Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd
(Komisioner Komisi
Perlindungan Anak Indonesia)
KPAI pernah mendapatkan pengaduan yang sangat berat pada gangguan perilaku anak yang menyerupai orang dewasa dalam aksi pornografi. Tentu di tahap ini tidak bisa lagi di treatment biasa. Karena sudah harus medis yang turun tangan, perlu keterlibatan konselor, psikolog, psikiater, ahli agama, dan obat. Agar benar-benar berhasil dan mengubah perilaku.
Anak-anak dalam situasi
ini, sebenarnya tidak mudah menjalani sekolah, karena tuntutan jiwanya sudah
berubah. Sehingga seringkali ada yang tidak nyambung antara tuntutan sekolah,
yang berakibat mengundang KDRT dan aksi penyimpangan atau kekerasan lainnya,
karena anak lari dari lingkungan pendidikannya.
Dari laporan yang ada,
orangtua menyesal anak anaknya terpapar pornografi, karena merasa selama ini
menjauhkan dan aman dari jangkauan anak. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Kemudian terakhir, terkait
eksistensi remaja. Ini persoalan yang sangat krusial, jangan dianggap tidak
penting. Karena ketika anak tidak bisa menunjukkan eksistensinya, akan
mengalami bullying, yang bisa berdampak pada kejiwaannya, baik ringan maupun
berat.
Banyak peristiwa orang tua
yang terkaget anaknya mengalami gangguan
jiwa karena soal eksistensi. Ketika mereka tidak mendapatkan pengakuan di
keluarga, sekolah, maka mereka akan lari di sosial media dan lingkungan.
Banjiran informasi itu
yang tidak bisa dibendung itu, apalagi sekarang banyak komunitas atas hobby dan
idola yang produksi medsosnya luar biasa, bahkan dari detik ke detik, selalu
update. Hal ini bisa menjadi gangguan ringan sampai berat, tergantung
determinasi yang dialami anak atas yang dilihatnya.
Ketika jalur yang ia sukai
itu tidak terpenuhi, menjadi problem eksistensi. Dan seringkali eksistensi ini menjadi perdebatan antar mereka, bahkan
mengundang orang lain, karena berada di sosial media. Karena pendapat berbeda
tentang yang disukainya atau idolanya, atau berarus keras mengikuti tren, untuk
pemenuhan ini, maka anak terjebak pada dunia pornografi sampai prostitusi.
Persoalan persoalan
seperti ini tidak bisa dianggap biasa, butuh intervensi banyak pihak. Dalam
mengurangi ancaman anak pada paparan aksi pornografi. Harus ada perubahan cara
pandang penanganan, karena tidak bisa hanya diserahkan anak dan orang tua.
Karena ada yang tidak tergapai mereka, seperti pengawasan perkembangan
teknologi informasi yang berbau pornografi.
Kemudian pentingnya membangun
mekanisme referal atau rujukan terdekat dari keluarga. Karena selama ini lebih
banyak dibebankan ke lembaga, yang menyebabkan sangat menumpuk dan tidak
tertangani kasusnya. Untuk itu sudah saatnya mekanisme rujukan di perkenalkan
pada keluarga, agar dapat segera mencegah.
Kemudian memperkuat tenaga
tenaga profesional sebagai supervisi keluarga, dengan alat alat pendukung yang
memudahkan mereka.
Sudah seharusnya informasi
perlindungan anak dan perempuan semakin dekat, maka sudah saatnya tapal tapal
batas desa, kota atau setiap kampung memiliki tugu anti kekerasan perempuan dan
anak, yang berisi mekanisme referal dan ajakan melapor dan pelopor, karena
tanpa itu kita akan sulit mencegah sejak awal.
Pemerintah sebenarnya
telah memiliki Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak (PP PKA) dengan
menyebutnya Anak yang Menjadi Korban Pornografi (AMKP). Dalam pasal 28
menyatakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan
koordinasi pencegahan dan penanganan pornografi anak, melakukan sosialisasi dan
mengadakan pendidikan dan pelatihan.
Sedangkan upaya untuk AMKP
adalah dengan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, pemulihan kesehatan
fisik dan pemulihan mental. Dalam PP tersebut juga menyampaikan adanya Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, hanya seefektif apa, tentu kita
perlu tanya kepada pemerintah.
Karena tugas ini dibagi ke
beberapa Kementerian seperti dalam PP tugas tersebut diserahkan ke Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Agama, tentu saja perlu aturan pelaksananya.
Dalam hal pelaku anak, UU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 37 menyampaikan tentang restitusi bila
ada penuntutan, akan di sampaikan orang
tua atau wali dari anak pelaku. Yang ketentuan pemberian restitusi telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban merupakan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tentu saja upaya
penuntutan ini, juga harus memperhatikan UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang menekankan diversi dan restorative justice.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar