KEHADIRAN Muhammadiyah di Jorong Sukomananti dan Padang Tujuah, Nagari Aua Kuniang, Pasaman Barat, merupakan perjalanan dakwah yang unik. Sama uniknya dengan keberadaan Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD) Kabupaten Pasaman pada masa lalu.
Musriadi Musanif, S.Th.I |
Unik, karena Muhammadiyah di sini tidak didirikan dan dikembangkan oleh muballigh atau pendakwah, guru, atau kalangan intelektual, sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia. Di sini, Muhammadiyah didirikan dan dikembangkan para pedagang keliling dari pekan ke pekan dan sopir angkutan umum.
PDM Pasaman unik karena tidak berkantor di
Lubuksikaping selaku ibukota kabupaten, tetapi bersekretariat dan personil
pimpinannya bermukim di Ujuang Gadiang, berjarak sekitar 150 kilometer. Kini, waktu
tempuhnya sekitar empat hingga lima jam. Pada masa itu, waktu tempuhnya bisa 24
jam.
Setelah Kabupaten Pasaman dimekarkan jadi
Pasaman dan Pasaman Barat, barulah sekretariat PDM Pasaman ada di
Lubuksikaping, sementara di Ujung Gadiang menjadi pusat aktifitas PDM Pasaman
Barat yang kemudian berangsur-angsur bergeser ke Simpang Ampek selaku ibukota
kabupaten.
Kembali ke uniknya Muhammadiyah Sukomananti
dan Padang Tujuah. Sukomananti berbatasan langsung dengan Padang Tujuah. Hampir
seratus persen penduduknya adalah pengikut setia Buya Lubua Landua. Padang
Tujuah adalah jorong di mana pasar nagari Aua Kuniang ditempatkan. Belum
ditemukan catatan resmi, menyangkut angka pasti soal tahun pertama kali Muhammadiyah
masuk ke daerah itu.
Seingat penulis, Muhammadiyah sudah punya
gedung dan Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM) tahun 1980. Penulis lahir tahun
1968. Melihat kondisi bangunan saat penulis menjadi murid di SDM Sukomananti
itu, bisa diperkirakan sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Bisa ditaksir,
sebelum penulis lahir, Muhammadiyah sudah eksis di situ.
Di Pasar Padang Tujuah yang diramaikan
setiap Senin, persisnya di belakang rumah nenek penulis bernama Ramlah dan
Bastiah, sudah berdiri sebuah surau yang kini dikenal Mushalla Al-Mukmin. Kedua
nenek penulis itu (maaf sedikit menonjol unsur kekeluargaan), pelopor
berdirinya surau tersebut dan dibangun di atas tanah milik keduanya.
Setiap malam Senin atau Ahad malam, surau
itu sangat ramai oleh para pedagang. Mereka berdiskusi, mengadakan pengajian, membahas
ayat-ayat Alquran, dan membahas gerak Persyarikatan Muhammadiyah dalam sepekan.
Saudagar itu memang bermalam di Padang Tujuah karena akan berdagang pada
Seninnya di pasar, setelah sepanjang Ahad berdagang di Pasar Simpang Ampek.
Selain pedagang babelok, Muhammadiyah di
Padang Tujuah juga didukung dan dikembangkan pedagang yang bermukim di
sekitaran pasar. Ada yang pedagang kain, tukang jahit seperti Pak Kahar, dan
pengusaha rumah makan. Sementara di Sukomananti, Muhammadiyah disambut pengusaha
sukses pada zamannya, di antaranya Bapak Lanin. Ada juga nama Pak Ramli, Syamsu, Ismail, dan
Nenek Mila.
Pak Lanin adalah ayah kandung Dosen UNP dan
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar Prof. Dasman Lanin, Ph.D. Seluruh
putra putrinya menjadi pendukung utama Muhammadiyah yang kini berdomisili di
berbagai kota. Ada di Jakarta, Bakauheni, Padang, dan Sukomananti.
Sedangkan Ramli adalah ayah kanduang Ketua
PRM Sukomananti saat ini Reflin. Syamsu adalah ayah dari Yubhar, salah seorang
guru andalan di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang terdapat di Sukomananti sejak
dahulu. Ismail adalah saudara dari Syamsu. Keduanya adalah keluarga Nenek Mila.
Almarhum Ayah penulis bernama Musanif,
hingga akhir hayatnya menjadi anggota Muhammadiyah di situ. Beliau memanggil
Ramli, Syamsu, dan Ismail dengan ajo (kakak). Sedangkan Lanin beliau sapa
dengan mamak. Nenek Mila adalah eteknya, sama dengan Nenek Ramlah dan Bastiah
di Padang Tujuah. Mereka sebenarnya masih karib kerabat dan keluarga dekat.
Kendati dekat dari Pasar Padang Tujuah,
namun lima kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kampuang Kubu bergabung dengan
kegiatan Muhammadiyah di Jorong Sukomananti yang dipusatkan di Komplek SDM.
Letaknya di belakang SD Negeri Sukomananti. SD Muhammadiyah itu sendiri, oleh
masyarakat disebut dengan Sikola Bulakang untuk mengatakan SDM terletak di
belakang SDN.
Kendati hanya tujuh orang dalam satu kelas,
penulis berhasil menamatkan pendidikan di Sikola Bulakang itu ketika dipimpin
almarhum Fachri Mandayu selaku kepala sekolah, untuk kemudian atas saran dan
arahan para pimpinan Muhammadiyah di Sukomananti dan Padang Tujuah, melanjutkan
pendidikan ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Tamiang Ujuang Gadiang.
Satu orang kader Muhammadiyah Sukomananti
bernama Uni Jaih (saat ini tinggal di dekat SDN Kampuang Kubu), sudah terlebih dahulu merintis
melanjutkan sekolah ke Muallimin Tamiang. Waktu itu, Ujuang Gadiang adalah
negeri jauh dan bersekolah ke sana bagi anak Nagari Aua Kuniang adalah semua
keberanian luar biasa, karena butuh waktu lebih dari enam jam sampai ke sana
dengan akses transportasi yang amat jelek dan diputus oleh Batang Pasaman di
Nagari Aie Gadang.
Sementara Bapak Lanin bersama para
sahabatnya sesama pimpinan dan anggota Muhammadiyah, terus berupaya
mengembangkan SDM Sukomananti, kendati masyarakat Sukomananti nyaris tidak
merespon positif keberadaan SDM itu. Guru-guru hebat pun didatangkan dari
Ujuang Gadiang, untuk mengembangkan konsep keunggulan di SDM, di antaranya
adalah dua sahabat bernama B. Matondang dan Syamsuddin Lubis (keduanya sudah
meninggal dunia), disusul Ibu Habibah dan beberapa guru lainnya tamatan
Muallimin Muhammadiyah Tamiang.
SDM Sukomananti waktu itu juga menerima ‘murid
titipan khusus’ PWM Sumbar yang berasal dari Kepulauan Mentawai. Salah
seorangnya yang penulis masih ingat bernama Ngenai Brah. Ingat, karena dia adik
kelas persis setingkat di bawah penulis. Anak-anak titipan PWM Sumbar untuk
dididik melalui SDM Sukomananti itu tinggal
bersama keluarga Bapak Lanin.
Di Tapalan, komplek Pendidikan Muhammadiyah
Sukomananti saat ini, didirikan pula SMP Muhammadiyah. Memasuki dasa warsa
80-an, SMP Muhammadiyah itu mengakhiri kegiatannya, digantikan dengan Madrasah
Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM) Sukamenanti. Kini MTsM sudah wafat pula,
dilanjutkan SMP Islam Al-Azhar Muhammadiyah.
Sama halnya dengan SDM dan SMPM, keberadaan
MTsM juga tidak mendapat respon dari masyarakat. Hanya ‘anak-anak orang
Muhammadiyah’ yang bersekolah di sana. Siswa pertamanya hanya sembilan orang,
penulis adalah salah satunya. Penulis bersama acik (adik ayah) Afriati, yang
waktu itu sudah kelas II di Muallimin Muhammadiyah Tamiang tingkat tsanawiyah, ‘ditarik’
kembali ke Sukomananti dan mendaftar sebagai siswa perdana dan kedua di MTsM
itu.
Beberapa minggu kemudian, adik kelas
penulis di SDM Sukomananti pun bergabung ke MTsM, dan beberapa siswa dari Jambu Baru dan Pinaga, sehingga jumlah kami menjadi sembilan orang. Semangat pimpinan dan anggota
Muhammadiyah di Sukomananti dan Padang Tujuah ternyata tidak kendor mengembangkan madrasah ini. Ada iuran, donasi, dan beras genggam untuk menghimpun dana agar sekolah ini tetap bertahap.
Pembelajaran pun dimulai di bekas gedung
SDM yang sudah mati. Lalu kemudian pindah ke mushalla yang dibangun di samping
gedung SDM, karena ibu-ibu Aisyiyah mendirikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah
Bustanul Athfal (TKABA), lalu pindah lagi ke Tapalan, setelah gedung bekas SMP
Muhammadiyah yang sudah merimba direhabilitasi.
Penulis tidak tahu persis, apa mushalla yang
pernah jadi tempat belajar MTsM itu selesai dibangun atau tidak, karena waktu
itu hanya terdiri lantai, atap, dan dinding darurat, seiring dibangunnya Mesjid
Taqwa Muhammadiyah saat ini yang berdiri megah di Jorong Tapalan.
MTsM Sukomananti berkampus di Tapalan
hingga akhir hayatnya. Kampus Tapalan menjadi semarak ketika Pimpinan Pusat
Muhammadiyah membangun mushalla, Masjid Taqwa saat ini, dengan dana bantuan
dari Timur Tengah atas lobi pimpinan pusat, di antaranya negosiator dan
diplomat ulung almarhum H. Lukman Harun.
Ada tiga mushalla yang dibangun sumber dana
yang sama di Sumatera Barat, dua di antaranya ada di Pasaman Barat yang waktu
itu mendapat perhatian khusus. Satu di Tapalan dan satu lagi lagi di Alamanda,
Kinali. Khusus Alamanda, juga dibangun Islamic Center Muhammadiyah. Arsitektur
mushalla yang di Tapalan dan Alamanda sama persis, tapi kini keduanya sudah
direhab pimpinan Muhammadiyah setempat dan alih status dari mushalla menjadi
masjid.
Sekadar mengembalikan memori, ketika itu,
Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pasaman berkedudukan di Sukomananti.
Pimpinan rantingnya ada di Kajai (Kecamatan Talamau), Sasak, dan Rambah Kinali.
Beberapa waktu kemudian bertambah dengan Cabang Pasaman Baru yang dimotori
almarhum Anang Suryana, dan didukung beberapa orang guru beserta pelajar SMA
Negeri Simpang Empat yang kini bernama SMAN 1 Pasaman. Basis ranting baru ini
ada di Masjid Jihad Muhammadiyah Pasaman Baru.
Darah segar pun mengalir ke Muhammadiyah
Cabang Pasaman, sejalan dengan bergabungnya Chandra Mesra (almarhum) dan Mizlan
ke jajaran pimpinan Muhammadiyah. Keduanya adalah tokoh yang amat disegani
masyarakat, karena bekerja di lembaga pemerintah yang amat dikagumi, yakni
Dinas Perkebunan dan Tanaman Hortikultura Provinsi Sumatera Barat, yang khusus
untuk Pasaman Barat (perjalanan menjadi kabupaten otonom waktu itu masih sangat
jauh), berada langsung di bawah pembinaan pemerintahan Republik Federal Jerman
melalui institusi Area Development Project (ADP) West Pasaman.(MUSRIADI MUSANIF, bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar