Laporan MUSRIADI MUSANIF
Wartawan Utama pada Harian Umum Singgalang
Pimpinan Redaksi potretkita.net
SUATU siang pada sebuah kampung tersembunyi di pedalaman Kabupaten Limapuluh Kota. Dekat dari Palupuah, Kabupaten Agam. Tak jauh dari Bonjol, Kabupaten Pasaman.
Tiga lelaki terlihat bersenda gurau di sebuah lepau. Usia mereka ditaksir melewati angka tujuh puluh. Tiga gelas kecil berisi kopi yang sudah ‘takarak’, terdiam di depannya. Samar-samar. Tak jelas benar apa yang menjadi perbincangannya. Waktu itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB lewat sedikit. Siang itu, terasa sekali lengangnya.
Tak berapa jauh dari kedai tempat ketiga lelaki, dua lelaki berpakaian rapi terlihat asyik pula berbincang. Nampaknya, salah seorang di antaranya adalah petugas pemerintahan, karena datang ke lokasi itu menggunakan sepeda motor bernomor polisi plat merah.
Sekitar sepuluh pelangkahan dari keduanya, terdapat sebuah gerbang terbuat dari ijuk bertuliskan : SARUGO, Saribu Gonjong. Gerbang unik itu menjadi pertanda Anda sudah berada di sebuah kampung kecil, dipeluk hutan belantara pada ketinggian perbukitan. Di sela-sela semak itu, terdapat kebun jeruk milik masyarakat.
Kampung Sarugo itu bukan nama aslinya. Nama tersebut dilekatkan, ketika kampung itu dibina untuk kemudian diikutkan lomba Anugerah Pesona Indonesia (API) dan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Juga penilaian Apresiasi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tingkat Sumbar tahun 2021.
Nagari Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, tempat Kampung Sarugo berada merupakan nagari hebat.. Kototinggi adalah nagari perjuangan. Tempat di mana para pemimpin bangsa, berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Nagari ini adalah pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan, maka Menteri Perekonomian Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat. Tindakan itu mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. PDRI di bawah pimpinan Syafruddin, aktif melakukan perjuangan dan mengabarkan ke dunia internasional, bahwa Republik Indonesia masih ada.
Tapi Bukittinggi PDRI berkantor tidak aman. Serangan pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Maka Syafruddin dan kawan-kawan, memilih Kototinggi sebagai pusat kendalinya. Kini, di situ masih ditemukan rumah yang menjadi kantor pemerintahan RI itu. Ada pula tugu menjulang tinggi, mengingatkan pengunjung nagari ini kepada peran penting Kototinggi dalam mempertahankan NKRI.
Kampung itu terasa sepi. Masyarakatnya, kalau siang, banyak yang pergi ke kebun jeruk dan areal pertanian lainnya. Kebun jeruk itu, kini banyak yang tak terurus lagi, karena serangan hama dan mahalnya harga pupuk.
Sarana jalan raya menuju Kampung Sarugo khususnya, Kototinggi pada umumnya, kurang pas pula bila disebut bagus. Selepas dari Suliki, kita sudah dihadapkan dengan kondisi jalan raya yang sempit, menanjak, menurun, berliku, dan berhiaskan lobang. Dari Pasar Kototinggi ke Kampung Sarugo lebih gawat lagi.
Sempit jalan Suliki-Kototinggi, lebih sempit pula jalan Pasar Kototinggi-Kampung Sarugo itu. Tanjakannya minta ampun. Di beberapa titik, badan jalan terban cukup dalam. Ada juga yang bahunya sudah lama meluncur ke jurang. Pokoknya, bukanlah perjalanan nyaman untuk berkunjung ke Kampung Sarugo, yang digadang-gadang sebagai destinasi penting wisata panorama, wisata agro, dan wisata sejarah itu.
“Bukan saja jalannya yang jelek. Di sini juga tidak ada sinyal HP. Listrik masuk beberapa tahun belakangan,” kata salah seorang lelaki yang duduk di kedai tadi.
BACA JUGA : Petani Jeruk Gunung Omeh Keluhkan Serangan Hama, Infrastruktur Turut Tentukan Nilai Jual Jeruk Tanah Karo
Bagaimana mau mengembangkan Kampung Sarugo, kalau infrastruktur demikian rusak? Pakai kendaraan apa wisatawan ke sana? Jangan kan membawa bis, kendaraan minibus saja, sulit berpapasan di jalan raya menuju Kampung Sarugo yang sebentar lagi, konon kabarnya, akan tembus ke Bonjol, kampung yang menjadi basis para pejuang Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol itu.
Menjual agrowisata memetik Jeruk Siam Gunung Omeh (Jesigo) nampaknya, kini nampaknya bukanlah perkara mudah dan menjadi masa-masa yang paling sulit. Untuk mendapatkan jesigo yang dikenal manis legit itu, lebih mudah membelinya melalui pedagang di jalan raya Suliki-Payakumbuh dan Payakumbuh-Tanjung Pati, daripada mendapatkannya langsung dari kebun rakyat di Kototinggi.
Kebun jeruk memang cukup luas di Kecamatan Gunung Omeh. Tapi yang terawat dan menghasilkan buah yang siap menerima tamu agrowisata, nyaris tak ada lagi. Dalam pengaduannya kepada Gubernur Sumbar Buya H. Mahyeldi Ansharullah, masyarakat menyebut, produksi jeruk menurun hingga 75 persen, akibat serangan hama lalat buah serta mahal dan sulitnya mendapatkan pupuk.
Terlepas dari jeleknya infrastruktur dan serangan hama terhadap tanaman jeruk rakyat, Kampung Sarugo adalah potensi besar yang bisa berkembang jadi primadona. Buktinya, tak membutuhkan waktu lama didampingi tim dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, sejak dua tahun lalu, Kampung Sarugo berhasil meraih dua penghargaan bidang kepariwisataan sekaligus, yaitu Peringkat I Apresiasi Pokdarwis se-Sumbar dan ADWI Tahun 2021 dari Kementerian Pariwisata. Pada tahun 2020, Kampung Sarugo memperoleh Anugerah Pesona Indonesia (API).
“Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat tak mau terjebak dengan aktivitas pendampingan yang bersifat seremonial dan simbolistik belaka, tapi harus berkelanjutan dan sustainable. Kita bangga dengan hasil yang diraih melalui Kampung Sarugo,” kata Rektor Dr. Riki Saputra.
Bapak rektor memang benar, tapi kini Kampung Sarugo itu sepi. Lengang. Kalaupun ada orang yang melintas di sana, bukanlah wisatawan, tapi pedagang keliling kebutuhan dapur nan tak berapa orang. Gerbang megah Kampung Sarugo: Saribu Gonjong, tidak banyak yang melirik dan menyapa.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar