Upaya Pencegahan dan Penanganan Anak Terpapar Pornografi II - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

13 Juni 2022

Upaya Pencegahan dan Penanganan Anak Terpapar Pornografi II

Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd

(Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia)


KPAI pernah mendapatkan pengaduan yang sangat berat pada gangguan perilaku anak yang menyerupai orang dewasa dalam aksi pornografi. Tentu di tahap ini tidak bisa lagi di treatment biasa. Karena sudah harus medis yang turun tangan, perlu keterlibatan konselor, psikolog, psikiater, ahli agama, dan obat. Agar benar-benar berhasil dan mengubah perilaku.


Anak-anak dalam situasi ini, sebenarnya tidak mudah menjalani sekolah, karena tuntutan jiwanya sudah berubah. Sehingga seringkali ada yang tidak nyambung antara tuntutan sekolah, yang berakibat mengundang KDRT dan aksi penyimpangan atau kekerasan lainnya, karena anak lari dari lingkungan pendidikannya.

 

Dari laporan yang ada, orangtua menyesal anak anaknya terpapar pornografi, karena merasa selama ini menjauhkan dan aman dari jangkauan anak. Tapi kenyataannya tidak demikian.

 

Kemudian terakhir, terkait eksistensi remaja. Ini persoalan yang sangat krusial, jangan dianggap tidak penting. Karena ketika anak tidak bisa menunjukkan eksistensinya, akan mengalami bullying, yang bisa berdampak pada kejiwaannya, baik ringan maupun berat.

 

Banyak peristiwa orang tua yang terkaget anaknya  mengalami gangguan jiwa karena soal eksistensi. Ketika mereka tidak mendapatkan pengakuan di keluarga, sekolah, maka mereka akan lari di sosial media dan lingkungan.

 

Banjiran informasi itu yang tidak bisa dibendung itu, apalagi sekarang banyak komunitas atas hobby dan idola yang produksi medsosnya luar biasa, bahkan dari detik ke detik, selalu update. Hal ini bisa menjadi gangguan ringan sampai berat, tergantung determinasi yang dialami anak atas yang dilihatnya.

 

Ketika jalur yang ia sukai itu tidak terpenuhi, menjadi problem eksistensi. Dan seringkali eksistensi  ini menjadi perdebatan antar mereka, bahkan mengundang orang lain, karena berada di sosial media. Karena pendapat berbeda tentang yang disukainya atau idolanya, atau berarus keras mengikuti tren, untuk pemenuhan ini, maka anak terjebak pada dunia pornografi sampai prostitusi.

 

Persoalan persoalan seperti ini tidak bisa dianggap biasa, butuh intervensi banyak pihak. Dalam mengurangi ancaman anak pada paparan aksi pornografi. Harus ada perubahan cara pandang penanganan, karena tidak bisa hanya diserahkan anak dan orang tua. Karena ada yang tidak tergapai mereka, seperti pengawasan perkembangan teknologi informasi yang berbau pornografi.

 

Kemudian pentingnya membangun mekanisme referal atau rujukan terdekat dari keluarga. Karena selama ini lebih banyak dibebankan ke lembaga, yang menyebabkan sangat menumpuk dan tidak tertangani kasusnya. Untuk itu sudah saatnya mekanisme rujukan di perkenalkan pada keluarga, agar dapat segera mencegah.

 

Kemudian memperkuat tenaga tenaga profesional sebagai supervisi keluarga, dengan alat alat pendukung yang memudahkan mereka.

 

Sudah seharusnya informasi perlindungan anak dan perempuan semakin dekat, maka sudah saatnya tapal tapal batas desa, kota atau setiap kampung memiliki tugu anti kekerasan perempuan dan anak, yang berisi mekanisme referal dan ajakan melapor dan pelopor, karena tanpa itu kita akan sulit mencegah sejak awal.

 

Pemerintah sebenarnya telah memiliki Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2021 tentang  Perlindungan Khusus Anak (PP PKA) dengan menyebutnya Anak yang Menjadi Korban Pornografi (AMKP). Dalam pasal 28 menyatakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan koordinasi pencegahan dan penanganan pornografi anak, melakukan sosialisasi dan mengadakan pendidikan dan pelatihan.

 

Sedangkan upaya untuk AMKP adalah dengan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, pemulihan kesehatan fisik dan pemulihan mental. Dalam PP tersebut juga menyampaikan adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, hanya seefektif apa, tentu kita perlu tanya kepada pemerintah.

 

Karena tugas ini dibagi ke beberapa Kementerian seperti dalam PP tugas tersebut diserahkan ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama, tentu saja perlu aturan pelaksananya.

 

Dalam hal pelaku anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 37 menyampaikan tentang restitusi bila ada penuntutan, akan  di sampaikan orang tua atau wali dari anak pelaku. Yang ketentuan pemberian restitusi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Tentu saja upaya penuntutan ini, juga harus memperhatikan UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menekankan diversi dan restorative justice.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad