JAKARTA, potretkita.net - Kasus pencabulan di lingkungan pesantren akhir-akhir ini kerap terungkap. Salah satu kasus yang menyedot perhatian luas adalah dugaan pencabulan terhadap santri.
WARYONO ABDUL GHOFUR |
- BACA JUGA
- Sendirian Berteriak Minta Tolong di Kandang Harimau
- Sekali Silap Langsung jadi Tamparan Buat Rekan Seperjuangan
- Kasus Pencabulan Anak di Tanah Datar Terbungkus Hingga Setahun
Kasus terakhir adalah terungkapnya pencabulan yang dilakukan WM, pimpinan salah satu pesantren di Jawa tengah. Ada 15 santri yang adi korban. WM kini diamankan pihak kepolisian.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren pada Kementerian Agama RI; Waryono Abdul Ghofur menyatakan, pihaknya tidak akan segan-segan mencabut izin pesantren karena tindakan pencabulan yang dilakukan pimpinan ponpes.
"Jelas ini tindakan pidana, perbuatan tidak terpuji, mencoreng marwah ponpes secara keseluruhan, dan menyebabkan dampak luar biasa bagi korban," tandasnya, sebagaimana dikutip dari pers rilis Kemenag, yang diakses dan dikutip pada Kamis (20/4) siang.
Terkait kasus di Jateng itu, Waryono mengaakan, pendampingan terhadap para santri juga dilakukan, untuk memastikan mereka dapat melanjutkan pendidikannya. Sebab, tegasnya, meski izin pesantrennya dicabut, hak pendidikan para santri harus dilindungi.
"Kami juga memberi perhatian pada kelanjutan pendidikan para santri. Mereka harus terus belajar. Kita berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah dan sejumlah pesantren lainnya," sebut Waryono.
Waryono menjelaskan, Kementerian Agama juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya dalam penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Lembaga terkait itu misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan pihak kepolisian.
Menurutnya, proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan. Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?
“Ini semua harus dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Nah, untuk itu kita libatkan Dinas Sosial. Jadi kita juga harus melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan, penanganannya juga harus komprehensif,” tandasnya.
Waryono menambahkan, Kementerian Agama juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif, agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak.
Kemenag, kata Waryono, juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan, bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.
Proses sosialisasi ini terus berjalan secara bertahap. Sebab, jumlah pesantren memang sangat banyak, lebih 37 ribu yang terdaftar di Kemenag. Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren. Sosialisasi juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik melalui forum dalam jaringan (daring) atau luar jaringan (luring).
“Kami sampaikan bahwa pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai "kitab kuning baru". UU perlindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.(kemenag.go.id; ed. mus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar