Pemahaman Literasi Jihad di Kalangan Remaja Rendah - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

22 Juli 2021

Pemahaman Literasi Jihad di Kalangan Remaja Rendah

JAKARTA, POTRETKITA.net -- Tiga akademisi dari tiga perguruan tinggi berbeda menemukan fakta, membaca literasi jihad di kalangan milenial tidak berdampak sigfnifikan dalam membentuk cara pandang mereka, terutama terkait dengan pemaknaan jihad dan terorisme.

ilustrasi bengkulutoday.com

Ketiga akademisi itu adalah Suhardin dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Nurhayati dan Universitas Tadulako Palu, dan Ahmad Hunen dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Publisistik Thawalib Jakarta, sebaaimana dilansir dari hasil penelitian mereka yang dipublikasikan melalui Jurnal Syntaxliterate.


''Hasil   temuan   penelitian   terlihat,   pengaruh   literasi   jihad   terhadap goodlooking intention tidak  signifikan, karena memiliki  pengaruh  rendah, yakni  0,22  dengan determinasi  04,84 persen,  keinginan  kaum milenial terlibat  dalam  gerakan good looking hanya dipengaruhi oleh literasi jihad sebesar 04,84 persen. Sangat kecil,'' kata Suhardin kepada PotretKita.net, Kamis (22/7).


Menurutnya, kaum milenial memiliki  intensitas  rendah  dalam  melakukan  literasi  jihad, yakni hanya berkisar pada   angka   rata-rata = 57,30,   median = 51,16,   dan   mode   mode = 50,   pada umumnya berada di bawah rata-rata, hanya sebagian kecil yang di atas rata-rata, hal ini memperlihatkan  bahwa  literasi  jihad di kalangan milenial tidak  menjadi  budaya  yang kondusif.


Suhardin menjelaskan, bacaan yang diberikan kepada mereka pada umumnya bacaan yang sudah dipersiapkan oleh mentoring-nya,  sehingga  ia  berkorelasi  signifikan  dengan  kerangka berpikir  dan  pemahaman  terhadap  efinisi,  pengertian, dan  paradigma  jihad  dalam pikiran  mentoring  tersebut,  hal  ini  dibuktikan  dengan koefisien  korelasi  yang  sangat signifikan sebesar 0,42 dengan koefisien determinasi 17,47 persen.


Artinya, katanya, pemahaman jihad yang  melekat  dalam  otak  para milenial dipengaruhi  oleh  bahan bacaan  yang  diberikan mentoring untuk brainwashing (cuci  otak)  sebesar  17,47 persen  dan  hal  ini  berpengaruh kepada goodlooking  intention sebesar  25,10 persen  persen.  Hubungan  pemahaman  jihad dengan keinginan bergabung dengan gerakan (goodlooking intention) sangat signifikan pada koefisien korelasi 0,50.


Goodlooking intention dipengaruhi oleh pemahaman jihad yang sudah dibangun oleh mentoring melalui kegiatan brainwashing. Temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa literasi jihad remaja rendah, sehingga mudah dirasuki oleh pemahaman jihad yang keliru dari berbagai media, terutama yang disuguhi  oleh  gerakan  tertentu  menjadikan  remaja  sebagai  target goodlooking yang  ditugaskan  menjadi guidence, movement,  dan  langsung  menjadi  penganten.


Temuan  dan kesimpulan yang didapat pada penelitian ini, peneliti menyarankan kepada Kementerian Agama  Republik Indonesia  (Kemenag RI) untuk  banyak  berperan  dalam  memberikan  pemahaman keagamaan   masyarakat   yang   benar   dengan mengoptimalkan   kegiatan   penyuluh keagamaan  yang  ada  pada  Kantor  Urusan  Agama  (KUA di  kelurahan.


Kepada  organisasi kemasyarakatan   Islam,   Majelis   Ulama   Indonesia,   lebih   kuat   lagi memberikan pemahaman washatiyatul Islam, Islam Moderasi, Islam Berkemajuan, Islam Nusantara, agar  pemahaman  keberagamaan  masyarakat  benar-benar  tergali  dari  sumber aslinya dengan manhaj yang tepat, benar, akurat dan berdasar. Agar remaja terhindar dari impor pemahaman  yang  keliru  tentang  agama  dan  keagamaannya,  dirasuki  oleh  pemahaman terkait  dengan  permasalahan  sosial  dan  politik  kebangsaan,  membuat  remaja  bersedia ikut bergabung dalam gerakan jihadis yang keliru.


Di sisi lain, Suhardin menyebut, radikal dan gerakan radikal di dunia global dan di Indonesia, nyata adanya, bukan isu   bukan   hoax,   tetapi   sebuah   fakta   yang   dapat   dilihat   dan  diamati   secara fenomenologis.  Tentu  ia  tidak  berdiri  sendiri  dalam  sebuah  ruang  yang  kosong,  ia berkelit  kelindan  dengan  permasalahan  sosial,  politik  dan  budaya  yang tengah  dialami oleh  bangsa  Indonesia  dan  situasi  politik  internasional. 


Keterbatasan  pengetahuan  dan keterbatasan  pemahaman  terhadap sesuatu  objek  permasalahan,  apakah  itu  agama, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi, membuat seseorang kaku dalam bersikap dan  tumpul  dalam  bertindak.  Pengetahuan  dangkal  dan  pemahaman  yang  sempit menutupi   pandangan   dan   penerawangan   pada  permasalahan  yang   lebih   luas   dan komplek, ia terkubur dan terbelenggu pada pemikiran yang sempit, ruang lingkup yang sumpek,  dan  ledakan  emosional  yang  tempramental.


''Hal  inilah  bentuk  nyata  dari fenomena  sumbu  pendek  pada  kalangan milenial.  Ia  hanya  menerima  yang bersifat pengetahuan  doktrinal,  tidak  boleh  belajar  dengan  guru  yang  lain.  Pengetahuan  yang diajarkan  oleh  gurunya  mutlak  kebenaran,  tidak  perlu  dikonfirmasi  dengan  guru  yang lain,'' katanya.


Bacaan yang diterima sesuai dengan kitab yang dianjurkan oleh guru, tidak boleh dikonfirmasi dengan bacaan lain, referensi lain, buku dan kitab yang lain. Segala bentuk pengetahuan,  paham,  ajaran,  informasi  yang  berbeda  dengan  yang  diajarkan  dan  kitab yang dibaca, semuanya adalah salah.(mus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad