Sosok di Belakang KHA Dahlan Peletak Pondasi Pendidikan Muhammadiyah - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

22 April 2023

Sosok di Belakang KHA Dahlan Peletak Pondasi Pendidikan Muhammadiyah


JAKARTA, potretkita.net - Muhammadiyah didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan, biasa ditulis dengan KHA. Dahlan, pada 18 November 1912, di Yogyakarta.


Kini, memasuki ke-110 tahun, Muhammadiyah semakin kokoh dalam melaksanakan salah satu tujuan Republik Indonesia di dalam Preambule UUD 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


Lahan dakwah yang digarap Muhammadiyah amatlah beragam, sejak dari urusan aqidah dan ibadah, sampai kepada perkara muamalah. Persyarikatan Muhammadiyah sukses mengelola amal sosial, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan kemanusiaan.


Di bidang pendidikan tinggi, Muhammadiyah sudah memiliki 173 Perguruan Tinggi, sebanyak 82 diantaranya berbentuk universitas, yang tersebar di seluruh Indonesia serta satu di Malaysia.


Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan jumlah Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2023 yang berjumlah 183 PTN (125 PTN berada di bawah Kemendikbud Ristek, 58 PTN dibawah Kemenag).


Sedikitnya, hingga kini Muhammadiyah sudah memiliki Sekolah Luar Biasa (SLB) sebanyak 71 unit, TK/TPQ Muhammadiyah (4.623), SD/MI (2.604),SMP/MTs (1.772), SMA/SMK/MA (1.143), dan Pondok Pesantren (440).


Di balik perkembangan kuantitas lembaga pendidikan Muhammadiyah, kemudian ditambah dengan yang didirikan dan dikelola Aisyiyah, ternyata ada sosok selain KHA Dahlan yang meletakkan pondasinya. Sosok itu adalah Kiyai Hisyam bin Haji Hoesni.


Hisyam adalah murid KHA. Dahlan. Beliau terkenal cermat, teliti dan akuntabel. Dia adalah putra seorang wedana kelahiran Kauman, 10 November 1883.


Dalam catatan sejarah, Kiai Hisyam turut menemani perjuangan KHA Dahlan dalam meraih legalitas pendirian organisasi Muhammadiyah dari pemerintah Hindia Belanda.


Bersama H. Abdul Ghani, H.M. Syudja’, H.M. Fachruddin dan H.M. Tamimy, Kiai Hisyam ditunjuk oleh KHA Dahlan untuk menjadi anggota Boedi Oetomo, sebagai langkah paling awal dalam meraih dukungan formal pendirian Muhammadiyah.


Menurut muhammadiyah.or.id, Kiyi Hisyam seorang pengusaha batik dan abdi dalem keraton Yogyakarta. Beliau tercatat menjadi anggota redaksi Majalah Suara Muhammadiyah bersama KHA Dahlan, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito dan R.H. Hadjid, di bawah pimpinan H. Fachruddin.


Dari 1901 hingga 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda melaksanakan politik etis atau politik balas budi. Kebijakan ini terdiri dari tiga fokus: irigasi, emigrasi, dan edukasi.


Menurut Susan Abeyesakere dalam Jakarta: A History (1989), penerapan kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan, sebenarnya dicanangkan oleh Belanda sebagai penyedia tenaga kerja terdidik.


Terbukanya ruang bagi pribumi untuk mengikuti pendidikan atau menyelenggarakan pendidikan perlahan dimanfaatkan oleh Muhammadiyah.


Pada Rapat Anggota Muhammadiyah 17 Juli 1920 di Gedung Pengurus Utama (Hoofdbestuur) Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta, KHA Dahlan membentuk empat departemen pertama di Muhammadiyah beserta pemangku amanahnya, yakni Bagian Tabligh yang diketuai oleh Haji Fachruddin, Bagian Taman Pustaka dengan Haji Mochtar, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan Haji Syujak dan Bagian Sekolahan dengan Kyai Hisyam.


Memperoleh amanah di bidang sekolahan, Kiai Hisyam saat itu langsung menyampaikan visinya terkait target memajukan pendidikan bangsa dan pendidikan Muhammadiyah di masa depan.


“Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya.”


Pada tahun pertama berdirinya Muhammadiyah hingga satu dekade awal, Muhammadiyah telah memiliki puluhan sekolah. Ketika Kiai Hisyam memegang Bagian Sekolahan, pertumbuhan sekolah Muhammadiyah berkembang hingga berpuluh kali lipat.


Dalam usahanya mewujudkan ikrar yang telah dibacakan di depan pengurus Muhammadiyah, Kiai Hisyam dibantu Sosrosoegondo dan Djojosoegito, mulai membangun sekolah Muhammadiyah sesuai dengan pembacaan Kiai Dahlan terhadap tantangan zaman.


Muhammadiyah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool) desa dengan persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu Muhammadiyah membuka vervolgschool sekolah sambungan untuk ke SR, Sekolah Rakyat.


Ketika Belanda membuka standaardschool enam tahun, maka Muhammadiyah menirunya pula. Termasuk menyamai usaha para misionari Katolik pada sekolah Al Kitab, Hollands Indlandse School met de Bijbel dengan sekolah Al Quran Hollands Inlandse School met de Qur’an milik Muhammadiyah.


Menariknya bahasa pengantar yang digunakan pada sekolah Muhammadiyah tersebut adalah bahasa Belanda. Hal ini berbeda dengan kebanyakan Sekolah Ongko Loro (kelas dua) yang disediakan oleh Belanda untuk warga desa dengan memakai pengantar bahasa daerah setempat.


Dua belas tahun menjabat Bagian Sekolahan, di akhir masa kepemimpinan Kiai Hisyam di Bagian Sekolahan pada 1932, Muhammadiyah telah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 HIS dan 25 Schakelschool.


Setelah berhasil meletakkan batu pijakan bagi pengembangan sekolah Muhammadiyah di Bagian Sekolahan, Kiai Hisyam terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah ke-3 pada 1932-1936.


Atas prestasinya tersebut, pemerintah Belanda merasa terbantu. Kiai Hisyam pun mendapat penghargaan Bintang Jasa dari Kerajaan Belanda bernama Ridder van Oranje Nassau. Gelar ini merupakan gelar ksatria atas jasa/kiprah signifikan pada kehidupan sosial di tingkat regional atau nasional.


Tiga bulan menjelang deklarasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya 20 Mei 1945 Kiai Hisyam menghadap ke rahmatullah dalam usianya yang ke-62 tahun.(musriadi musanif, dari muhammadiyah.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad