Jurnalisme Haji Agus Salim (Bagian Tiga) - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

08 September 2022

Jurnalisme Haji Agus Salim (Bagian Tiga)

Oleh Musriadi Musanif, S.Th.I

(Wartawan Utama/Korda Tanah Datar Harian Umum Singgalang)


OPINI, POTRETKITA.net - Kendati perusahaan penerbit surat kabar yang dipimpinnya berada di bawah bendera Syarikat Islam, namun Agus Salim menegaskan, surat kabar itu bukanlah dilahirkan oleh organisasi tersebut, namun pastilah berdiri dan hidup dalam sendi-sendi Islam yang kokoh.


Peranannya yang demikian penting di Hindia Baroe, membuat media kebanggaan masyarakat pribumi itu identik dengan Haji Agus Salim, sebaliknya Haji Agus Salim diidentikkan pula dengan Hindia Baroe, yang dengan cerdas dan profesional menyulut semangat keberagaan, tampil mantap dalam menyorot budaya, politik dan spritualisme dengan semangat keislaman yang kuat.


Disamping menjembatani semangat perjuangan Syarikat Islam, Hindia Baroe juga memberi tempat seluas-luasnya bagi perjuangan Jong Islamietten Bond yang punya komitmen tinggi untuk mengibarkan panji-panji Islam di tengah-tengah kekuasaan penjajah Belanda.


Sebaliknya, beliau terang-terangan manantang Java Bode, sebuah organisasi pemuda yang dinilai Haji Agus Salim sebagai perpanjangan tangan penjajah Belanda dan tak mampu menyuarakan aspirasi kalangan pribumi.


Ketika Haji Agus Salim ditunjuk menggantikan Cokroaminoto memimpin Syarikat Islam pada tahun 1931, beliau pun larut dengan dunia barunya, yakni politik praktis. Perjuangannya melalui Syarikat Islam telah menyita banyak waktu, hingga akhirnya beliau meninggalkan dunia jurnalistik. Tapi beliau tidak pernah meninggalkan dunia jurnalistik itu sepenuh jiwa.


Haji Agus Salim pernah juga tercatat sebagai seorang redaktur di Harian Moestika yang terbit di Yogyakarta. Beliau juga mendirikan kantor berita bernama Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Pada tahun 1952, Haji Agus Salim dilantik menjadi ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).


Jurnalisme Islam

Menilik apa yang dilakukan Haji Agus Salim selama memimpin sejumlah surat kabar dan media massa perjuangan Islam, sebenarnya dapatlah dikatakan, beliau merupakan seorang tokoh utama yang mengusung jurnalisme Islam ke Indonesia.


Pola penulisan Haji Agus Salim yang setiap ulasannya diawali dengan kutipan ayat Alquran atau hadis, pola kerja liputannya yang mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang penguasa, cara kerja yang mengutamakan kejujuran, keberimbangan dan selalu mengusung profesionalisme, menjadi catatan tersendiri dalam bidang pelahiran konsep jurnalisme Islam itu sendiri.


Menurut Hanief Pratiwi, salah seorang aktifis Forum Lingkar Pena, Islam memiliki konsep jurnalisme yang jelas dan tegas. Rasulullah SAW sendiri, memanfaatkan risalah (karya tulis) dalam melakukan perjuangannya dan media komunikasi.


Pertanyaannya, adakah konsep jurnalisme Islami itu? Sungguh, belum ada seorang praktisi pers pun yang telah melahirkan konsep tentang panduan Islam di bidang jurnalistik, namun, apa yang dilakukan pendahulu-pendahulu bangsa ini, termasuk Haji Agus Salim, dapat dijadikan referensi utama, bukan hanya dari aspek profesionalisme dan kecampinan memainkan pena untuk menghasilkan karya jurnalistik yang menarik dan enak dibaca, tetapi juga mencakup aspek moral mereka.


BACA PULA : 

Jurnalisme Haji Agus Salim (bag 1)

Jurnalisme Haji Agus Salim (Bagian 2)


Selain mengacu kepada jurnalisme Haji Agus Salim, jurnalisme Islam di Indonesia sebenarnya juga dapat ditemukan dari sosok seorang Mohammad Natsir yang menerbitkan Harian Abadi, A. Hasan dengan majalah Pembawa Islam, Kiyai Haji Ahmad Dahlan dengan majalah Suara Muhammadiyah, Prof. Dr. Hamka dengan Panji Masyarakat, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan majalah Soeara NO dan Berita NU, Taufiq Ismail dengan majalah Horison, dan banyak nama lain yang mewarnai dunia penerbitan pers di negeri ini.


Bagaimana jurnalisme islami itu? Ari Hidayat, seorang peneliti media, di blognya menyatakan, landasan etik jurnalis islami itu yakni menginformasikan yang benar saja, bijaksana dalam artian penuh nasehat yang baik tanpa menggurui serta argumentasi yang jelas dan baik, meneliti kebenaran fakta sebelum dipublikasikan (cek dan ricek), menghindari fitnah, penghinaan, ejekan atau caci maki dan menghindari prasangka buruk.


Seorang jurnalis muslim juga dimestikan etika berkomunikasi dalam Islam yang meliputi tepat janji, benar, ikhlas, adil, kasih sayang, sabar, pemaaf, berani, kuat, punya rasa malu, dan memelihara kesucian diri.(Artikel ini pernah dijadikan bahan ajar oleh penulis di STBA H. Agus Salim Bukittinggi --bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad