Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.
Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
Majlis Ulama Indonesia Pusat
OPINI, POTRETKITA.net - Grup Penelitian Jambeck mengeluarkan hasil riset terkait dengan kontributor sampah plastik di laut; (1) China menghasilkan jumlah sampah terbesar di laut, 262,9 juta ton; (2) Indonesia 187,2 juta ton; (3) Filipina 83,4 juta ton; (4) Vietnam 55,9 juta ton; (5) Sri Lanka 14,6 juta ton.
![]() |
| Suhardin (tengah) bersama Pincent Piket, ambasador Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunai Darussalam, dan Direktur Pengurangan Sampah KLHK Sinta Septarina |
Data tersebut mengusik kita untuk mengetahui, bagaimana metodologi yang digunakan oleh para peneliti untuk menentukan besaran dan asal sampah yang terdapat di lautan, sehingga dapat menentukan asal sampah dari negara tertentu.
Namun lepas dari situ, sebagai bahan refleksi, renungan, kajian dan evaluasi dari kita, data ini dapat dijadikan patokan bahwa konstribusi negara kita Republik Indonesia sangat signifikan terhadap kekotoran lautan.
Kebesaran konstribusi penduduk Indonesia terhadap sampah laut dapat dilihat, pertama, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago). Akhir dari peredaran limbah masyarakat ke lautan. Pembuangan sampah yang serampangan dilakukan warga, hanyut ke anak-anak sungai, lanjut ke sungai dan terus ke laut.
Laut akhir dari peredaran sampah, apalagi sampah plastik yang tidak mudah terurai, ia tetap berada di lautan dan menjadi bagian dari mengotori lautan. Kadua, kebiasaan warga negara yang belum memiliki habit untuk memilah dan memilih jenis sampah, sekalipun sudah dipilah sampah berbasis jenis organic dan anorganic, tetapi sesampai ke dalam mobil petugas sampah tetap saja di gabung menjadi satu kesatuan sampah untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Ketiga, kebiasaan masyarakat pada umumnya membuang sampah pada air mengalir, karena dianggap sampahnya berjalan, tidak pada tempat semula lagi, sekalipun peredarannya akan mengganggu, tetapi memang dasar masyarakat berpikir pendek, yang penting tidak di depan mata.
Keempat, tidak ada pengawasan dari pemerintah dan masyarakat secara umum tentang perilaku masyarakat yang kurang peduli dengan lingkungan. Ada beberapa warga yang peduli dan menegur beberapa personil masyarakat yang membuang sampah sembarangan, yang pada akhirnya hanyut ke sungai, tetapi tidak seimbang dengan banyaknya warga yang sudah terlanjur tidak berperilaku baik dan bertanggungjawab terhadap lingkungan (responsibility environmental behaviour).
Kelima, dibutuhkan gerakan penyadaran (awareness) kepada masyarakat tentang perlunya memilah, memilih dan mendayagunakan sampah. Hal ini dibentuk dalam sistem, sehingga bukan hanya warga yang memilah dan memilih sampah, tetapi petugas juga dalam mengangkat dan mengangkut sampah dalam bentuk terpilah dan terpisah.
Hal ini tidak bisa diwujudkan dengan hanya dalam bentuk regulasi dari pemerintah. Kita sudah kaya dengan regulasi, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
Namun hal ini hanya mengikat terkait dengan koorporasi, lembaga dan institusi, tetapi kita paham dengan perjalanan regulasi di tengah masyarakat yang cendrung cincai, tahu sama tahu dan kompromi.
Permasalahan ini perlu dipikirkan bersama oleh segenap eksponen anak bangsa, dalam sebuah gerakan yang memberikan penyadaran kepada segenap pihak tentang tanggungjawab terhadap lingkungan (responsibility environmental).
Tanggungjawab merupakan sikap dan perilaku segenap diri dan institusional terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan lingkungan hidup (sustainable environmental and natural resources), sehingga suasana kebaikan dan kesempurnaan lingkungan dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Bukan sebaliknya, mewariskan kerusakan lingkungan dari generasi lalu kepada generasi sekarang dan kepada generasi yang akan datang. Generasi yang akan datang menerima kesempurnaan kerusakan lingkungan, yang tidak mungkin terpulihkan lagi.
Fatwa MUI Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk mencegah Kerusakan Lingkungan, dimana salah satu ketentuannya adalah setiap muslim wajib menjaga kebersihan lingkungan, memanfaatkan barang-barang gunaan untuk kemaslahatan serta menghindari perbuatan tabzir dan israf.
Mafhum muqallafahnya adalah berdosa setiap muslim yang membuang sampah sembarangan yang akan dapat mencelakakan orang lain. Perilaku muslim yang menjurus kepada kemubaziran dan israf. Israf dan mubazir memiliki persamaan tetapi mempunyai perbedaan, israf memanfaat sesuatu melebihi kepantasan dan kepatutan, mubazir berlebih-lebihan dalam menggunakan sesuatu sehingga tidak bermanfaat secara optimal.
Dua perilaku ini merupakan wujud nyata dari dominasi hawa nafsu yang ada pada manusia. Orang yang beriman dan bertaqwa, dapat mengendalikan hawa dan nafsu dengan sebaiknya, sehingga sikap dan perilaku menuju kepada asma-Nya.
Implementasi fatwa tersebut, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLHSDA) Majelis Ulama Indonesia, berusaha menggandeng berbagai eksponen dan kekuatan bangsa; masjid, pondok pesantren, madrasah, sekolah, untuk melakukan Gerakan Sedekah Sampah (GRADASI).
Gerakan ini dilakukan dengan tahapan, pertama, memberikan penyadaran (awareness) kepada masyarakat tentang bahaya sampah dalam kehidupan manusia dan sumber daya alam. Betapa tidak, sampah yang mengalir ke sungai mengotori lautan, merusak ekosistem laut.
Sumber daya alam yang ada di laut beraneka jenis ikan dan biota laut mengalami pencemaran akibat mengkonsumsi sampah plastik yang berbahan kimia beracun yang berakibat kepada penurunan kesehatan manusia yang mengkonsumsi jenis ikan yang telah terkontaminasi oleh bahan kimia tersebut.
Kedua, membuat ekosistem gerakan sedekah sampah dari pengumpul dan pengepul sampai kepada pemanfaatannya. Masjid dapat dijadikan sebagai titik pusat gerakan yang menghimpun donasi dari para penginfak, penyumbang, penyedekah sampah.
Masjid memberikan wadah, tempat, kotak donasi dan mendistribusikan sampah kepada pengguna dan memberikan hasil infak, sumbangan dan sedekah tersebut kepada penerima manfaat.
Ketiga, sirukulasi sampah dan benefitenya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan perlu dilakukan dalam bentuk bagan, diagram, flowchat yang jelas dan terstruktur rapi, sehingga alur gerakan jelas, terukur dan sistemik.
Keempat, pelatihan untuk pemanfataan dan penggunaan sampah (reuse) dalam kehidupan perlu digerakkan oleh masjid sebagai pusat pemanfaatan sedekah sampah. Keterampilan, kerajinan, handy craft atau keterampilan kriya, perlu digalakkan, dilatih secara massif, sehingga sampah anorganic yang selama ini menjadi kontributor sampah laut dapat diminimalisasi. Sampah organik yang menimbulkan gas metana, dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan (renewable resource energy).
Masjid selain dari pusat peribadatan, pusat spiritualisasi, pusat gerakan Islam, juga menjadi pusat gerakan sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dan pusat kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dan pusat sumber daya alam dan lingkungan berkelanjutan (sustainable environmental and natural resource).
Masjid pilar utama dalam pengembangan peradaban Islam yang berkemajuan dan berupaya mempercepat kemajuan dengan gerakan sedekah sampah menjadi sebuah produk; pertama, recycle, mengolah kembali sampah menjadi komoditi yang bermanfaat, baik secara organik maupun anorganik.
Kedua, reuse, menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk penggunaan yang sama atau dalam bentuk penggunaan yang berbeda. Ketiga, reduce, meminalisasi segala sesuatu yang digunakan untuk menjadi sampah, makan sehabisnya, sehingga tidak menggunakan sampah, makan menggunakan piring, minum menggunakan gelas sehingga dapat dicuci dan dibersihakan, tidak menimbulkan sampah.
Hindarilah penggunaan piring dan gelas plastik yang akan menjadi timbunan sampah. wallahu musta’an.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar