalankan aktifitas.
Agar tidak terjadi kelaparan dan menjamin kelangsungan pangan, seseorang atau organisasi membuat cadangan pangan atau lumbung pangan keluarga, lumbung pangan masyarakat dan lumbung pangan nasional, diperhitungkan dengan sangat matang, cermat terkait dengan segala kemungkinan resiko krisis pangan dan sangat yakin bahwa tidak akan ada krisis pangan yang menimpa keluarga, karena harta sudah disimpan (save deposit) untuk tujuh turunan.
Demikian juga terkait dengan kesehatan dan keselamatan jiwa, dilakukan pengamanan sedemikian rupa, cek kesehatan berkala, pemberian nutrisi terukur, kadar gizi seimbang, kesehatan terjamin. Semua itu adalah manajemen resiko yang dilakukan oleh manusia dalam bentuk iktiyar (usaha) untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan menimpa.
Manusia memiliki kemampuan dalam merencana, menata, mengelola, mengeksekusi dan menghitung serta memperhitungkan segala kemungkinan, resiko dalam melakukan sesuatu terhadap sesuatu. Manusia berkuasa untuk meminimalisasi kemungkinan resiko buruk yang menimpa sesuatu yang ia lakukan dengan sampai kepada tingkat nol (zero risk). Inilah kekuasaan manusia sebagai khalifah yang diberikan Allah SWT.
Tetapi dibalik kekusaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia, Allah SWT memiliki kekuasaan mutlak yang disebut dengan takdir. Ada empat bentuk takdir Allah SWT; pertama, al-Ilmu, Allah mengetahui segala yang terjadi sebelumnya, sekarang yang tengah terjadi dan sesuatu yang terjadi pada masa yang akan datang.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi” (al-hajj (22): 70).
Peristiwa apapun yang menimpa dan terjadi pada alam ini semua dalam pengetahuan Allah SWT. Kedua, al-Kitabah, Allah SWT telah menuliskan semua yang terjadi dalam kitab-Nya di lauhul mahfuz, tulisan itu tetap ada dan terjadi sampai hari kiamat.
“Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (al-Hadid (57):22).
Ketiga, al-Masyiah, Allah SWT berkehendak terhadap segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, tidak ada sesuatupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya. “Dan kamu tidak akan mampu, kecuali bila dikehendaki oleh Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. (al-Insan (76):30)
Keempat, al-Khalq, Allah menciptakan segala sesuatu. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, sesuatu yang diciptakan Allah: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”. (az-Zumar (39): 62)
Segalanya dikuasai Allah, segalanya atas izin Allah, manusia hanya mampu berikhtiar sebagai keunggulan makhluk yang diciptakan Allah SWT. Manusia diberikan kuasa untuk dapat melakukan pilihan terhadap segala sesuatu yang ada pada dirinya. Manusia mempertanggungjawabkan pilihan tersebut kelak sudah berhadapan dengan Allah SWT.
Kompensasi yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang tengah diberikan musibah, agar senantiasa sabar. Sabar merupakan manajeman diri dan manajemen system yang terbangun pada manusia untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT.
Orang yang diberikan musibah oleh Allah SWT harus meyakini bahwa segala yang menimpa dirinya adalah atas kehendak Allah SWT. Telah diketahui oleh Allah SWT (al-Ilmu), telah ditetapkan oleh tuliskan oleh Allah SWT (al-Kitab) atas kehendak Allah SWT (al-Masyiah) dan telah dieksekusi langsung oleh Allah SWT dengan segenap manajemen-Nya (al-Khalq).
Usaha yang dilakukan manusia dalam bentuk manajemen resiko, bentuk dari potensi ikhtiyari yang diberikan Allah SWT kepada manusia sebagai makhluk yang mewakili diri-Nya di muka bumi ini. Manusia bertanggungjawab terhadap segala iktiyary yang ia lakukan, pertanggungjawaban tersebut ditunaikan dalam kehidupan dunia dan dihadapan Allah SWT di akhirat kelak.
Pertanggungjawaban dunia terkait dengan pelanggaran terhadap tata aturan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh manusia sebagai rambu-rambu kehidupan dalam bentuk norma. Pelanggaran manusia terhadap norma yang sudah ditetapkan tersebut tentu akan dituntut, baik dalam bentuk hukum positif maupun dalam bentuk pertanggungwaban moral, etika, dan susila.
Manusia dewasa bertanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan negara. Manusia celaka, lari dari tanggungjawab tersebut. Nilai manusia dihadapan Allah dan dihadapan manusia terletak dari tanggungjawab tersebut.
Pertanggungjawaban diukur oleh orang yang bijak dan memiliki kewenangan, bukan diukur oleh opini dan sentiment terhadap orang yang tengah ditimpa musibah. Semua berpulang kepada diri untuk saling mengevaluasi dan semakin bertaqarrub kepada Allah SWT. Semua yang diberikan Allah SWT adalah yang terbaik, tergantung kita yang tengah ditimpa musibah menilainya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar