TANAH DATAR, POTRETKITA.net - Setelah dinilai cukup kuat untuk merenangi Danau Singkarak, sebanyak 4.000 bibit ikan bilih yang disiapkan Universitas Bung Hatta (UBH) dengan dukungan PT Semen Padang, dilepas ke danau kebanggaan masyarakat Minangkabau itu.
sumbarprov.go.id |
Secara seremonial, prosesi menebar bibit ikan bilih hasil pembibitan laboratorium itu dilakukan, Sabtu (30/7), oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat Audy Joinaldy, dan dihadiri sejumlah pejabat terkait. Bersamaan dengan itu, wagub juga meresmikan Area Konservasi Ikan Bilih di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan.
Program kawasan konservasi satwa endemik Danau Singkarak ini, merupakan buah kerjasama antara PT. Semen Padang dan Universitas Bung Hatta (UBH).
Ikan bilih asal Danau Singkarak sempat berkembang biak di Danau Toba, sebelum kemudian meredup lagi.
Untuk diketahui, populasi Ikan Bilih (Mystacoleucus Padangensis) terus menyusut. Sejak 20 tahun terakhir, produksi tangkapan Ikan Bilih nelayan salingka Danau Singkarak telah menurun hingga 50 persen akibat eksploitasi berlebihan, tanpa menghiraukan proses pembiakan ikan.
Beragam upaya dilakukan agar jenis Ikan endemik Danau Singkarak ini terhindar dari kepunahan. Salah satunya melalui konservasi ex-situ yang dilakukan di laboratoriun UBH dan konservasi In-situ di Nagari Sumpur, Tanah Datar.
Selain penyelamatan populasi ikan, upaya ini tentunya juga dapat menyelamatkan mata pencarian masyarakat setempat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Juga untuk mempertahankan ekosistem Singkarak dan menjadikan area konservasi sebagai penyangga bilamana ikan bilih tak lagi dapat ditemukan di habitat aslinya.
Wagub Audy mengatakan sangat mengapresiasi upaya penyelamatan ikan bilih yang dilakukan PT. Semen Padang dan UBH ini. Menurut Wagub, pembiakan hewan endemik di luar habitat asli memang tidak mudah. Tak jarang pula menemui kegagalan.
"Yang dilakukan oleh Semen Padang dan UBH ini kan untuk anak cucu kita ke depan. Kita harus jaga Singkarak ini dengan upaya kontiniu untuk menjaga keberlangsungan konservasi dan ekosistem," kata Wagub, sebagaimana dikutip dari publikasi Dinas Kominfotik Sumbar pada website resmi sumbarprov.go.id.
Wagub menjelaskan, upaya pemerintah dalam menghentikan penggunaan alat-alat tangkap yang dilarang, terutama keramba jaring apung (KJA). Selain itu, pemerintah provinsi juga tengah mengupayakan mata pencarian alternatif bagi masyarakat setempat. "Pencarian masyarakat dari danau juga pelan-pelan kita geser melalui program dari provinsi, terutama ke arah peternakan, pertanian dan kepariwisataan," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama Semen Indonesia Group (SIG), Donny Arsal menyampaikan bahwa langkah yang dilakukan PT. Semen Padang merupakan bagian dari program SIG menuju zero emissions. "Kita sudah set program sampai tahun 2030, bagaimana kita bisa balance antara kontributor CO2 sama program ramah lingkungan yang bermanfaat untuk masyarakat," jelasnya.
Program konservasi ini, menurut Donny, nantinya akan dikembangkan dengan skala yang lebih besar, sehingga semakin berdampak bagi masyarakat, terutama Sumpur sebagai percontohan kita saat ini. Untuk tahap awal ini, ujarnya, sudah ada dua paten untuk pembiakan, nantinya akan kita expand sehingga bisa membuat program edukasi bagaimana membudidayakan bilih di luar habitatnya.
Fernando Sutan Sati, tokoh masyarakat sekaligus ketua nelayan setempat mengungkapkan, Nagari Sumpur hingga saat ini cukup taat dengan aturan penggunaan alat tangkap.
Selama puluhan tahun, tegasnya, Nagari Sumpur satu-satunnya yang tidak menggunakan jalan pintas dengan alat tangkap yang dilarang. Sanksi buang kampung bagi pelanggar bahkan sudah pernah kami terapkan.
DANAU TOBA
Ikan bilih dari Danau Singkarak beberapa tahun lalu juga dikembangkan di Danau Toba. Di situ, bilih tumbuh subur dan ukurannya lebih besar dari bilih di Danau Singkarak. Sempat beberapa tahun, kebutuhan bilih Sumbar dan Riau dipasok dari Danau Toba. Bilih di situ dikenal dengan sebutan ikan pora-pora.
Tiga tahun belakangan, nelayan Danau Toba juga mengeluhkan, ikan pora-pora itu sudah mulai sulit pula didapat. Hidup jauh dari habitat asalnya, terpaut jarak sekitar 700 kilometer, ikan bilih (mystacoleuseus padangensis) lima tahun terakhir memang sempat disebut hidup bahagia di Danau Toba. Ikan yang semula disebut-sebut hanya ada di Danau Singkarak itu, berkembang biak di sana.
Bilih mulai dikenal di Toba setelah pemerintah di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri menabur benih bilih di sana. Bibitnya dibawa dari Danau Singkarak. Kondisi Danau Toba yang luas, arus airnya cukup deras, dan banyaknya sungai tempat pemijahan, diperkirakan jadi penyebab ikan kebanggaan masyarakat Minangkabau menjadi fenomena baru di tanah Tapanuli.
Ada banyak warga pada tujuh kabupaten di sekeliling Danau Toba yang kemudian menikmati usaha baru, mulai dari menangkap bilih sampai ke memperdagangkannya.
“Mulanya kami tidak tahu mau diapakan ikan pora-pora (sebutan masyarakat di Kabupaten Samosir untuk ikan bilih) ini. Dianggap sampah saja. Tapi setelah adanya permintaan dari Sumatra Barat, maka kami ramai-ramai pula melakukan penangkapan untuk kemudian dipasarkan oleh toke ke Padang dan Jambi,” ujar R. Br. Hutapea, seorang penangkap bilih di Desa Sakkala, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, beberapa waktu lalu
Sentra penangkapan ikan bilih di Pulau Samosir menyebar di berbagai tempat, di antaranya ditemukan di Salimbun, Hutagaol, Ambarita, Sibatu-batu, Panggururan, Marlumba dan lain-lain.
Selain di Kabupaten Samosir, ikan bilih juga ditangkap di kabupaten lain yang Danau Toba berada di wilayah mereka, yakni Kabupaten Karo, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun, Humbang Hasundutan, dan Dairi.***
(MUSRIADI MUSANIF, wartawan utama pada Harian Umum Singgalang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar