Makna Filosofis dalam Pacu Jawi - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

24 Juli 2022

Makna Filosofis dalam Pacu Jawi

Larinyo luruih

Kapalo tagak badiri

Badakek indak bagesoh

Bajarak indak bapisah

Kedua sapi disatukan tali cendang


BEGITULAH pacu jawi, sebuah olahraga tradisional masyarakat Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar. Pacu jawi bukanlah sekadar olahraga. Dalam tradisi budaya Minangkabau, ada banyak makna filosofis yang tersurat dan tersirat, sebagaimana tergambar pada lima kalimat di atas.


Sapi yang akan menang dalam ajang pacu jawi haruslah sepasang. Tidak bisa seekor-seekor. Sepasang sapi yang dipastikan akan menang adalah jawi yang seirama larinya. Lurus. Kepalanya tegak berdiri, mencermati jalan yang akan ditempuh dan membidik target yang hendak disasar.


Uniknya, sepasang jawi yang berlari kencang berada pada posisi yang berdekatan. Akan tetapi, mereka dibatasi tali bajak, sehingga tidak bisa saling bersinggungan. Mereka berjarak, tetapi tidak dapat dipisahkan. Tali cendang membuhul erat keduanya.


Sapi yang jadi pemenang itu adalah sapi menjadi pemimpin. Dia berhasil menjadi pimpinan yang baik selama berpacu. Bila dibawakan ke dalam kehidupan sehari-hari masayarakat Minangkabau, dalam sekali makna yang terkandung dalam filosofis pacu jawi itu.


Pacu jawi adalah olahraga eklusif masyarakat di Luhak Nan Tuo. Kendati menjadi kebanggaan Kabupaten Tanah Datar, namun pacu jawi hanya ada di empat kecamatan, yakni Pariangan, Limo Kaum, Sungai Tarab, dan Rambatan. Di kecamatan-kecamatan lain di Tanah Datar, olahraga tradisional itu tidak pernah dilaksanakan dan tidak pula menjadi tradisi masyarakat.


Olahraga pacu jawi mulanya diselenggarakan masyarakat di Nagari Pariangan pada zaman dahulu kala. Kegiatan ini dilaksanakan setelah musim panen berlalu. Nagari pelaksana biasanya mengundang nagari-nagari lain yang terdapat pada empat kecamatan terebut. Nagari-nagari itu, spontan saja sudah tahu giliran mereka sebagai tuan rumah.


Sawah masyarakat yang menjadi gelanggang pacu sudah bisa langsung ditanami ketika helat pacu jawi selesai. Tak perlu lagi melakukan penggarapan khusus, karena sudah lanyah oleh sapi-sapi yang berpacu di situ.


BACA PULA : Kini Pacu Jawi Lebih dari Sekadar Tradisi

Nagari Labuah Awali Alek Pacu Jawi di Luak Nan Tuo


Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan gembira setelah panen, pacu jawi juga dilaksanakan untuk berbagai alasan, di antaranya menjadi arena bertemu-temu dan membangun tali silaturahim. Gelanggang pacu jawi juga menjadi momen bagi muda mudi untuk saling berkenalan. Semacam usaha penjajakan awal. Bila tercapai kecocokan, mereka akan meneruskan perkenalan itu hingga ke jenjang rumah tangga.


Bila dilihat dari aspek ekonomi, pacu jawi juga memiliki peranan yang cukup besar. Sapi-sapi pemenang di gelanggang, nilai jualnya akan melonjak tinggi. Untuk ukuran saat ini, ada yang bisa mencapai harga Rp60 juta. Sementara bagi masyarakat sekitar gelanggang pacu, helat pacu jawi juga bisa dimanfaatkan untuk berdagang makanan tradisional dan cindera mata.


Wakil Bupti Tanah Datar Richi Aprian menjelaskan, pemerintah terus melakukan pembinaan terhadap olahraga pacu jawi, sehingga bisa tetap lestari dan menjadi bagian penting dari kekayaan budaya daerah. Selain melestarikan warisan budaya, menurutnya, kini alek pacu jawi sudah menjadi momen yang ditunggu-tunggu wisatawan nusantara dan mancanegara.


Kini pacu jawi sudah masuk kalender wisata nasional. Para wisatawan mancanegara dan nusantara umumnya sudah merancang perjalanan wisata mereka ke Sumbar dengan memasukkan iven pacu jawi. Perkembangan pesat kunjungan wisatawan, diperkirakan menjadi salah satu penyebab, masyarakat di nagari kembali termotivasi untuk menghidupkan tradisi yang hanya ada di Kabupaten Tanah Datar itu.


Adalah benar, pacu jawi merupakan aset terhebat yang dimiliki Kabupaten Tanah Datar. Karena itu, pemerintah daerah bersama segenap elemen terkait lainnya dapat melakukan berbagai usaha agar pacu jawi tetap lestari, dan terus berkembang sebagai bagian utama dari perkembangan daerah.


Diakui, akhir-akhir ini ada daerah-daerah tertentu di Sumbar yang ingin pula mengembangkan pacu jawi, sebagai salah satu iven wisata yang akan mereka jual. Sayangnya, sejauh ini tidak ditemukan adanya gelanggang pacu yang memenuhi syarat.


Faktor utamanya adalah ketersediaan gelanggang pacu, kondisi sawah dan ketersediaan air. Bila ketiga hal itu dipandang tak memenuhi syarat, maka joki dan pemilik sapi takkan mau ikut, karena mereka khawatir akan mendatangkan berbagai masalah, misalnya mengalami cedera saat berpacu.(MUSRIADI MUSANIF, artikel ini pernah diterbitkan Majalah Luhak Nan Tuo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad