Taufiq Ismail Tetap Berkarya untuk Indonesia - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

25 Juni 2021

Taufiq Ismail Tetap Berkarya untuk Indonesia

TANAH DATAR, POTRETKITA -- Penyair nasional kebanggaan Sumatera Barat; Dr. Taufiq Ismail Dt. Panji Alam Khalifatullah, Jumat (25/6/2021), ini genap berusia 86 tahun. Ribuan karyanya telah memaknai kehidupan umat manusia, sejak dari Indonesia hingga mancanegara.

Taufiq Ismail dan istri; Ny. Ati Taufiq

‘’Alhamdulillah, beliau sehat dan tetap aktif berkarya untuk kemajuan dunia sastra, kebudayaan, dan pendidikan di Indonesia,’’ ujar Ny. Ati Taufiq, istri Taufiq Ismail melalui pesan singkat lewat aplikasi Whatsapp dari Jakarta, tadi pagi.


Ati menyebut, berhubung saat ini pandemi Covid-19 masih belum terkendali sepenuhnya, maka pihaknya tidak menyelenggarakan perhelatan khusus. Kita hanya berdoa dan bersyukur kepada Allah atas rahmat kesehatan dan umur yang diberikan-Nya.


Dengan situasi pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah untuk memutus rantai penularan Covid-19, Taufiq tetap berupaya memberi pencerahan dan menghiasi negeri ini, dengan karya-karya yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan, moral, dan berkarya untuk merawat Indonesia.


Buku kumpulan puisinya berjudul Debu di Atas Debu amat populer dan fenomenal di tingkat dunia, sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia, di antaranya Bahasa Inggris, Arab, Belanda, Perancis, Jerman, Persia, Rusia, Korea, Jepang, Cina, dan lain-lain.


Terakhir, buku itu diterjemahkan pula ke Bahasa Turki. ‘’Alhamdulillah, peluncuran buku juga langsung dihadiri Uda Taufiq di Turki pada April lalu,’’ sebutnya.


Taufiq Ismail adalah putra kedua pasangan Tinur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek dengan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Jambu Air, Bukittinggi. Putra pertama pasangan ini bernama Taufiq Ismail, dilahirkan di Pekalongan pada 2 Februari 1934. Seminggu kemudian, Taufiq Ismail bayi ini meninggal dunia.


Ketika hamil kedua, Tinur dipanggil oleh ibu dan mertuanya di Pandai Sikek dan Jambu Air, agar melahirkan di kampung halaman. Akhirnya, pada 25 Juni 1935, wanita yang merupakan tamatan pertama Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang itu melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat.


Kabar kelahiran putranya disampaikan Tinur kepada suaminya di Pekalongan, sekalian menanyakan nama yang akan dilekatkan pada bayi yang baru lahir tersebut. “Bernama nama Taufiq pada anak kita,” jawab A. Gaffar Ismail  yang merupakan alumni Perguruan Thawalib Parabek melalui telegram.


Jan diagiah namo anak nan alah mati. Singkek umuanyo baiko (jangan diberi nama anak yang sudah meninggal dunia. Nanti umurnya singkat),” demikian reaksi yang muncul menyatakan ketidaksetujuan atas nama yang diberikan ayahnya, karena dianggap bayi ini akan cepat menyusul abang sulungnya yang meninggal dunia.


Reaksi itu pun kembali dilaporkan ke Pekalongan. Telegram balasan datang: “Tetap nama anak kita Taufiq. Allah yang menentukan panjang pendek umur, bukan nama.”


Demikianlah. Rasa tauhid dalam praktek kehidupan disampaikan kepada masyarakat, melawan tahyul dan tradisi yang tidak Islami. Kendati dikhawtirkan berumur singkat karena memakai nama anak yang telah meninggal, namun faktanya menunjukkan bukti lain, bayi itu kini telah berusia 86 tahun.


Taufiq Ismail menjalani pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Solo, Semarang dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, SMA di Pekalongan dan Whitefish Bay, Wisconsin, Amerika Serikat. Dia bercita-cita menjadi sastrawan sejak kecil, dan untuk menopang nafkah sebagai sastrawan, dia ingin memiliki usaha peternakan.


Karena itu, dia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia (kini bernama Institut Pertanian Bogor), tamat tahun1963. Taufiq ternyata gagal jadi pengusaha ternak, tetapi berjasil menjadi penyair.


Taufiq adalah salah seorang pendiri majalah sastra Horison pada tahun 1966. Taufiq tercatat sebagai seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1968. Dia telah menulis puluhan judul buku sastra sejak tahun 1966. Bersama Himpunan Musik Bimbo, Ian Antono, Chrisye, Dwiki Darmawan dan lain-lain, Taufiq telah menelorkan seratusan judul lagu.


Sebagai akumulasi kegiatannya meningkatkan budaya baca buku dan kemampuan menulis generasi muda bangsa Indonesia dua dasawarsa belakangan, akhirnya pada Desember 2008 Taufiq bersama istrinya Ati Ismail mendirikan Rumah Puisi di Nagari Aia Angek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar.


Beliau banyak menerima anugerah gelar sebagai sastrawan, di antaranya berasal dari pemerintah Republik Indonesia, Australia, Thailand dan Malaysia.


Taufik meraih gelar doktor honoris causa Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2003 dalam pendidikan sastra, dan dari Universitas Indonesia pada tahun 2009 dalam bidang sastra.


Bersama delapan tokoh masyarakat lainnya, Taufiq Ismail juga mendapat anugerah gelar Tuanku Pujangga Diraja dari Kerajaan Pagaruyung pada tahun 2009 ini, sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam karya sastra.


RUMAH PUISI

Taufiq Ismail terlibat perbincangan serius dengan Dato' Seri Anwar Ibrahim di Rumah Puisi

Untuk mengangkat nama besar Minangkabau di dunia kepenyairan nasional, Taufiq bersama Ny. Ati mendirikan Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar.


Kehadiran Rumah Puisi itu, menurut Taufiq, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keprihatinannya terhadap model pengajaran sastra di Indonesia. Keprihatinan itu kemudian diterjemahkan bersama sang istri, Ati Taufiq Ismail, dalam bentuk mendirikan rumah puisi tersebut.


Dari sini, diharap bisa menyebarkan kembali semangat membaca dan menulis di kalangan generasi muda. Puluhan penyair, pejabat, dan sastrawan dari berbagai negara telah berkunjung ke Rumah Puisi.


Rumah Puisi mulai beroperasi penuh sejak Desember 2008. Wadah ini  tumbuh dari pengalaman kolektif dirinya bersama Tim Redaktur Majalah Sastra Horison dan sastrawan se-Indonesia, dalam rentang waktu sepuluh tahun membawa sastra ke sekolah, yakni dari tahun 1998 hingga 2008.


Kendati namanya lekat dengan puisi, akan tetapi aktivitasnya tidak semata-mata menyangkut puisi saja. Rumah Puisi telah sukses menjadi tempat berlatih membaca dan menulis sastra, tempat berdiskusi para sastrawan, pusat pendidikan dan pelatihan bagi guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia, berhimpun dan mendidik anak-anak sekolah untuk belajar menulis karya sastra, serta perpustakaan yang mengoleksi lebih dari 10 ribu eksemplar buku-buku milik Taufiq Ismail.


Taufiq pernah menyatakan, dalam kaca mata para sastrawan ada masalah serius dalam sistem pengajaran sastra di sekolah-sekolah Indonesia, terutama terkait dengan membaca, menulis, dan apresiasi sastra. Masalahnya telah terdeteksi sejak lama.


Dikatakan, kata hati dan ‘protes sastrawan’ itu baru mendapat respon yang cukup berarti ketika posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dipegang Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. Sambutan positif Wardiman, tegasnya, didukung pula oleh salah seorang ilmuwan asal Minangkabau yang pernah menjadi Wakil Menteri Pendidikan RI, Prof. Dr. Fasli Djalal.


Kedua orang itu, sebut Taufiq, dipandang sebagai sosok yang berjasa terhadap pengembangan metodologi pengajaran sastra di sekolah, sekaligus melakukan reformasi dan reformulasi sistem berdasarkan hasil kajian dan penelitian sejumlah sastrawan nasional dengan melakukan perbandingan terhadap kemampuan membaca, menulis dan mengapresiasi sastra para siswa di mancanegara.


Para guru sastra dan segenap elemen terkait dengan pengajaran sastra di sekolah, menurutnya, setidaknya perlu memahami, mendalami dan menerapkan tujuh cara pandang baru dalam pengajaran sastra, di antaranya pengajaran sastra haruslah dilakukan dengan cara mengasyikkan, nikmat, gembira dan mencerahkan.


Berikutnya, siswa membaca langsung karya sastra, perpustakaan sekolah harus kuat, kelas mengarang mesti menyenangkan, aneka ragam tafsir harus dihargai, serta teori, defenisi dan sejarah sastra hanya dijadikan informasi sekunder.


“Yang paling urgen itu pengajaran sastra mesti dijadikan sebagai ajang menyemaikan nilai-nilai luhur, di antaranya keimanan, kejujuran, ketertiban, pengendalian diri, tanggung jawab, kebersamaan, kerja keras, optimisme, mengharga nyawa manusia dan seterusnya,” terang Taufiq.


Nilai-nilai luhur itu, tekannya, sesungguhnya menjadi sesuatu yang amat prinsip serta tidak pantas untuk ditawar-tawar. Sebab, apapun mata pelajaran yang diberikan, bila gagal menanamkan nilai-nilai luhur, maka dapat dipastikan pendidikan telah gagal menunaikan tugasnya. “Agaknya, inilah yang kemudian disebut-sebut orang dengan istilah pendidikan karakter,” sebutnya.


SELAMAT ULANG TAHUN KE-86 BAPAK TAUFIQ ISMAIL, SEMOGA SENANTIASA MENDAPAT BERKAH PANJANG USIA, SEHAT, DAN TERUS BERKARYA UNTUK INDONESIA...(MUSRIADI MUSANIF, wartawan utama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad