Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.
Dosen Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta
OPINI, potretkita.net - Data BPS menginformasikan, 30 persen dari penduduk Indonesia adalah anak usia 0-17 tahun, tercatat lebih kurang dari 79,55 juta. Artinya, dari tiga orang penduduk Indonesia, satunya adalah anak.
Dari anak inilah akan melahirkan potret masa depan bangsa. Wajah Indonesia ke depan, terlihat dari kondisi anak-anak Indonesia yang berusia 0-17 tahun sekarang.
Kondisi anak sekarang yang terlihat secara kasat mata, pertama, stunting, bahwa 21,6 persen dari anak Indonesia mengalami stunting. Tahun sebelumnya mencapai angka 24,4 persen.
Setelah diintervensi dengan melakukan percepatan penurunan stunting, langsung turun menjadi 21,6 persen. Apakah turun benaran atau telah menjadi turunan, wallahu ‘alam, semoga memang kerja tim akselerasi ini benar-benar akseleratif.
Stunting jelas bentuk pertumbuhan anak yang mengalami keterlambatan, akibat dari berbagai faktor, utamanya adalah kekurangan asupan gizi dalam waktu lama, sehingga tinggi badan anak kurang dibandingkan dengan anak yang seusianya. Angkanya cukup fantastis untuk sebuah negara besar yang kaya dengan berbagai aneka makanan dan sumber daya alam.
Kedua, anak yang tidak stunting, normal dan berduit disuguhi obat yang membunuh kehidupan, narkoba dan psikotropika.
Bisnis ini jelas sangat menggiurkan bagi para pemainnya, hampir tiga puluh persen transaksi peredaran uang pada pasar gelap narkoba dan psikotropika. Pemainnya tidak tanggung-tanggung, orang dan organisasi yang berwenang di negara ini.
Anak yang telah bersentuhan dengan dunia ini, susah untuk kembali kepada kehidupan normal, mereka tergantung dengan benda ini. Mereka tidak bisa beraktifitas normal tanpa ditemani oleh benda ini.
Mereka berusaha dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang ini. Mereka rela mencuri, menipu dan merampok untuk dapat membeli obat haram ini. Penjualnya enak, karena mendapatkan pasar pasti, mereka tidak perlu menjajakan di pasar nyata, cukup bermain dengan sarana komunikasi ponsel, pembeli pasti datang, keuntungan berlipat-lipat, asal mengerti dengan yang namanya pembagian rejeki dalam kehidupan mafia.
Ketiga, bersentuhan juga dengan narkoba dan psikotropika, anak diterpa oleh tontonan pornografi melalui ponsel dan berbagai platform media sosial diberbagai situs yang sangat banyak dan bergentayangan. Keterpaan ini tidak kalah bahayanya dengan narkoba dan psikotropika, karena juga menghancurkan otak anak.
Anak-anak tidak bisa fokus pada pelajaran, tatapannya kosong pada sesuatu hal yang memerlukan pemikiran serius, apalagi yang bersifat numerik dan literatif.
Keempat, anak-anak yang agak sedikit beranjak remaja, dihinggapi oleh pola hidup hedonis, senang nongkrong di café, suka menghadiri konser dengan biaya mahal. Bayangkan berapa harga tiket black ping, tetap terjual habis oleh para remaja-remaja kita yang suka dengan dunia hiburan, tanpa menghiraukan yang bersifat nilai dan norma dalam kehidupan sosial dan budaya.
Kelima, anak yang tengah usia pembelajaran sekarang tengah dijadikan sebagai kelinci percobaan sebuah kurikulum, sistem pembelajaran yang belum tentu itu benar dan efektif untuk menjadi solusi dalam meningktkan dan mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.
Harusnya memang sebuah kurikulum haruslah dengan evaluasi yang matang kemudian diujicoba pada sekelompok tertentu dengan pengawalan yang ketat, kemudian baru dijadikan kebijakan untuk penerapan secara massif, menyeluruh dan ditetapkan sebagai kurikulum nasional, tetapi ini terkesan agak dipaksakan.
Lima hal inilah derita yang tidak tanggung-tanggung tengah menimpa anak kita, generasi penerus bangsa Indonesia tercinta ini. Derita ini hampir sempurna, seperti pepatah setelah jatuh ketimpa tangga, dan masuk comberan.
Hal ini mengingatkan penulis pada sejarah perjuangan bangsa Jepang di tahun 1940-an. Jepang dipaksa bertekuk lutut kepada sekutu dan menyerahkan semua kekuatan militernya. Kaisar Jepang mengkonsolidasi kekuatan guru, untuk mempersiapkan anak masa depan.
Pendidikan dibenahi, gizi anak diperhatikan, kesejahteraan guru diprioritaskan. Jepang dalam dua puluh lima tahun bangkit menjadi negara industri.
Bagaimana nasibnya dengan kita, yang anaknya hancur lebur baik secara pisik, mental, dan proses pendidikan. Bagaimana masa depan bangsa? Bagaimana bangsa dapat berkompetisi dengan bangsa lain? Apakah ini bagian dari grand strategy juga? Wallahu ‘alam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar