POTRET KITA – Pernah terjadi dahulu di Ranah Bundo. Tatkala rancangan Peraturan Daerah (perda) tentang maksiat masih dalam pembahasan di lembaga legislatif. Nampak sekali betapa derasnya keinginan eksekutif dan legislatif, untuk memberangus beragam ‘penyakit malapetaka’ umat di negeri ini.
Banyak orang yang mengatasnamakan rakyat memprotes. Tapi lantaran keinginan itu menghadirkan payung hukum itu demikian deras, maka protes dijadikan sekadar pelengkap wacana saja. Cukup untuk didengar saja, masuk dari kuping suok, keluar dari kuping kida.
Lalu yang kemudian apa yang terjadi, setelah ranperda itu ditetapkan menjadi perda? ‘’Buatlah peraturan itu banyak-banyak. Kan ‘proyek’ pula bagi orang-orang yang berprofesi khusus mempersiapkannya. Jalan atau ndak jalannya peraturan, itu urusan belakangan. Kita lihat nanti sajalah,’’ sebut Muncak membuka obrolan hangat di suatu pagi. Dulu…sudah agak lama jugalah!
Muncak, sang komandan besar paguyuban buru babi di kampung itu, memang jarang berkomentar di lepau. Dia lebih acap diam. Tapi untuk nan sekali ini, memang sedikit di luar kebiasaan. Justru Muncak yang mulai mengambang ota.
Pembahasan soal ‘penyakit malapetaka umat’ yang kemudian berubah nama menjadi pekat (penyakit masyarakat) itu, rupanya telah memancing seleranya untuk ‘bacarito lamak’ di pagi yang masih berembun tipis tersebut.
Pekat itu memang banyak ragamnya. Tapi yang paling populer adalah soal perjudian, minuman keras, dan pelacuran. Tiga serangkai pekat, namanya!
Nah, terang Muncak tambah bersemangat, untuk ketiga jenis pekat itu dapat dikatakan selalu seiring sejalan. Tiga serangkai dan terkebat erat. Kalau sudah dapat berjudi, tak lamak pula kalau tak diiringi dengan mabuk. Bila telah mabuk, kurang cocok pula kalau tak disempurnakan dengan yang nomor tiganya.
‘’Akur. Setuju. Itu pulalah sesungguhnya yang kerap meruyak di negeri ini. Dari kampung sampai ke kota. Acap dirazia aparat Satpol Pamong Praja dan polisi. Minuman keras penyebab mabuk disita dari kedai-kedai. Penjudi dibawa ke kantor polisi. Pekerja Seks Komersil (PSK) juga ditangkap. Beberapa orang diantaranya diantarkan ke panti khusus Andam Dewi,’’ lanjut Muncak.
Lalu apa yang kemudian terjadi? Semakin acap dirazia, kian ditangkapi. Eh, malah tambah menjadi. Ibaratnya, gugur satu tumbuh seribu
‘’Nampaknya, hukum ekonomi berlaku di sini, selagi masih ada orang yang akan membeli, pedagangnya tetap ada. Selagi masih ada yang butuh fasilitasi perjudian, mabuk-mabukan, dan bermain PSK, maka akan ada saja yang ‘manjojokannya’,’’ imbuhnya.
Tak boleh di pinggir jalan, tempat-tempat karaoke, dan hotel, biarlah….Beralih kita ke virtual, online, dan media sosial. Ah, kalau sudah begini, perda pekat itu perlu direvisi lagi. (*)
Penulis: Musriadi Musanif (Wartawan Utama)
(Artikel ini terbit di Harian Singgalang, Edisi Minggu 2 Maret 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar