Hanif: Kepribadian Otentik - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

09 Juli 2022

Hanif: Kepribadian Otentik

Oleh

Dr. Suhardin, S Ag., M Pd.

(Dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta)



ALLAH SWT memberikan contoh ketauladanan hanif yang sangat sempurna pada jiwa seorang rasul-Nya Ibrahim AS. Rela mengorbankan anak yang sudah beliau dambakan untuk menunaikan perintah Allah SWT. 

Demikian juga pada diri seorang Siti Hajar, bersedia hidup sebatangkara dalam sebuah tempat yang tidak bertuan. Beliau yakin, karena ini adalah perintah dan skenario Allah SWT beliau jalankan dengan kesabaran tingkat tinggi.


Semua skenario yang dirancang Allah SWT dan dijalankan oleh hamba-hamba-Nya yang sangat ikhlas, wujud nyata hanif, sebagai kepribadian yang authentic, menghasilkan sejarah dahsyat kemanusiaan di muka bumi ini. 


Hanif, mencerminkan kepribadian asli (authentic; otentik) pada diri seorang manusia, yang tidak memiliki topeng karena semua hidup dipersembahkan kepada Allah SWT.  “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-Anam: 162). 


Kepribadian ganda, banyak wajah dipengaruhi oleh kepentingan, maksud tertentu, dan keinginan sesaat terhadap sesuatu. Orang rela mengorbankan harga diri, kepribadian, keluarga, suku, bangsa, malah agamanya untuk menggapai maksud yang diinginkannya. Kepentingan, hasrat dan hawa mengalahkan kepentingan tuhan terhadap dirinya, malah hawa dan kepentingan itu telah dijadikan tuhan. Ini nyata sebagai wujud kemusyrikan di tengah kehidupan yang kita alami sekarang ini. 


Untuk popularitas orang rela berbohong, untuk pencitraan diri orang rela mempoles diri dengan hal-hal yang tidak sebenarnya, untuk lepas dari jeratan hukum orang rela bersaksi palsu dan memberikan keterangan palsu serta bersumpah palsu, demi untuk meraih keuntungan orang rela memalsukan dokumen. 

Segala cara dilakukan untuk mendapatkan segala yang telah menjadi keinginan diri. Segala upaya dilakukan untuk mengejar yang diimpikan. Standar keberhasilan, mendapatkan segala yang dinginkan, segala yang dicita-citakan dan segala yang impikan. Semua ditempuh walaupun dengan melakukan hal-hal diluar kepatutan dan kepantasan.     


Pada saat ini tidak sedikit manusia tejangkit virus egoisme, yakni sikap hanya mementingkan diri dan kelompok sendiri. Demi kepentingan golongan sendiri rela mengorbankan kepentingan sesama, bahkan terhadap sesama seiman. Ajimumpung kekuasaan tumbuh di mana-mana.


Sifat kasih sayang seolah menjadi mutiara yang hilang untuk ditemukan kembali. Kekerasan, konflik, dan bahkan perang terjadi di sejumlah tempat dan kawasan antara lain karena menguatnya egoisme dan luruhnya kasih sayang antar sesama.


Manusia seolah menjadi srigala bagi yang lainnya. Sebahagian orang beriman pun atasnama agama dan kebenaran tidak sedikit menjadi ringan tangan berbuat kekerasan, sehingga kehilangan watak kasih sayangnya terhadap sesama sebagaimana diajarkan agama dan para Nabi.


Agama dan jejak Nabi yang mengajarkan kasih sayang dan kedamaian hanya menjadi ujaran dan retorika indah, sering tidak menjadi pola tindak dan ketauladanan dalam kehidupan umat beragama. Saling hujat, caci maki, kebencian, dan sikap saling menyebar kenegatifan kadang terbuka di ruang publik baik antar sesama umat seagama maupun antar umat beragama dipicu oleh berbagai sebab, namun pada akhirnya bermuara pada luruhnya jiwa damai dan kasih sayang antar sesama.


Momentum Idul Adha kita dapat menapak tilasi perjuangan Nabi Ibrahim AS, Ismail AS dan Siti Hajar, yang lebih mengutamakan kepentingan Allah SWT di atas cintanya terhadap diri, anak keturunan dan harta benda. Ibrahim dan Hajar rela menyembelih anaknya Ismail, karena itu adalah perintah Allah SWT yang disampaikan melalui mimpi. Ismail dengan tegas dan meyakinkan mengatakan siap menjalankan perintah Allah SWT dan menerima segalanya dalam jiwa yang sabar dan tawakkal kepada Allah SWT. 


Diorama historical yang dimainkan oleh para aktor ilahiyah di atas sangat teologic, fantastic dan menakjubkan. Mungkin tidak ada manusia di muka bumi ini selain beliau yang sanggup memainkan peran tersebut. Kepribadian yang sangat authentic dari tiga tokoh yang bermain dalam perjalanan sejarah manusia di muka bumi ini.


Keluhuran jiwa, kebesaran diri, ketabahan hati, dan penghambaan yang sangat authentic tersebut dibayar Allah SWT dengan monumen sejarah kemanusiaan, monumen sejarah ketuhanan, dan menjadikan biological Ibrahim dan Ismail menjadi bapak kerasulan dan kenabian di muka bumi ini, hingga nabi akhir zaman Muhammad SAW. 


Para elite dan warga di negeri yang mengaku insan beriman di mana pun berada perlu memgambil makna hakiki dari ajaran ketulusan, cinta, dan pengorbanan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar sebagai model perilaku emas, hanif  kepribadian authenctic yang menebar keutamaan bagi seluruh umat manusia. 

Adanya segelintir orang atau kelompok yang menguasai mayoritas kekayaan negara dan menyebabkan kesenjangan sosial merupakan bukti lemahnya jiwa berkorban di tubuh bangsa ini. Luruhnya jiwa kenegarawanan yang ditandai kian menguatnya kebiasaan mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas kepentingan publik boleh jadi karena makin terkikisnya jiwa ikhlas berkorban sebagai kanopi suci yang diajarkan para Nabi Allah yang kaya mozaik spiritual Ilahiah itu.


Dalam kehidupan umat dan bangsa sungguh diperlukan jiwa berkorban berbasis iman untuk tegaknya kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan segala keutamaan. Termasuk bagi mereka yang selama ini memiliki amanat kekuasaan dan memiliki kekayaan berlebih untuk berkorban demi kesejahteraan rakyat yang masih dilanda kehidupan yang dhuafa-mustadhafin di negeri ini.


Tanpa pengorbanan dengan jiwa, pikiran, perasaan, dan perbutan yang tulus dan utama dari para elite dan warga bangsa maka tidak mungkin tercipta kehidupan yang baik dan maju di tubuh bangsa ini dalam bingkai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad