Oleh
Dr. Jasra Putra, M.Pd
(Komisioner/Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
DI DALAM keramaian aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan kamu. Ini adalah bait syair lagu Dewa 19, namun syair ini kelihatannya tidak berlaku untuk para para roker (rombongan kereta) dan turis (turun naik bis), di konektivitas transportasi dan ruang transit Dukuh Atas, Sudirman; Jakarta.
Zebra cross yang menjadi lintasan wira-wiri konektivitas tersebut, kini menjadi tempat fashion jalanan anak-anak SCBD (Sudirman, Citayam, Bogor, Depok). Bahkan ada sebutan baru Haradukuh, karena mirip dengan festival fashion jalanan di Jepang yang biasa disebut Harajuku.
Melihat antusias para roker dan turis, begitupun para pendatang di tempat tersebut, membuktikan ada energi besar yang positif yang dirasakan bersama dengan adanya festival fashion jalanan yang kreatif ini.
Warna Jakarta yang biasanya kental dengan hari-hari sibuk, determinasi persaingan politik yang tinggi, wajah pusat kegiatan ekonomi, tiba-tiba bergeser pada nilai-nilai yang penampilannya lebih manusiawi bagi para pekerja, yang biasa di atur waktu dan rutinitas, tempat yang mereka lewati kini lebih berperadaban dan bernilai budaya. Sehingga merelaksasi rutinitas mereka. Begitupun aktivitasnya terus terlihat progresif dan membawa energi positif yang sangat besar, bagi yang hadir menonton.
Sudah terhitung dua minggu fenomena SCBD atau Haradukuh ini menjadi warna baru Jakarta.
KPAI melihat jelang, Hari Anak Nasional (HAN) yang tinggal menghitung hari pada 23 Juli ini ada momentum membahagiakan, di tengah berita anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual dan kekerasan, serta kekhawatiran paparan ruang digital.
Anak-anak tetap menunjukkan sebagai generasi yang tangguh pasca pandemi. Mereka beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan bangkit. Saya kira ini perasaan positif yang harus ditangkap banyak pihak untuk berinovasi. Ruang-ruang belajar yang dibatasi tembok itu harus dirubuhkan, jangan menjadi memenjara kreatifitas anak, hanya karena standard ukuran dan nilai. Anak-anak perlu diberi kesempatan bereksplorasi.
Ruang ekspresi dan kreatif memang harus dibuka seluas-luasnya untuk anak. Penting memberi pesan ke anak-anak Indonesia, bahwa negara ini bisa dan terbuka menerima potensi mereka, tanpa batas dalam ruang kreatifitas.
Jadi, kalau ada yang berfikir soal kongkow di SCBD anak jadi salah. Maka pertanyaannya adalah dimana ruang anak, ketika orang dewasa menyampaikan jangan kongkow di situ, dengan seribu alasan. Artinya kalau ini yang terjadi, kita sedang menciptakan generasi serba salah, di mana ruang anak yang menurut orang dewasa lebih baik sebenarnya.
Kalau pun mereka akan ditertibkan, atau dipulangkan, pertanyaannya apakah ada ruang yang sama untuk memicu ekspresi dan kreativitas. Ini kan masalah kita, banyak ruang yang disebut ramah anak, tetapi anak-anak enggan terlibat aktif, termotivasi, apalagi kreatif. Sedangkan ketika benar-benar dibutuhkan hanya menjadi objek formalitas belaka.
Justru kita ingin pemda dan swasta yang lain membuka ruang publik serupa, karena ruang ini menjadi pertemuan lintas generasi dan kebutuhan yang memicu kreativitas anak-anak dan remaja. Saya kira jarang ruang atau model yang diciptakan untuk anak menimbulkan kemandirian berkreatifitas.
Saya juga bertanya kepada anak tentang pendapat SCBD atau Harajuku ini, jawaban mereka beragam dan spontan, tidak panjang lebar. Seperti ketika ditanya tentang baju yang dipakai, mereka menjawab “Mau orang pakai baju apa terserahlah, yang penting jangan saling ganggu dong, mereka kan mau eksis, jangan diganggu. Yang ada pemerintah jaga orang dari pikiran kotor”.
Ketika ditanya apakah mereka ada di sana, karena keluarganya butuh dibantu, jawaban mereka Alhamdulillah kalau dapat, kalau mau ngasih, ngasih aja, mak gue biar lebih mampu ngurus gue, dan jangan gara-gara dibantu kemudian ngusir anak-anak. Ketika ditanya, bagaimana kalau nanti ada orang jahat, jawaban mereka; iya gue lawan lah (sambil tertawa).
Memang infrastruktur, fasilitas, dan pendampingan masih belum semua ramah anak. Tetapi dengan adanya HAN kita harus tetap memberi optimis ke generasi ini, dengan mengurangi ancaman di sekitar mereka.
Saya kira pesan komitmen ini yang harus sampai dari kita orang tua, pimpinan, pemda, pejabat, presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, RW, RT kepada anak anak. Mari memberi pesan positif dan optimis jelang Hari Anak Nasional, kalau perlu festival ini mengenalkan kepada mereka, negara ini tiap tahun menyelenggarakan hari anak dalam rangka mengakui eksistensi mereka
Bahwa menjawab fenomena Harajuku pada momentum HAN adalah kesempatan bersama-sama seluruh Indonesia bergerak untuk me-review kembali apa yang sudah dilakukan, apa yang baik, apa yang kurang, dan apa yang ingin jadi gerakan bersama ke depan.
Momentum HAN janganlah disia-siakan. Saya melihat masih banyak anak Indonesia tidak mengerti ada HAN. Padahal itu kewajiban orang dewasa menjelaskannya. Mereka punya hak dan kewajiban yang diakui negara ini. Sehingga sangat penting mereka tahu agar menjadi generasi pejuang dan kuat mental.
Ketika kita menantang diri untuk berinovasi dan berkreatifitas, pertanyaannya dimana tempat kreatifitas dan adrenalin tantangan, jawabannya ya adanya di anak-anak dan remaja. Untuk itu, ada baiknya semua kebijakan dan anggaran yang ada di berbagai level, memulai pentingnya memicu ruang, partisipasi, pelibatan aktif anak-anak. Agar Indonesia semakin kuat bersama mereka.
Salam Senyum Anak Indonesia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar