Oleh Jufri, S.Pd., M.I.Kom
(Ketua PDM Tebing Tinggi, Guru, dan Penggiat Dakwah Kebangsaan)
OPINI, POTRETKITA.net - Di antara istilah yang sedang digaungkan sekarang adalah Pelajar Pancasila, sebuah slogan agar pelajar Indonesia menjadi pengamal Pancasila atau Pancasilais.
Istilah tersebut menunjukkan begitu pentingnya Pancasila bagi bangsa ini. Karena itu sangat perlu ditanamkan dan diamalkan semenjak bangku sekolah.
Tentu saja hal seperti itu sangat baik untuk terus menanamkan rasa cinta kepada Tanah Air melalui pengamalan Pancasila. Pancasila menjadi sesuatu yang sangat luarbiasa dan sakti. Rakyat Indonesia harus mengamalkannya agar luar biasa dan sakti pula dalam menghadapi kenyataan hidup.
Jika pelajar saja diharapakan sudah Pancasilais, tentunya, wakil rakyat, pejabat negara, dan penegak hukum di negara ini, pastilah diharapkan sudah sangat Pancasilais, sudah paripurna kecintaan dan pengamalan Pancasilanya.
Dari dulu kalau kita membaca sejarah, utamanya setelah Indonesia merdeka, Pancasila sudah menjadi sesuatu yang diamalkan di zaman Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin, itupun dilakukan dengan alasan mengamalkan dan menjalankan Pancasila. Pada waktu Orde Baru, populer ungkapan Pengamalan Pancasila yang konsisten dan konsekwen, dan kita semua sudah tahu juga muaranya.
Dulu bahkan ada pelatihan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), ada lembaga BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), agar Pancasila betul- betul diamalkan dengan sepenuh hati dan jiwa oleh setiap warga negara.
Sekarang, di tengah hiruk-pikuk kehidupan bangsa kita, makin banyak saja istilah tanda cinta dan pengamalan Pancasila itu, bahkan ada pula lembaganya, ada BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), yang dimotori dan dipimpin oleh mereka yang sudah 'khatam tentang Pancasila', dan karenanya, tentu saja paling mengerti dan paling Pancasilais. Karena itu, mereka bertugas merumuskan arah kebijakan pembinaan Idiologi Pancasila.
Sekarang, menjelang perayaan 77 Tahun Indonesia Merdeka, rasanya penting kita melihat kenyataan dalam kehidupan berbangsa kita yang katanya pengamal Pancasila, tentu saja yang paling penting adalah kejujuran dalam bercermin diri, apakah Pancasila itu benar sudah kita amalkan, atau paling tidak, sudah kita jadikan pedoman dengan penuh penghayatan, atau hanya sekedar istilah dan slogan?
Apakah kita sudah berhasil melihat ke dalam, dan dengan jujur kita akui, bahwa kecintaan kita kepada Pancasila itu baru sekadar jargon dan mantra suci, yang kita bacakan dan ucapkan bersamaan dalam upacara bendera, tanpa peduli apa maksud dan maknanya, apalagi mengamalkannya.
Mengapa masih banyak saja di antara kita, misalnya yang korupsi, siapa yang menyuruh atau bahkan memaksa kita melakukannya? Betulkah lembaga yang tugasnya memelihara dan penegak hukum itu diisi oleh orang-orang yang mengamalkan Pancasila? Sehingga merasa wajib menjaga Pancasila, menjaga Indonesia. Semoga bukan diisi oleh oknum yang justru menjadi salah satu penyebab dari koruptor menjadi semakin pintar dan harus bisa korupsi.
Tampaknya, untuk merawat Indonesia agar bertahan dan makin kuat, harus ada revolusi mental, misalnya dengan terus-terang mengakui, bahwa demokrasi yang kita praktekkan masih jauh, bahkan bertentangan dengan Pancasila, proses, ongkos dan hasilnya tidak mencerminkan kita bangsa yang berpedoman kepada Pancasila, yang diantaranya bersumber dari nilai luhur agama dan budaya bangsa Indonesia.
Begitulah kira-kira kesimpulan saya dari buku yang saya baca pagi ini dari penulis yang ikut membidani, serta memimpin Badan Pembinaan Ideologi Pancasila; Doktor Yudi Latif.
Silaturrahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar