TANAH DATAR, potretkita.net - Minangkabau dikenal sebagai daerah Islamis. Ungkapan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabbullah (ABS-SBK) sudah mengental di tengah masyarakat sejak sumpah satia Bukik Marapalam, setelah perang paderi.
Beberapa litelatur, menyabut ketika Seminar
Kebudayaan di Batusangkar tahun 1970, yang juga dihadiri Bung Hata dan Buya
Hamka, tertuanglah, bahwa syarat menjadi orang Minangkabau, harus beragama Islam dan mengakui bahwa nenek
moyangnya turun dari Gunung Marapi.
Buya Mas’oed Abidin, semasa jadi Ketua PPIM
(Pusat Pengakajian Islam Minangkabau), mengatakan, pada akhir tahun 1800,
Pemerintah Belanda mencatat di kepulauan
nusantara ini, terdapat sekolah partikulier terbanyak ada di
Minangkabau. Masa itu jumlahnya hampir seribu sekolah. Suatu hal yang
mencengangkan pada waktu itu.
Darimana datangnya angka sejumlah itu?
Jangan lupa, bahwa sekolah yang dimaksud
Belanda itu, adalah pengajian di surau-surau yang ada hampir di tiap nagari di
Minangkabau.
Surau dahulu itu, tidak sama dengan mushala
masa sekarang. Dahulu surau itu tempat belajar segala ilmu. Mulai dari ilmu
agama, berupa pembacaan Al-Quran dan pengetahuan agama lainnya, sampai pada
ilmu adat berupa sejarah dan pepatah-petitih. Termasuk juga ilmu bela diri silek
/ silat.
Lulusan surau inilah yang menjadi pemimpin
di nagari. Mereka yang tamat surau masa itu, paham dengan agama mengerti dengan
adat dan sangat peka dengan kehidupan sosial. Kalaupun mereka yang bergelar
datuk, maka orang juga menyebutnya dengan Ungku Datuk. Itulah kelebihan lulusan
surau.
Pengajian-pengajaian surau seperti itu,
yang dulu bertebar di nagari-nagari, semakin lama jumlahnya makin menciut. Dari
hampir seribu menjadi beberapa seratus. Kini barangkali hanya tinggala puluhan
di seluruh Minangkabau.
Salah satu yang tertinggal itu, kini ada di
Nagari Padang Magek, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Sekarang
namanya Pondok Pesantren Darul Ulum. Berdiri sejak tahun 1942. Hadiran
Pengajian Surau Baru itu di bawah asuhan Tuanku Salim Malin Kuning (1917-1987).
Mengaji di Surau Baru
Tersebut dengan nama Surau Baru, karena
sebelumnya di daerah sekitar telah ada
surau tempat mengaji, yaitu Surau Ateh Duyan (durian) atau disebut juga Surau
Lurah. Letaknya tidak jauh dari lokasi Darul Ulum saat ini.
Konon, kata masyarakat setempat, Surau Ateh
Duyan diperkirakan aktif beberapa puluh
tahun setelah Perang Paderi 1837. Masa
itu murid-murid yang datang ke sini ada
yang berasal dari Taluk Kuantan, Riau dan beberapa daerah di Jambi.
Di awal tahun 1900, gemerlap Surau Ateh
Duyan pudur. Sehingganya anak nagari Padang Magek yang lahir di awal tahun 1900
mencari surau ke nagari-nagari lain, sebagai tempat menuntut ilmu.
Salah seorang dari anak nagari Padang Magek
yang pergi mengaji itu adalah Salim yang kemudian bergelar Malin Kuning. Pertama
kali beliau diantar mengaji oleh mamak /
pamannya 1924 saat umur 7 tahun. Masa itu pertama mengaji Salim Malain Kuning
dengan Tuanku H. Legan di Singkarak,
Solok.
Kemudian berlanjut ke Suarau Belok di
Selayo, Kabupaten Solok. Kemudian
dia mengaji lagi dengan Tuanku Kali Tuo
di Tanjung Balik, Kabupaten Solok.
Kemudian pindah ke Surau Tuanku Lubuk Pua di Padang Pariaman. Berlanjut
lagi dengan Tuanku Mudo di Taluak Kuantan, Riau.
Beberapa waktu kemudian pindah ke Surau Tuanku Kuning di
Saruaso, Tanah Datar. Kemudian dengan Tuanku Bagindo di Sungai Sariak, Padang
Pariaman.
Pada tahun 1942, dalam usia 25 tahun,
Tuanku Salim Malin Kuning menetap dan menjadi Tuanku di Padang Magek. Sejak itu
pula, beliau mulai mengajar berbagai
ilmu agama di surau kaumnya yang ketika itu baru saja dibuat. Itulah Surau Baru yang hingga kini masih tegak
berdiri di lingkungan Ponpes Darul Ulum Padang Magek.
Sambil mengajar di surau baru 1942. Salim
Malin Kuning juga memperdalam ilmunya kepada
Tuanku H. Kahar di salah satu surau di Padang Magek. H. Khahar berasal
dari Taluk Kuantan, Riau. Masa itu H.Kahar menetap sampai meninggal di Padang
Magek. Makam H. Kahar ada di samping depan Masjid Tawakal, Padang Magek
sekarang ini.
Pasang Surut Murid
Dalam sejarahnya, pasang surut jumlah murid
di Surau Baru tetap saja terjadi. Semula di tahun 1942, murid di surau ini,
hanya empat orang, dua di antaranya yang tercatat hingga kini, yaitu: Ungku
Diar dari Nagari Aripan, Kabupaten Solok, Sumbar dan Ungku Abu Hanifah dari
Teluk Kuantan, Riau.
Kemudian pada tahun 1950-an, santri Darul
Ulum pernah mencapai sekitar seratus orang. Pada masa itu Tuanku Salim Malin
Kuning menamai perguruan / madrasah yang dipimpinnya dengan nama Madrasyah Darul Hafazah, yang berarti Kampung yang
Berkah atau Kampung yang Diberkahi.
Dulunya di depan surau baru itu, tergantung
papan putih dengan huruf Arab berwarna hijau berlapis merah kata kata: Madrasah
Darul Hafazah. Itulah yang menandaia bahwa sekolah ini ada.
Pada masa Bergolak PRRI 1957-1959, murid
kembali menciut. Tapi pada tahun 1960-an awal kembali ramai. Setelah Peristiwa
G 30 S PKI 1965 murid Surau Baru / Madrasah Darul Hafazah kembali berkurang. Setelah itu di awal tahun
1970-an kembali mencapai ratusan orang. Pada tahun 1980 pernah menciut
jadi 13 orang. Namun kemudian, tahun
berikutnya kembali meningkat jadi puluhan orang.
Pada tahun 1987, Tuanku Salim Malin Kuning
meninggal dunia. Pendidikan di Surau Baru dilanjutkan oleh murid murid beliau
yang sudah menjadi guru juga di Madrasah Darul Hafazah. Mereka antara lain:
Tuanku Ali Nuddin, Tuanku Kakan, Tuanku Mahyudin, Tuanku M. Nur, Tuanku
Iskandar dan Tuanku Anwar Sutan Marajo selaku komando terdepan.
Tuanku Anwar bersama-sama pemuka masyarakat
Padang Magek yang antara lain untuk menyebut nama: Ramli Taher, Zainal Abidin
Wahid dan Suhaili Yakkub, mencoba mengayuh biduk Surau Baru seperti yang
dilaukan Tuanku Salim Malin Kuning.
Awal Nama Darul Ulum
Ketika Tuanku Salim Malin Kuning sudah
meninggal dunia, Tuanku Anwar dan Tuanku
Iskandar mengganti nama Madrasah Darul Hafazah menjadi Pondok Pesantren Darul
Ulum Padang Magek.
Pada tahun 1994 Tuanku Anwar, yang mengajar
di Pesantren Darul Ulum diperkuat oleh Tuanku Jakfar Imam Mudo bersama
keluarga.
Sejak Tuanku Jakfar dan keluarga mengajar
di Pondok Pesantren Darul Ulum, murid murid makin bertambah.
Pada tahun 1993 H. Ampera Salim anak bungsu
Tuanku Salim Malin Kuning, bersama Tuanku Anwar Sutan Marajo, Ramli Taher Malin
Saidi dan Jamhur Datuk Cumano, mendirikan Yayasan Pendidikan Pembina Umat untuk
melindungi Pesantren Darul Ulum Padang Magek ini.
Seiring berjalan waktu, Tuanku Anwar Sutan Marajo, Ramli Taher Malin
Saidi dan Jamhur Datuk Cumano meninggal dunia.
Kemudian pada tahun 2018 Yayasan Pendidikan
Pembina Umat, berganti nama menjadi
Yayasan Darul Hafazah Mandiri, yang didirikan oleh H. Ampera Salim dan H.
Syahyuti Abbas. Yayasan inilah yang menawungi Pondok Pesantren Darul Ulum
Padang Magek hingga kini.
Sejak kedatangan Buya H Jakfar Tuanku Imam
Mudo, 1994, mengajar di Darul Ulum, pondok ini mulai menerima santri perempuan.
Makin Berkembang
Selaras dengan perkembangan jumlah santri,
pembangunan fisik Darul Ulum Padang Magek pun makin berkembang.
Kini Darul Ulum telah mempunyai dua buah
gedung besar. Bisa jadi aula dan sekaligus lokal tempat belajar. Salah satunya
bertingkat dua. Selain itu ada dua buah bangunan lagi tempat belajar. Satunya
tingkat dua, jumlah lokalnya empat. Satu lagi dua lokal tidak bertingkat.
Selain itu, Pondok Pesantren ini juga sudah
memiliki Mushalla tempat shalat berjamah santri lima waktu. Juga sudah
punya MCK dan BLK Komunitas belajar
menjahit, dan pustaka, yang sangat berguna bagi santri.
Semua yang ada di Darul Ulum ini, diperoleh
berkat bantuan perantau anak nagari Padang Magek, Para Donatur tidak
mengikat, Pemerintah Kabupaten Tanah
Datar dan Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat. Tentu saja terbanyak membantu Darul Ulum adalah Depertemen Agama dari
berbagai jajaran dari pusat sampai ke daerah.
Sama seperti mengaji di Surau Baru tempo
dahulu, sampai kini di Pesantren Darul Ulum Padang Magek, tidak dipungut
bayaran. Anak santri akan diterima oleh Guru Besar Darul Ulum H.Jakfar Tuanku
Imam Mudo dan pihak pengurus pondok dengan tangan terbuka, asalkan ada orang
yang mengantar menjadi walinya.
Untuk kehidupan sehari-hari, santri
mengumpulkan beras 20 liter dalam sebulan dan uang lauk pauk Rp. 80.000.
Kemudian iyuran bayar listrik Rp. 50. 000. Itu pun bagi yang sanggup. Bagi
keluarga yang tidak mampu, tak usah membayar.
Pihak pengurus akan mencarikan donatornya.
Sejauh ini yang belajar di Darul Ulum,
tetap diperlakukan sama. Tidak ada beda yang mampu dengan yang tidak mampu.
Mereka tidur di surau bersama-sama dengan guru guru. Memasak bersama-sama
dengan teman. Dan belajar bersama-sama dengan kawan-kawan.
Kini santri Ponpes Darul Ulum berjumlah
lebih kurang 350 orang. Semuanya diasuh Tuanku Jakfar Imam Mudo, yang dibantu
oleh 49 orang guru lainnya.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru guru, Ponpes Darul Ulum meluncurkan Air Zikir. Penjualan air ini kedepannya, diharap bisa menjadi jalan untuk menambah gaji guru guru, yang kini masih terbilang rendah.(AMPERA SALIM PATIMARAJO, anak bungsu Tuanku Salim Malin Kuning).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar