JAKARTA, POTRETKITA.net - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Jasra Putra, M.Pd menegaskan, tidak ada yang salah dari orang tua menyerahkan anak ke pesantren atau sekolah asrama berbasis keagamaan, pendidikan keagamaan dan layanan keagamaan lainnya, karena bertujuan sangat mulia.
''Pesantren dan sekolah asrama berbasis keagamaan lainnya, harus tegas tegak lurus posisinya tidak melindungi pelaku kekerasan dan kejahatan seksual. Untuk itu, lembaga pendidikan dan layanan pendidikan berbasis keagamaan, sudah selayaknya memiliki komitmen tinggi kepada cita cita mulianya,'' kata Jasra.
Menurutnya, mereka yang melanggar cita-cita mulia itu, haruslah memiliki konsekuensi sangat berat. Karena itu bukan cita cita pesantren, sekolah, layanan pendidikan berbasis keagamaan.
Dalam salah satu artikelnya yang diterbitkan potretkita.net, Jasra menyatakan, angka peristiwa kejahatan seksual belakangan ini menjadi kegetiran kita semua. Relasi yang tidak imbang antara pelaku dan korban juga menggeramkan banyak orang. Sepertinya, kata dia, tidak ada yang mampu berbuat lebih, dengan barisan korban yang begitu banyak, bahkan ada yang memilih bunuh diri (NWR) sebelum mendapat keadilan.
Sebegitu timpangkah perlakukan hukum di mata para korban, sehingga tidak ada keberanian melawan malah memutuskan bunuh diri. Begitu juga kisah di Bandung yang berlangsung dalam rentang 2016 – 2021 sampai tidak ada yang bisa mendeteksi dan melapor, padahal sudah lahir bayi-bayi. Ada apa dengan orang tua para korban di Bandung? Apalagi diketahui pelaku mempunyai jabatan dan kedudukan yang tentu segala kiprahnya menjadi perhatian publik di sekitarnya, tapi publik seperti dibungkam?
BACA JUGA : Negara Harus Berbuat Lebih dengan Maraknya Kejahatan Seksual
Pembuktian terbalik dari pertanyaan pertanyaan ini mengundang tanda tanya besar. Sebegitu misteriusnya kisah kisah dibalik peristiwa kejahatan seksual. Apakah polisi, jaksa dan hakim perlu upaya ekstra mengungkapnya, agar pelaku terjerat hukum dan benar-benar tuntas. Dan korban baik yang masih hidup dan meninggal mendapat keadilan agar tidak meninggalkan korban satupun, di balik kisah ini.
Seperti yang KPPPA sampaikan, diduga ada 15 korban, dibanding yang beredar di publik ada 12 korban. Banyak sekali peristiwa yang masih membingungkan kita, mengundang daya nalar dan pemikiran kita, apa motif yang sesungguhnya dari pelaku. Jangan jangan ini bukan kejahatan seksual yang berdiri tunggal, tetapi terkait menjalankan bisnis dan program. Artinya bila sampai disini, maka akan banyak yang terjerat.
''Tentu situasinya sangat menjadi perhatian publik, dengan rentetan kisah yang masih menjadi misteri. Seperti kisah di Bandung, bagaimana santri bisa bertahun tahun menjadi korban yang berkepanjangan. Tanpa terdeteksi oleh regulasi pengawasan, tanpa orang tua korban melapor, tanpa tersentuh. Sedangkan eksploitasi seksual dalam rangka pesantren, menjadi kedok untuk memajukan usaha pelaku sudah berlangsung lama, bahkan ada 8 bayi, 2 santri hamil akibat perbuatannya,'' kata aktivis muda asal Pasaman Barat itu.(musriadi musanif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar