Rahmah El-Yunusiyyah Terbiasa Dilamun Ombak
(Wartawan Utama)
OPINI, potretkita.net - Syaikhah Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang, di usianya yang sangat belia. Baru 23 tahun!
Umur semuda itu, hampir-hampir tak masuk akal pada zamannya untuk bisa menjadi pendiri lembaga pendidikan sebesar Diniyyah Puteri. Apalagi, dia adalah seorang perempuan yang tak dibolehkan berkiprah di tengah-tengah masyarakat feodal dan terjajah.
Hasil karyanya yang luar biasa itulah, membuat Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, ‘terpaut hati’ kepada Rahmah. Di usianya yang ke-57 tahun, Rahmah dianugerahi gelar doktor anugerah honoris causa atau syaikhah oleh Al-Azhar. Rahmah menjadi satu-satunya perempuan di dunia yang memperoleh gelar tersebut.
Menelusuri sepak terjang Rahmah di belantara sejarah nasional dan dunia Islam, kita akan menemukan fakta bahwa Rahmah sudah terbiasa dilamun ombak, artinya, dia sudah sering dibenam olah beragam cobaan, onak duri dan tantangan. Tidak hanya dari penjajah Belanda, tetapi juga dari berbagai kalangan yang merasa tidak senang dengan apa yang beliau perbuat.
Rahmah dilahirkan di Padang Panjang pada 1 Rajab 1318 Hijriyah, bertepatan dengan 29 Desember 1900. Di tengah-tengah masyarakat Minangkabau tempat dia dilahirkan dan dibesarkan itulah, Rahmah berjuang keras dengan tiada mengenal letih. Perlu diingat, pada zaman itu, masyarakat Minangkabau dikenal kuat adat-istiadatnya.
Kini, Rahmah dikenang sebagai seorang perempuan yang dapat melebihi apa yang bisa dilakukan kaum lelaki di zamannya. Beliau berhasil mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan lewat perjuangannya di bidang pendidikan. Rahmah tidak saja berjuang di lapangan pendidikan, tetapi juga dalam bidang pertahanan negara, sosial, agama dan kemanusiaan.
Sayang sekali, hingga kini namanya belum tercantum ke dalam daftar pahlawan nasional Bangsa Indonesia. Padahal Rasuna Said, salah seorang muridnya, secara formal telah mendapatkan Keputusan Presiden (Keppres) RI yang memasukkan namanya ke dalam deretan nama pahlawan nasional tersebut.
Rahmah adalah wanita pejuang tiga zaman: Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang dan masa-masa sulit mempertahankan Kemerdekaan RI. Dibanding RA Kartini, Dewi Sartika dan Cut Nyak Dien, Rahmah memang sedikit lebih beruntung. Ketiga nama besar wanita pejuang Indonesia itu tidak bisa menikmati hasil perjuangannya, sementara Rahmah berkesempatan menyaksikan buah karya yang dirintisnya sejak usia muda.
SERIAL SEBELUMNYA
Doktor Fenomenal dari Universitas Al-Azhar Bagian 1
Doktor-doktor Fenomenal dari Al-Azhar Bagian II
Rahmah dapat menghayati apa yang dia perjuangkan selama ini, sehingga bisa secara berkesinambungan menyempurnakan cita-citanya hingga kemudian memenuhi panggilan Allah dan berpulang ke haribaan-Nya pada Hari Rabu, 9 Zulhijjah 1388 H/26 Februari 1969 M, sekitar pukul 19.30 WIB, di Padang Panjang.
Dalam buku 55 Tahun Diniyyah Puteri yang diterbitkan Ghalia Indonesia, Desember 1978, dinyatakan, Rahmah adalah pejuang bangsa yang turut merasakan bertapa pahitnya penderitaan kaum wanita di masa Penjajahan Belanda dan Jepang.
Buah dari apa yang diperjuangkannya, Rahmah berkesempatan menyaksikan adanya kaum perempuan yang diangkat menjadi menteri, pemimpin masyarakat dan agama, serta berkiprah di berbagai bidang kehidupan.
Rahmah dilahirkan oleh pasangan suami istri Rafi’ah dan Syekh Muhammad Yunus. Rafi’ah berasal dari Nagari Bukitsurungan Padang Panjang dengan suku sikumbang, sementara ayahnya adalah seorang ulama besar dengan jabatan kadi di Nagari Pandaisikek. Ayah Rahmah itu juga dikenal sebagai orang yang ahli di bidang ilmu falak.
Kakek Rahmah yang bernama Imaduddin, diketahui pula sebagai seorang pemimpin Thariqat Naqsyabandiyah yang sukses memberantas khurafat di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Imaduddin juga dikenal sebagai orang yang dengan gigih memberantas maksiat dan memberangus tempat-tempat maksiat.
Rahmah memiliki empat saudara, dua lelaki dan dua perempuan. Yang lelaki adalah Zainuddin Labay El-Yunusy, Mariah, Muhammad Rasyad, dan Rihanah. Zainuddin merupakan kakak tertua Rahmah.
Zainuddin pada zamannya dikenal sebagai seorang tokoh muda progresif yang berhasil mengubah perguruan Islam di Minangkabau menjadi perguruan agama modern. Zainuddin itu pulalah yang sangat berjasa atas upaya pembentukan karakter keperjuangan Rahmah, serta membuka matanya akan betapa pentingnya pendidikan. Inspirasi dari Zainuddin, dipetik Rahmah saat Zainuddin belajar di Diniyyah School.
Sama dengan kebanyakan perempuan di masa itu, Rahmah pun dinikahkan ketika masih belia, yakni berumur 16 tahun dengan seorang ulama dan dikenal berpikiran maju. Namanya adalah H. Bahauddin Latief yang berasal dari Nagari Sumpur, Tanah Datar.
Setelah mendayung bahtera rumah tangga sekitar enam bulan, pasangan muda Rahmah dan Bahauddin pun bercerai. Mereka belum sempat dikaruniai anak. Usai perceraian atas kehendak kedua belah pihak tersebut, Rahmah benar-benar mencurahkan perhatian dan tenaganya dalam berbagai lapangan kemasyarakatan, hingga kemudian dia berhasil mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar