DOKTOR-DOKTOR FENOMENAL DARI AL-AZHAR (Bagian Keenam) - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

16 Desember 2022

DOKTOR-DOKTOR FENOMENAL DARI AL-AZHAR (Bagian Keenam)

Menyigi Upaya Rahmah Mendirikan Diniyyah Puteri


Laporan MUSRIADI MUSANIF

(Wartawan Utama/Insruktur Pelatihan Jurnalistik)

musriadi@gmail.com


OPINI, potretkita.net - Sebagaimana tertulis dalam catatan perjuangan Islam di dunia, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang yang kini sudah dikenal luas di seluruh dunia, Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan lembaga pendidikan itu ketika masih belia. Tepatnya di usia 23 tahun. Peristiwa bersejarah itu tercatat pada 1 November 1923.


KLIK DI SINI untuk membaca serial sebelumnya


“Rahmah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri tepat pada saat sejarah menghendaki, yaitu suatu masa di mana bangsa Indonesia haus akan perubahan untuk perbaikan nasib bangsa Indonesia, khususnya kalangan perempuan, yang terpuruk akibat penjajahan Belanda,” terang (alm) Prof. Dr. H. Fauzan, MA, yang saat berwawancara dengan penulis beberapa tahun silam, menjabat sebagai ketuga Dewan Pengawas Yayasan Rahmah El-Yunusiyyah, yang kini mengelola Perguruan Diniyyah Padang Panjang.


Namanya juga dalam kondisi terjajah, wanita Indonesia benar-benar dibuat bodoh dan terbelakang. Nyaris tak ada kesempatan yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjukkan jati diri mereka. Jangan kan untuk belajar di sekolah-sekolah formal yang dikelola pemerintah penjajahan, organisasi masyarakat dan kelompok-kelompok Islam, mengikuti kelompok-kelompok pengajian (halaqah) saja, kalangan perempuan tidak dibenarkan sama sekali.


Perempuan benar-benar tak diberi kesempatan untuk menuntut ilmu. Fakta demikian juga menjalar hingga ke pelosok nagari di Minangkabau yang dikenal kukuh memegang adat-istiadat. Adat lama pusaka usang, oleh masyarakat Minangkabau dijadikan salah satu alasan kuat untuk mengungkung kemajuan kalangan perampuan.


Dalam suasana begitulah, Rahmah tampil. Beliau tidak hanya berhadapan dengan rintangan kalangan  penjajah, tetapi juga dari masyarakatnya sendiri di Minangkabau. Sikap sinis, cimeeh dan ejekan selalu dipertontonkan masyarakat lingkungannya, tak terkecuali para tetua dan pemuka adat, tentunya.


Rahmah sesungguhnya menyadari, dalam usia yang masih belia, yakni 23 tahun, dia belum memiliki pengalaman yang cukup dalam hal mengelola organisasi, pendidikan dan ilmu pengetahuannya pun belum sebanyak kebutuhan zamannya.


Belum lagi dalam urusan permodalan. Rahmah tentu tidak punya uang dan harta yang memadai untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang akan menelan biaya besar.


“Bermodalkan cita-cita, kekerasan hati dan keyakinan yang kuat akan kebenaran yang dikerjakannya, dengan bepedoman kepada Alquran Surat Muhammad Ayat 1 yang artinya: jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolongmu pula, akhirnya Rahmah berhasil mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri yang kini telah berkembang pesat,” terang Fauzan.


Bila kita menelusuri sejarah berdirinya Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, sungguh kita tidak bisa melepaskan diri dari perjalan Diniyyah School, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan dikelola kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy, pada tanggal 10 Oktober 1915.


Diniyyah School, bukan hanya dari sisi metologi pembelajaran dianggap tidak sejalan dengan zamannya, tetapi juga nama yang dipakai. Pola pendidikan modern benar-benar dianggap tabu dan asing pada awal abad ke-20 tersebut. Nama Diniyyah School, mengkombinasikan Bahasa Arab dan Bahasa Belanda, juga dilihat ganjil oleh masyarakatnya.


Diniyyah School bukanlah untuk gagah-gagahan, bermegah-megah dan show. Diniyyah School adalah sebuah pernyataan sikap kepada masyarakat, umat Islam dan kaum adat, bahwa Diniyyah School adalah lembaga pendidikan agama Islam yang bercara modern.


Selain nama, apa yang dilakukan Zainuddin dengan menerima anak laki-laki dan perempuan untuk dididik di Diniyyah School, dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela dan tidak pantas. Jangan kan belajar dalam satu lokal antara anak laki-laki dan perempuan, bertemu saja kalau bukan muhrim, dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas.


Rahmah sebenarnya terdaftar sebagai murid di Diniyyah School. Namun, Rahmah tidak puas dengan pembelajaran yang diterima. Banyak harapannya tak bisa diperoleh dari Diniyyah School. Dalam sejarah ditemukan fakta, Rahmah juga belajar privat dan ikut kelompok pengajian (halaqah) bersama Abdul Karim Amrullah (ayah Prof. Dr. Hamka) di Surau Jembatan Besi dan Gatangan, Padang Panjang.


Dalam pandangan Rahmah, dalam kelas yang terdiri dari lelaki dan perempuan, ada banyak hal yang tak bisa terungkap dan diperbincangkan secara mendalam, baik sesama murid maupun antara murid dengan guru, yakni hal-hal yang menyangkut persoalan khusus perempuan.


Padahal menurut pemahaman Rahmah, persoalan keperempuan dalam Islam terlalu banyak yang mesti diperbincangan dengan mendalam tanpa diiringi rasa sungkan.


Selain karena persoalan teknis pembelajaran seperti di atas, Rahmah juga memprediksi, kalau sudah ada lembaga pendidikan khusus anak perempuan, maka besar kemungkinan, akan banyak kalangan perempuan yang bisa mengecap pendidikan.


Ia bercita-cita untuk membina suatu masyarakat Islam yang baik, berakhlak tinggi. Itu hanya bisa terwujud bila kalangan perempuannya berpendidikan. Ia menginginkan kalangan perempuan Indonesia berakhlak tinggi dan mampu mendidik anak-anak bangsa ini menjadi orang Indonesia yang baik.


Rahmah meyakini, baik dan buruknya perempuan bangsa ini menjadi orang Indonesia yang baik. Rahmah meyakini, baik dan buruknya perempuan Indonesia, tergantung kepada pendidikan yang nereka dapatkan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad