Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd
Komisioner/Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia
CONTOH kisah kecil pagi ini, ada ortu yang cari kontrakan sederhana, untuk tihga anggota keluarganya. Pertanyaan dari yang punya kontrakan, ada yang merokok? Ada jawabnya. Yang merokok ayah dan anaknya yang masih usia sekolah. Itu biasa saja disampaikan si Ibu yang mau mengontrak, dan yang punya kontrakan mensyaratkan 'kalau mau ngontrak di sini, tidak boleh merokok.'
Sekilas membaca kisah di atas, tentu bagi yang selama ini tidak suka asap rokok, sangat mendukung sikap ketegasan dari pemilik kontrakan. Namun setelah kami mewawancara ibu tersebut, sebenarnya psikologis yang tercipta dari dialog ini adalah ‘Ibu yang ingin mengontrak’ tidak pernah berfikir, merokok akan membunuh suami dan anaknya. Tetapi yang muncul adalah rasa minoritas, dikucilkan, direndahkan, stigma, stereotype yang berujung enggan bermasyarakat. Sehingga menjadi benturan tanpa ujung, yang sewaktu waktu dapat meledak.Rokok adalah candu, yang dampaknya sulit dihentikan. Kalau mau menghentikan butuh treatment khusus, bukan diserahkan masyarakat untuk berbenturan.
Seharusnya kita tidak terperanjat alias kaget dengan berbagai media bicara dampak rokok. Karena memang namanya sudah efek candu, tentu tidak akan pernah berhenti, bahkan terus meregenerasi, karena mudah di konsumsi dan membawa sensasi. Dengan GATS melaporkan 141 juta orang mengisap asap rokok, dan 70 juta perokok laki laki yang aktif, ini belum bicara data perokok perempuan dewasa dan perokok anak. Artinya separuh lebih rakyat Indonesia penghirup asap rokok aktif.
Seberapa kuat Indonesia mampu mengintervensi angka besar tersebut, tentu seperti buih di lautan alias ambyar. Untuk itu seharusnya kita tidak terkesima dengan data, tapi segera berorientasi kepada manusia yang mengalami adiksi. Karena kalau kita masih berdebat yang lain, manusia yang teradiksi akan terus tertinggal, dalam hal ini tergerusnya kualitas kesehatan pelan-pelan yang memberi penurunan kualitas kehidupan. Sedangkan ketika manusianya tidak tertangani, maka efek candu menyebabkan industri akan terus meningkat.
Melihat cerita awal di atas, justru dampak psikologis larangan rokok, menjadi stigma berkepanjangan, yang berujung pembiaran dan dibiarkan. Larangan selama ini, hanya menciptakan benturan sosio kehidupan, yang menjadi sinyal bahaya buat kita semua. Bayangkan sinyal bahaya yang sewaktu waktu meledak itu, tenggelam di separuh lebih penduduk Indonesia penghirup asap rokok. Artinya dampaknya benar benar sejak awal harus diminimalisir.
Cara pandang psikologis sebagai adiksi tidak muncul di pemilik kontrakan, lain kalau kita melihat pecandu narkoba, mereka yang dipaksa menjadi pecandu narkoba, muncul empati luar biasa. Namun untuk perokok, sikap kita berbeda.
Sehingga penanganan, akses system sumber terdekat, jaminan bisa mengurangi adiksi sangat jauh dari gapaian para perokok ataupun penghirup rokok yang mulai merasakan dampak beratnya. Baik secara kesehatan, ekonomi dan konflik sosial. Yang harusnya kalau bicara PP Pengendalian tembakau yang berorientasi pada dampaknya, artinya sudah seharusnya terarah pada objek manusia pecandunya, bukan jauh program penanganan dampak dari mereka, apalagi hanya menjemput sebagai ‘pemadam kebakaran’ ketika dampaknya sudah sangat sulit ditangani dan membutuhkan biaya besar. Yang akhirnya hanya menjadi alasan untuk meninggalkan para pecandu dalam pesakitan dampak buruknya.
Lalu bagaimana program implementasi PP selama ini yang mengarah pada program pelarangan, kampanye, iklan dan promosi, apakah sudah dirasakan para pecandu langsung? Tentu saja perlu diperkuat lagi programnya.
Lalu siapa yang mau melakukan pekerjaan ini, apakah perusahaan, pemerintah, kemenkes, lingkungan, atau keluarga yang mengalami adiksi? Namun konsen saya, jangan sampai kesannya benturan sosial yang dipakai cara masyarakat, dalam bersikap pada hirupan asap rokok, tidak pernah berubah. Kalau pola penanganannya begini terus, maka dikhawatirkan petugas utama yang diamanahkan sebagai penanggung jawabnya lebih mudah lepas tangan.
Data perokok di artikel itu, bicara 70 juta perokok dan yang terpapar 141 juta orang. Menurut kita dengan realitas perokok memaparkan anggota keluarga, 1 mobil angkot, 1 tempat pertemuan, apakah perbandingan itu masih sesuai. Itu pertanyaan besar, apalagi data itu baru bicara perokok laki laki. Artinya perbandingannya 1 perokok memaparkan asap ke 2 orang. Tentu menjadi data yang sangat tidak rasional.
PETANI TEMBAKAU
Kita belum bicara keluarga petani tembakau dan perokook anak. Karena masuknya pembahasannya masih sama, jadi benturan sosial di masyarakat saja, tidak meningkat cara penanganannya. Yang selalu jadi pembahasan tidak ada ujung antara yang kampanye rokok dan anti rokok. Saya tidak mau terjabak membahas ini dengan mengatakan juga hanya jadi project saja. Karena tentu ada upaya upaya ekstra dari kinerja pengendalian tembakau ini.
Sedangkan yang teradiksi, tidak pernah dikurangi atau dihilangkan adiksinya, bahkan berada di situasi yang lebih buruk ke depannya, termasuk anak.
Anak adalah generasi komunal yang selalu bergantung pada lingkungan, sehingga bicara perokok anak adalah bicara percepatan penggunaan rokok untuk seluruh anak Indonesia, tentu hal ini yang selalu di takutkan para orang tua, industri rokok, orang tua, perokok dan mereka yang sedang berjuang sakit ‘kembang kempis’ nafas akibat rokok.
Jadi ukurannya seberapa besar political will dan awareness cukai sebenarnya, terutama bicara larangan yang paling jelas tentang perokok anak.
Anak dan remaja adalah peniru yang ulung, bukan pendengar yang baik. Sehingga regenerasi perokok sangat mudah di lingkungan anak dan keluarga. Karena mencontoh adalah cara capat (instant) yang paling disuka mereka, karena menjadi percepatan tumbuh kembang.
Kementerian Kesehatan 2022 mencatat enam dari 10 pelajar usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di rumah. Selain itu, tujuh dari 10 pelajar usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di tempat-tempat umum.
Bahwa penghirup rokok aktif dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang signifikan. Setidaknya ada 8 juta kematian yang disebabkan oleh asap rokok dan 1,2 juta kasus di antaranya terjadi pada penghirup rokok. Pada tahun 2021, BPS mencatat sebanyak 3,69 persen anak Indonesia di bawah umur aktif merokok. Bahkan Indonesia dinyatakan Global Youth Tobacco Survey sebagai tertinggi di dunia untuk angka prevalensi perokok anak. Setelah Cina dan India.
Tentu bukan angka ini yang ingin kita wariskan kepada anak anak di masa depan. Dengan ancaman stunting yang masih tinggi, kewaspadaan pandemi yang sewaktu waktu bisa ada lagi, dan ekonomi keluarga dunia yang melilit karena ekstraksi guncangan ekonomi akibat penurunan kinerja 2 tahun pada dampak panjang Covid 19.
CUKAI
Membenturkan antara kesehatan dan rokok, makanan bergizi dan rokok, larangan, kampanye, iklan, dampak jangka panjang dan dampak pandemi, terlihat kurang efektif selama ini, karena tidak pernah menyentuh data yang besar itu yang terus melonjak. Sehingga semua indikator dan kinerja yang di ukur selama pelaksanaan PP ini, boleh dibilang jalan di tempat, bukan berarti kita sebut gagal, karena kerja kerja dirasa sudah luar biasa, namun tidak bisa menekan, malah cenderung pasar meningkat. Dengan data pemakai yang terus menganga dari PP. Jauh panggang dari api.
Umumnya pasien adiksi atau pasien yang mengalami candu suatu zat, adalah pasien yang perlu sangat hati hati penanganannya. Karena alih alih merawat atau melarang, justru akan menjadi efek determinasi (tekanan) yang penggunaan yang lebih banyak. Kalau konsumsi banyaknya narkoba, tentu mudah dipantau dan pelarangan berlapis. Tetapi kalau yang dikonsumsi adalah rokok, tentu tidak ada larangan.
Selama ini pengendalian tembakau lebih mengarahkan programnya pada melarang, iklan, kampanye, promosi, sampai penghukuman. Untuk itu mungkin perlu ditambahkan dan diperberat ke arah penghidupan pencegahan lebih buruk yang programnya berbasis masyarakat, yang terdekat dengan pecandu. Menciptakan akses sistem sumber terdekat, dukungan dan jaminan sosial bagi para pecandu, bukan menjadi pesakitan, sumber keributan, benturan sosio kehidupan. Akibat dampak panjang pandemi rokok.
Jangan sampai terkesan pasar rokok lebih bisa mengukur target pasarnya, dibanding kewajiban mengukur target dampak yang harus tersentuh dari mandate regulasi kepada setiap jiwa penghirup asap rokok, yang harusnya semakin selamat masa depan kesehatannya, terutama kaum kaum rentan. Dari paparan asap rokok yang dapat memperburuk dampak kesehatan di masa depan.
Apa yang harus ditambahkan agar pengendalian tembakau efektif? Tentu perlu diperkuat lagi, kalau mau tidak dikatakan regulasi berjalan di tempat. Sepertinya kinerja mandat PP ini akan bisa lebih diukur, ketika rentang data perokok yang besar ini, disikapi dengan jutaan tempat rehab adiksi, karena yang terpapar separuh lebih masyarakat Indonesia, jaminan sosial bagi keluarga yang teradiksi rokok, tempat yang ramah untuk mengurangi adiksi rokok. Jadi bicaranya objek manusia yang teradiksi, bukan fokus ke rokoknya, yang memang tidak bisa dibendung, karena memang kebutuhan pecandu yang tidak di larang.
Belum lagi perokok elektronik, yang berada dalam satu konsentrasi tempat, disertai kongkow dan ngobrol. Orang yang sudah merokok, sangat tidak rasional dilarang, yang ada dikurangi. Itupun efektifnya menggunakan edukasi pendidikan orang dewasa, pendekatan penderita pecandu. Tapi sejauh apa upaya ini ada? Pendekatan apa sudah dilakukan?
PERDEBATAN
Perokok tidak punya pilihan banyak, ditengah larangan, kampanye, iklan, promosi. Karena tidak ada yang pernah berfikir manusiawi tentang dirinya, yang terserang adiksi atau kecanduan rokok ini. Apalagi nasib perokok anak dan remaja.
Revisi PP 109 Tahun 2012 yang pembahasannya dimotori sebagian besar Kementerian dan Lembaga saya kira harus progressif, ditengah kegagalam implementasi PP di masa lalu, yang tidak bisa mengurangi angka perokok, sebagai upaya kehadiran negara dalam mengatur iklan, promosi, dan sponsor rokok. Kemudian memperbesar PHW menjadi 90 persen dibungkus rokok. Pengaturan iklan di internet dan termasuk rokok elektronik. Stigma rokok elektronik yang dianggap aman dan cenderung membohongi konsumennya, perlu penegasan seperti produksi rokok konvensional lainnya bahwa Rokok Elektronik Membunuhmu.
Semoga Menko PMK, Menkeu, Menko Ekonomi, dan Polhukam tetap progressif untuk meneruskan percepatan revisi. Setidaknya ada selangkah lebih maju pembahasannya, dengan prevalensi perokok anak yang terus meningkat dan lonjakan data perokok dewasa yang terus naik. Artinya kita sedang melihat regulasi jalan di tempat, dengan pembayaran pajak cukai yang selama ini prestisius dan ambisius.
Artinya untuk mengurangi prevalensi perokok, harus berbasis menghilangkan kecanduan zat adiktif. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan program besar pelaksanaan PP Pengendalian Tembakau dengan pelarangan iklan, promosi, kampanye, dan penghukuman. Yang di implementasikan pemerintah, industry rokok dan masyarakat.
Jadi psikologis penderita adiksi ini harus dimotivasi, bukan jadi pesakitan dengan logika pelarangan yang berbuntut benturan sosial. Mereka butuh lingkungan yang lebih sehat. Baik secara fikiran, jiwa dan batin. Agar pemulihan dari adiksi semakin baik.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar