Oleh Drs. H. Talkisman Tanjung
Wakil Ketua PDM Kabupaten Mandailing Natal
Adanya aturan tidak boleh merangkap dengan parpol ini, menyebabkan Muhammadiyah kehilangan kader-kader yang mumpuni dan kapabel untuk memimpin Muhammadiyah, dan akhirnya dengan situasi yang sangat kritis, kepemimpinan Muhammadiyah diamanahkan kepada yang kurang kapabel dan tidak mumpuni.
OPINI, potretkita.net - Pasca Muktamar ke-48 di Surakarta, Muhammadiyah di tingkat wilayah dan daerah, terus bergulir ke tingkat cabang dan ranting, akan melaksanakan musyawarah tertinggi di level kepemimpinan masing-masing.
Regulasi kepemimpinan akan terjadi, sekaligus momen strategis tersebut dijadikan sebagai ajang evaluasi sekaligus renovasi.
Ada yang menarik dalam sistem pemilihan pimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah ini, dan barangkali menjadi faktor kesuksesan musyawarah-musyawarah yang digelar persyarikatan, yaitu sistem pemilihan formatur dengan format pemilihan 13 orang calon pimpinan, yang sudah melalui tahapan seleksi melalui tanwir di tingkat pusat, dan Musypim di tingkat Wilayah, daerah, cabang dan ranting.
Dengan sistem seperti ini maka akan relatif aman, sejuk dan damai, jauh dari kericuhan, baik adu mulut, adu jotos, saling lempar kursi dan sebagainya. Ini terbukti dari periode periode terdahulu sampai hari ini di dalam bermusyawarah, Muhammadiyah masih menjadi yang terbaik dan sekaligus teladan bagi organisasi-organisasi yang lain.
Namun sistem pemilihan formatur ini bukannya tidak memiliki kelemahan, tetapi ditutupi oleh prinsip kepemimpinan yang kolektif dan kolegial. Di antara kelemahan yang terpantau adalah, sangat sulit bagi pimpinan terpilih yaitu yang 13 orang ini untuk menampilkan kekompakan, menunjukkan team work yang solid, menjalankan amanah persyarikatan secara profesional, energik, jauh dari intres pribadi dan sebagainya.
Sehingga dari 13 orang terpilih sebagai pimpinan belum tentu kesemuanya memiliki semangat, kadar pengabdian, kapasitas kekaderan dan kapasitas intelektualnya yang sama atau prima.
Dalam kenyataannya masih banyak yang tidak maksimal mengerahkan potensi dirinya untuk menjalankan program persyarikatan. Kita lebih banyak memberikan sisa-sisa waktu, tenaga, dan pikiran kita utk dipetsembahkan bagi perjuangan Muhammadiyah.
Dari sudut yang lain, bahwa di Muhammadiyah ada aturan baku yg dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk tidak merangkap jabatan di Muhammadiyah, apalagi dengan partai politik.
Muhammadiyah tidak alergi dengan politik praktis, dan tidak berafiliasi dengan salah satu partai politik, dan realisasinya Muhammadiyah mempersilahkan kader-kadernya untuk terjun di dunia politik praktis. Sehingga banyak kader-kader persyarikatan yang tertarik untuk bergelut di politik praktis, dan tersebar di beberapa partai politik.
Nah, di sini timbul sebuah keadaan yg dilematis. Di satu sisi Muhammadiyah harus dipimpin oleh kader-kader yang memiliki kapasitas, di sisi lain kader-kader terbaik tersebut lebih tertarik dengan partai politik yang menjanjikan berbagai finansial dan keuntungan pribadi.
Adanya aturan tidak boleh merangkap dengan parpol ini, menyebabkan Muhammadiyah kehilangan kader-kader yang mumpuni dan kapabel untuk memimpin Muhammadiyah, dan akhirnya dengan situasi yang sangat kritis, kepemimpinan Muhammadiyah diamanahkan kepada yang kurang kapabel dan tidak mumpuni.
Kapasitas yang dimiliki pas-pasan bahkan minus, loyalitasnya di bawah standar, semangat juang dan pengorbanannya rendah, dan dapat dipastikan hasil yang didapatkan adalah Muhammadiyah di tempat tersebut tidak bisa bergerak, dan eksistensi Muhammadiyah hanya terlihat pada plang mereknya saja.
Jika kondisi persyarikatan dalam keadaan seperti ini, tentu amal usahanya juga relatif tidak terbina dan punya prospek.
Menyikapi situasional seperti di atas, akhirnya di beberapa tempat, apakah di tingkat wilayah, daerah, cabang atau ranting, terjadi pelanggaran terhadap aturan baku Muhammadiyah tentang rangkap jabatan ini.
Seorang pimpinan persyarikatan merangkap jabatan dengan pimpinan amal usaha, pimpinan merangkap jabatan di pimpinan parpol, atau ormas lain yang amal usahanya sama dengan muhammadiyah.
Sebagai alasan klasik yang sering dikemukakan adalah krisis kader, dimana ketersediaan kader untuk menjadi pimpinan terbatas, dan sangat rugi jika kader terbaiknya, semuanya diserahkan begitu saja ke partai politik.
Menarik, tetapi sekaligus membentuk dan menyuburkan sikap ambivalensi di kalangan kader-kader persyarikatan yang diregulasi untuk menjabat sebagai pimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah.
Persoalan di atas perlu untuk kita renungi, sebab dampak langsung yang dirasakan Muhammadiyah adalah semangat itu hanya ada di arena-arena musyawarah seperti musywil, musyda, musycab dan musyran. Ketika perhelatan tersebut berakhir, maka para pimpinan yg diberi amanah dan terpilih malah tidak lagi energik, sulit meluangkan waktu untuk Muhammadiyah, dan sebagainya.
Muhammadiyah yang terkenal sebagai organisasi yang rapi, tertib administrasi, tertata dengan baik, memiliki jamaah yang solid, bersemboyankan sedikit bicara banyak bekerja dan entah apalah yang ditempelkan kepada persyarikatan yang sudah besar ini, namun semuanya itu hanya ada dalam idealisme semata, tidak di dalam realitanya.
Sebagai indikasinya, sudah seberapa banyak daerah, cabang dan ranting kita yang menjadi daerah, cabang dan ranting terbaik ketika dilombakan oleh Lembaga Pemberdayaan Cabang dan Ranting (LPCR)? Sudah berapa daerah, cabang dan ranting kita yang masuk nominasi sebagai daerah, cabang dan ranting terbaik di tingkat nasional?
Sudah berapa besar aset kita yang bisa dipergunakan untuk membiayai dan membesarkan amal usaha kita? Dan demikian juga, sudah berapa unit amal usaha kita mendapat predikat unggulan?
Itu hanya beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijadikan sebagai cambuk untuk mempersembahkan yang terbaik bagi persyarikatan dimasa yang akan datang.
Dalam kesempatan urun renbug melalui tulisan ini, saya mengetengahkan secara sangat sederhana, paling tidak lima kompetensi dasar yang harus dimiliki calon pimpinan Muhammadiyah :
1. Harus nengetahui maksud dan tujuan persyarikatan, sesuai yang tertera di dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah.
2. Harus mengetahui dan membekali diri dengan memahami (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Muhammadiyah.
3. Harus mau, mampu dan punya waktu untuk mengurus Muhammadiyah. Mau dalam artian punya energi untuk bergerak. Mampu artinya memiliki kapasitas untuk memimpin. Punya waktu artinya memiliki ketersediaan waktu untuk memimpin organisasi ini.
4. Harus siap untuk "KANGELAN LAN KELANGAN". Kangelan maksudnya mendapat kesitan kesulitan selama menjadi pimpinan Muhammadiyah. Sedangkan kelangan, maksudnya adalah rela untuk kehilangan/rela berkurban, baik materi, pemikiran dan waktu selama memimpin persyarikatan.
5. Harus siap untuk mengurus organisasi, dan jangan sampai menjadi urusan organisasi, apalagi menjadi urusan polisi.
والله اعلم.
SEMOGA MUSYWIL, MUSYDA, MUSYCAB DAN MUSYRAN MUHAMMADIYAH dan 'AISYIYAH SUKSES, MENGHASILKAN KEPUTUSAN YANG TERBAIK UNTUK PERSYARIKATAN.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar