KPAI Apresiasi Pengadilan atas Vonis Mati Perudapaksa 12 Santriwati - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

05 April 2022

KPAI Apresiasi Pengadilan atas Vonis Mati Perudapaksa 12 Santriwati

JAKARTA, POTRETKITA.nt - Vonis hukuman mati terhadap HW, seorang pelaku rudapaksa 12 orang santri, oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, mendapat apresiasi dari KPAI. Peristiwa ini memberi harapan baru perubahan paradigma penanganan perlindungan anak.

ilustrasi dari solopos.com
"Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas permohonan hukuman mati kepada pelaku rudapaksa 12 santriwati Bandung. Putusan ini tentunya menjadi tonggak sejarah penting untuk Indonesia, dalam memberikan efek jera hukuman maksimal, sekaligus edukasi di masyarakat. Tentunya kita penting menjawab maraknya media memberitakan anak anak korban kejahatan seksual yang terus terjadi. Dengan mengurangi jumlah peristiwa, dampak dan resikonya," ujar Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Jasra Putra, M.Pd.


Saya kira, tegasnya, kinerja majelis hakim sangat diapresiasi para korban dan keluarganya yang telah menunggu lama putusan ini. Seraya berharap putusan tersebut juga bisa menjadi yurisprudensi hukum para korban untuk kasus yang sama. 


Menurut Jasra, putusan tersebut juga memperbaiki putusan sebelumnya, yang awalnya restitusi dibebankan ke negara, kini di bebankan kepada pelaku, dengan merampas segala aset yang dimiliki. Tentunya keberpihakan yang tinggi dari majelis hakim untuk ke 23 korban sangat perlu diapresiasi, karena umumnya korban kejahatan seksual akan dihantui trauma dan penderitaan sepanjang hidupnya, yang sangat perlu diantisipasi negara.


Jasra yang membidangi Divisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi (Wasmonev) KPAI itu menjelaskan, naik banding ini disampaikan JPU ke Pengadilan Tinggi, setelah sebelumnya putusan Pengadilan Negeri Bandung memberikan hukuman maksimal kepada HW dan restitusi yang dibebankan ke negara. 


"Hukuman Mati dalam kekerasan seksual memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, khususnya Pasal 81 Ayat 5 tentang penegasan bila anak korban kejahatan seksual lebih dari satu orang, yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun," tuturnya.


Meski terdapat perbedaan cara pandang di masyarakat tentang pemberlakukan hukuman mati dan hukuman maksimal, namun menurut aktivis muda asal Pasaman Barat itu, keduanya memberi perhatian pada efek jera dan pemaksimalan hukuman, serta edukasi di masyarakat, bahwa tidak ada ruang sedikit pun untuk pelaku kejahatan seksual di negara ini.


"Saya kira ini memperlihatkan kepada para pelaku dan yang berniat menjadi pelaku kejahatan seksual anak, bahwa undang-undang pemberatan hukuman maksimal berada di ruang yang hidup, bahwa secara dinamis kondisi para korban menjadi perhatian majelis hakim, meski sudah ada putusan sebelumnya. Bahwa perkembangan korban sebagaimana bunyi aturan tersebut, dapat mengubah putusan di tingkat pengadilan yang lebih tinggi," tegasnya. 


Menurutnya, beberapa waktu belakangan, kasus kekerasan seksual menjadi fenomena kekerasan yang muncul beritanya bertubi-tubi di negeri ini, menunggu putusan-putusan yang tegas baik hukuman maksimal maupun hukuman mati.


Sebagaimana diberitakan, alih-alih alasan berjuang untuk pesantren, HW justru menggunakan izin operasional, amanah mendidik anak untuk belajar agama, amanah para wali santri, untuk membenarkan aksi kejahatannya bertahun tahun. 


Dari ungkapan bukti-bukti di persidangan, kata Jasra, ada modus pelaku untuk mengembangkan usaha melalui hasil kejahatan luar biasanya, yang dilakukan secara berulang=ulang kepada 12 santriwati. Tidak hanya itu, pelaku juga sudah merencanakan pengembangan usaha melalui hasil kejahatannya, dengan terlahirnya sembilan bayi dari rudapaksa tersebut. 


Tentunya sebagai pimpinan, tenaga pendidik, pendiri beberapa lembaga pendidikan, figur  moral berbasis agama HW sangat sadar sesadar-sadarnya melakukan kejahatan tersebut. Bahkan disayangkan kejahatan yang tidak diketahui tersebut, tegasnya,  menempatkan pelaku menjadi Ketua Kelompok Kerja Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS), yang jejak digitalnya dapat dilihat dengan mudah di website resmi Kementerian Agama. Hal tersebut menjadi kedok pelaku dapat dengan mudah bertemu pejabat negara. 


"Bahkan dikabarkan sebenarnya, lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya sudah didatangi pengawas, namun dapat berlindung di balik kedok posisi penting tersebut. Tentu sangat disayangkan, tidak ada mekanisme pencegahan dan deteksi atas perilaku kejahatannya, yang menyebabkan berdirinya beberapa lembaga pendidikan dan jatuhnya para korban," jelasnya.


Jasra mengatakan, bertahun-tahun lamanya kejahatan HW, tentu menjadi sangat penting untuk dunia pesantren segera berbenah, untuk mulai bergerak melawan kejahatan seksual di dalam pesantren. Bahwa relasi kuasa membayangi anak=anak yang dapat memahami secara salah tenaga pendidiknya. Sehingga pesantren harus berani merubah diri, dengan mulai menyampaikan batasan batasan penting yang harus dilakukan, antara hubungan guru dengan santri.(musriadi musanif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad