Oleh Dr. Suhardin, M.Pd
(Dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta/Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
ESENSI puasa membentuk kepribadian muttaqien (QS 2 ayat 183). Orang yang senantiasa memberi pada kondisi penghasilan tengah surplus atau lagi kondisi minus (philanthrope), memiliki pengendalian diri yang baik (self defense mechanism), sehingga senantiasa memberikan maaf terhadap orang yang memberikan perlakukan tidak menyenangkan terhadap dirinya (openess personality). (QS (3) ayat 124). Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin).
Manusia, menurut Sigmund Freud, dalam membangun kepribadian memiliki elemen dalam bentuk Id kenikmatan dan kesenangan, Ego kesadaran dan tanggapan dan Super-Ego penilaian. Pada manusia memiliki kehendak, keinginan terhadap hal-hal yang memberikan kenikmatan dan kesenangan, bersumber dari perut dan faraj (di bawah perut).
Keinginan tersebut difasilitasi oleh saraf untuk mendapatkannya, disinilah fungsi ego pada diri. Upaya mendapatkan tersebut dilakukan dengan cara tertentu, dalam pertimbangan standar nilai, inilah kerja super-ego. Super ego yang dikalahkan oleh id dan ego menghasilkan keburukan, dalam agama disebut dengan fahsa dan munkar. Super ego yang mengalahkan id dan ego menghasilkan kebaikan (ihsanan).
Super-ego dalam diri manusia perlu penguatan dengan menjalankan berbagai latihan, sehingga ia dapat mengendalikan id dan ego. Penguatan dan pendalaman spiritualisasi dengan melakukan paket tertentu yang dapat menyangga dan menopang bangunan super-ego membuat manusia menjadi senantiasa tertuju kepada kebaikan.
Puasa satu diantara paket peribadatan yang sangat efektif pada manusia untuk menguatkan super-ego, sehingga tercipta kepribadian utama, merasakan diri berhadapan dengan sang pencipta, tengah dimonitoring, dinilai dan diawasi secara melekat dan memang sangat dekat.
Kepribadian ihsan adalah keyakinan yang terdalam pada diri seseorang bahwa ia tengah berhadapan dengan Allah SWT khusuk dan tawadduk berhadapan dengan-Nya. Keyakinan yang demikian membuat manusia senantiasa berhati-hati (taqwa) dalam bersikap, bertindak dan bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepribadian inilah yang menghasilkan etos kerja.
Etos kerja terlahir dari ideologi dan nilai yang dianut oleh seseorang. Agama sangat berpengaruh terhadap etos kerja. Jepang terkenal dengan etos kerja samurai, Eropah dikenal dengan etos kerja protestan etik. India dikenal dengan etos Hindu dan Budha. Negara-negara Islam juga dikenal dengan etos kerja Islam.
Tetapi yang menjadi permasalahan mengapa etos kerja Islam tidak terlihat dan membekas pada ummatnya? Inilah permasalahan yang perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam dan lebih jauh sehingga menemukan permasalahan dan solusinya. Tetapi yang jelas ibadah pada ummat Islam pada umum belum mencapai tingkat hakikat dan makrifah sehingga menghasilkan adab dan budaya.
Puasa yang menghasilkan kepribadian muttaqien dan muhsinin yang indikator utama adalah faith, philanthrope, self-defense mechanism, performance, volunteer, dan truthful. Etos kerja muhsinin dalam kehidupan nyata melalui madrasah Ramadhan dengan treatment puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan menghasilkan pertama, faith, iman yang kuat bahwa manusia bersama Allah SWT dan senantiasa dimonitoring, diawasai, dan dinilai.
Kedua, philanthropi, berbagi dalam suasana apa saja, baik tengah surplus dan minus. Ketiga, self-defense mechanism, memiliki kematangan diri untuk senantiasa terbuka dalam berinteraksi dan bertransaksi, tidak ada dendam dan tidak ada dusta.
Keempat, performance, memiliki kinerja yang tinggi, maksimal dalam hasil optimal dalam pengerjaan. Kelima, volunter, terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, kemanusiaan dan kebaikan lingkungan. Keenam, truthful, lurus, jujur, tulus dan menyandarkan segala aktifitas kepada Allah SWT, tidak riya dan tidak sombong dalam kebaikan yang sudah dikerjakan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar