Gempa Pernah Hancurkan Padang Panjang pada 28 Juni 1926 - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

29 Juni 2021

Gempa Pernah Hancurkan Padang Panjang pada 28 Juni 1926

PADANG PANJANG, POTRETKITA -- 95 tahun lalu, persisnya tanggal 28 Juni 1926, Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat, pernah hancur akibat gempa berskala besar yang berpusat di daratan. Inilah gempa terdahsyat yang takkan terlupakan hingga saat ini. Gempa susulannya yang juga terbilang kuat, mengguncang kota ini lebih dari sepekan.

Kerusakan akibat gempa 28 Juni 1926 di Padang Panjang,(foto-foto dari voi.id)

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami pada Badan Meteorolog Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dr. Daryono menyebut, sedikitnya 2.383 rumah milik warga Padang Panjang roboh dan 247 orang meninggal dunia. Agam, tetangga terdekat kota Serambi Mekah, kerusakan juga cukup besar. Sedikitnya 472 rumah di 25 lokasi hancur, 57 orang meninggal dunia, dan 16 orang luka berat.


Menelusuri berbagai rekam jejak sejarah gempa di Padang Panjang ditemukan fakta, gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) juga menyebabkan kerusakan dan tanah longsor di Kabupaten Tanah Datar, seputaran Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto dan kawasan Alahan Panjang.


Sementara itu, menurut data National Oceanic Otmospheric Administration (NOAA) yang dikutip voi.id, hancurnya Padang Panjang tak terlepas dari dua gelombang gempa yang terjadi pada hari itu, yakni berkekuatan 7,6 SR pada pukul 10.00 pagi dan 7,8 SR pada pukul 13.15 siang (waktu itu belum ada zona waktu WIB --red).


Sebelum gempa, menurut web berita itu, orang Minangkabau begitu larut dalam aktivitas sehari-hari. Para penjual menawarkan dagangannya, pembeli sibuk mencari belanjaan, pegawai pemerintah sibuk dengan kerjaannya. Ada juga mereka yang larut dalam obrolan santai di kedai-kedai.


Akan tetapi, gempa kemudian terjadi pada pukul 10.00 pagi. Dilaporkan Koran Sin Po, terbitan 9 Juli 1926, tak cuma Padang Panjang saja yang merasakan getaran. Gempa juga dirasakan orang Minangkabau di sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto, dan Alahan Panjang.


''Akibat gempa itu, 354 korban jiwa kehilangan nyawa dan 2.383 rumah roboh. Ditambah gempa susulan yang mengakibatkan 57 orang meninggal dunia, dan 472 rumah roboh. “Getarannya cukup lama. Seketika itu juga bangunan banyak roboh dan hancur. Pada reruntuhan puing-puing bangunan itu banyak yang terjebak dan terhimpit,” tulis Koran Sin Po.


Getaran gempa menimbulkan kerusakan infrastruktur. Utamanya pada bangunan berbahan batu yang banyak bertumbangan. Salah satu bangunan yang terkena dampak adalah ikon Bukittinggi, Jam Gadang. Walau masih dalam proses pembangunan, Jam Gadang sempat bergoyang hebat hingga konstruksinya miring 30 derajat.


“Tatkala gempa besar 1926, jam ini bergoyang hebat dan miring 30 derajat. Lalu diperbaiki seperti keadaannya semula. Tinggi bangunannya sekitar 37 meter. Tapi karena letaknya di atas bukit, kelihatannya amat tinggi, terutama bila dilihat dari lembah-lembah sekitarnya. Di puncaknya terdapat bangunan rumah gadang dengan atap berbentuk tanduk kerbau. Untuk sampai di puncak ini terdapat sebuah tangga,” terpapar dalam laporan di Majalah Tempo berjudul Jam Gadang Akan Dikomersilkan (1978).


Gempa dahsyat Padang Panjang itu, sampai sekarang masih diceritakan turun-temurun. Selain untuk mengukuhkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan, cerita itu juga mengungkap betapa dahsyatnya musibah yang melanda.


Sejumlah tokoh pergerakan yang di kemudian hari menjadi ulama besar, seperti Rahmah El-Yunusiyyah, Abdul Karim Amrullah, Zainuddin Labay El-Yunussy, Abdullah Ahmad, dan Buya Hamka, juga banyak berkisah dan terpaksa pindah meninggalkan Padang Panjang. Rumah dan pusat pendidikan tempat mereka berkiprah hancur. Perguruan Diniyyah Puteri yang baru berusia tiga tahun, terdampak luar biasa. Termasuk juga tempat Hamka belajar di Masjid Jembatan Besi.


Saat gempa terjadi, Syekh Abdullah Karim Amrullah dalam perjalanan dari Medan menuju Padang Panjang. Kabar hancurnya Padang Panjang akibat gempa, didapat setelah beliau sampai di Sibolga. Setibanya di Padang Panjang, beliau menyaksikan betapa kehancuran terjadi di mana-mana.


Rumah yang dimilikinya di Gatangan, rusak berat karena gempa. Demikian juga dengan Surau Jembatan Besi kepunyaan Abdullah Ahmad, yang menjadi tempat Haji Rasul mengajar ilmu agama sehari-hari. Sekitar surau tersebut juga banyak rumah yang sudah rusak dan hancur.


Sebagian besar keluarganya telah lebih dahulu meninggalkan Padang Panjang, menuju ke Maninjau, kampung halamannya. Ketiadaan rumah karena rusak berat karena gempa, tanggal 30 Juni Haji Rasul memutuskan pulang kampung ke Maninjau.


Pada 6 Maret 2007, seribuan lebih rumah masyarakat Padang Panjang juga pernah hancur akibat gempa. Menurut BMKG, peristiwanya terjadi pada pukul 10.49 WIB dari kedalaman 33 kilometer, Segmen Sianok bergerak dengan magnitudo 6,4 mengguncang hingga VIII Modified Mercalli Intensity (MMI) daerah sekitar Bukittinggi, Payakumbuh dan Solok.


Pukul 12.49 WIB di hari yang sanam kembali kembali terjadi dengan Magnitudo 6,3. Giliran Segmen Sumani yang bergerak. Selain dirasakan di seputar Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, gempa ini juga menggetarkan Padang dan daerah pesisir Sumbar sampai VI MMI. Gempa yang juga dirasakan sampai ke Riau dan Semenanjung Malaka.


Melihat deretan panjang kerusakan harta benda daan korban jiwa, nampaknya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat harus tetap dibangun. Pemerintah daerah melalui instansi terkait tentu bertanggungjawab mengedukasi rakyat, membangun sarana mitigasi, dan menyiapkan semua perangkat evaluasi beserta pertolongan yang dibutuhkan.(MUSRIADI MUSANIF, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad